Jakarta, CNBC Indonesia - Rapat Dewan Gubernur Bank Indonesia (RDG BI) diselenggarakan pada Selasa dan Rabu pekan ini (22-23 April 2025). Salah satu yang menjadi perhatian yakni suku bunga (BI rate) di tengah ketidakpastian global saat ini dan panasnya perang dagang.
Sebelumnya, BI rate ditahan pada Maret 2025 di level 5,75%. Hal ini sesuai dengan proyeksi dari berbagai lembaga/institusi.
Konsensus CNBC Indonesia yang dihimpun dari 19 lembaga/institusi secara mayoritas memberikan proyeksi bahwa BI tampaknya akan menahan suku bunganya di level 5,75% pada bulan ini. Namun demikian, ada tiga institusi yang memperkirakan bahwa BI akan menurunkan suku bunganya ke 5,50%.
Keputusan BI pada bulan ini sangat ditunggu mengingat sedang tingginya ketdakpastian global akibat perang dagang Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Perang dagang dikhawatirkan bisa memperlambat ekonomi dunia dan banyak negara mengingat ekspor yang bisa terganggu. Di sisi lain, perang dagang juga membuat ketidakpastian meningkat dan membuat mata uang banyak negara dalam tekanan.
Kebijakan Trump membawa bank sentral ke dalam dilema apakah harus menurunkan suku bunga demi mendongkrak pertumbuhan atau mempertahankan suku bunga demi menjaga nilai tukar.
Sejumlah negara sudah memangkas suku bunga demi menjaga pertumbuhan mulai dari bank sentral Singapura, Eropa, dan India. Sebaliknya, bank sentral Turki justru mengerek suku bunga.
Bulan lalu, Gubernur BI, Perry Warjiyo mengatakan, keputusan untuk mempertahankan suku bunga ini konsisten dengan upaya menjaga tekanan inflasi sesuai target pada tahun ini dan tahun depan sebesar 2,5% plus minus 1%, mempertahankan stabilitas kurs, serta untuk mendorong pertumbuhan ekonomi sesuai perkiraan di kisaran 4,7%-5,5% pada 2025.
"Ke depan, Bank Indonesia terus mencermati prospek inflasi dan pertumbuhan ekonomi dalam memanfaatkan ruang penurunan BI-Rate dengan mempertimbangkan pergerakan nilai tukar Rupiah," kata Perry saat konferensi pers di Kantor Pusat BI, Jakarta, Rabu (19/3/2025).
Lebih lanjut, Perry menjelaskan, pertimbangan untuk mempertahankan BI Rate, dari sisi global ialah ketidakpastian ekonomi global masih sangat tinggi, akibat kebijakan perang tarif antara Amerika Serikat dengan negara-negara mitra dagangnya. Bahkan kebijakan tarif impor itu kata Perry kini makin meluas.
Sementara itu kondisi nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) masih cukup tertekan yakni secara month to date (mtd) hingga 21 April 2025 ambruk sebesar 1,48% ke posisi Rp16.800/US$.
VP Marketing Kiwoom Sekuritas, Oktavianus Audi mengungkapkan bahwa BI rate akan ditahan pada bulan ini karena beberapa faktor, seperti menjaga stabilitas rupiah dan penopang capital outflow, di mana masih berada di level 16.700 dan diatas target pemerintah 16.000 dan BI 15.700 sehingga menjadi langkah preventif.
Selain itu, hal ini juga perlu dilakukan untuk menjaga spread dengan Fed Fund Rate (FFR), dimana pada pertemuan Mei 2025 ia perkirakan Fed juga masih akan menahan di level 4,5%.
Selaras dengan Audi, Direktur Ashmore Asset Management Indonesia, Steven Satya Yudha mengestimasikan bahwa BI masih akan kembali menahan suku bunganya karena surplus neraca perdagangan yang lebih tinggi dari ekspektasi dapat membantu stabilitas rupiah, namun perlu diperhatikan dampak pengenaan tarif tambahan 10% terhadap neraca bulan April dan selanjutnya.
"Inflasi domestik relatif masih terkendali, namun tone The Fed masih cenderung hawkish terhadap potensi inflasi di US, sehingga ekspektasi terhadap volatilitas masih cukup tinggi," kata Steven.
Begitu pula dengan President Direktur Samuel Aset Manajemen, Agus Basuki Yanuar, yang mengatakan bahwa BI akan cenderung menahan suku bunganya untuk menjaga stabilitas rupiah untuk tidak melemah lebih dalam.
"Karena meskipun Dollar Index saat ini sudah di bawah 99, rupiah belum menguat karena arus dana asing yang keluar masih deras dari penjualan saham, repatriasi dividen, dan adanya jadwal pembayaran utang luar negeri," papar Agus.
Ekonom Panin Sekuritas, Felix Darmawan pun mengatakan hal sama.
"BI rate besar kemungkinan dipertahankan bulan ini. Fokus utama tetap pada stabilitas rupiah, menjaga daya tarik aset rupiah di tengah risiko tarif (Presiden AS Donald) Trump dan arus keluar dari emerging markets. Peluang penurunan suku bunga mungkin baru terbuka di semester II/2025, jika ketidakpastian global mereda," pungkas Felix.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)