Boikot Produk Amerika, Bisa?

1 week ago 19

Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]

Masih cerita Donald Trump. Soal Megawati Hangestri Pertiwi, nanti sore wak.

TRUMP sudah menetapkan tarif bea 32% terhadap produk Indonesia. Linimasa mendadak jadi gelanggang gladiator.

Netizen, dengan semangat membara dan darah nasionalisme membara berteriak, “BOIKOT SEMUA PRODUK AMERIKA!”

Suasana makin tegang. Dunia maya seperti medan perang. Ribuan komentar masuk. Semua menyatakan siap melakukan hal serupa. “Ente jual, ane beli”

Namun mari kita berhenti sejenak. Duduk bersila sambil seruput kopi tanpa gula, dan bertanya dengan tenang, “Sebenarnya kita bisa hidup tanpa Amerika itu… enggak?”

Pertama-tama, kita harus mengheningkan cipta untuk 1,9 juta ton kedelai yang tiap tahun dikirim dari ladang Nebraska ke pasar induk Cibitung. Tanpa mereka, tidak akan ada tempe goreng di warung tepi jalan. Tidak akan ada tahu isi di kotak nasi hajatan.

Tidak akan ada kecap manis di mie ayam. Bahkan bisa jadi, tidak akan ada alasan ibu-ibu ngerumpi soal tahu-tahu tetangga yang makin putih. Karena tahu pun lenyap. Produksi dalam negeri hanya sanggup cungkring-cungkring menopang 25-30% kebutuhan nasional.

Sisanya? Ya dari Paman Sam, yang kini sedang menertawakan kita sambil makan burger double cheese dan berkata, “Boikot? Good luck with that.”

Tapi oke. Mari kita lanjut. Bagaimana dengan kesehatan? Jangan lupakan bahwa lebih dari 90% bahan baku obat-obatan di Indonesia itu, ya, juga hasil dari cinta satu arah kita pada negara-negara luar, termasuk si adidaya Amerika Serikat.

Tahun 2023, kita mengimpor bahan baku farmasi dari AS sebesar USD 432,57 juta. Artinya, kalau kamu pilek, batuk, atau habis patah hati dan butuh vitamin, jangan minum obat. Tarik napas dalam-dalam, tutup mata, dan semoga sembuh karena cinta Tuhan. Boikot, kan?

Netizen pun melanjutkan perjuangan. “Kita jangan pakai produk Amerika lagi!” Teriaknya sambil mengetik dari iPhone 15 Pro Max, dengan AirPods menyangkut di telinga, sambil menonton ulang Friends di Netflix.

Ya, Netflix, perusahaan hiburan streaming asal Amerika juga. Dramatis? Jelas. Ironis? Lebih tajam dari satire naskah teater absurd Eropa Timur.

Mari kita korek lebih dalam ke dompet nasional. Kita juga impor spare part pesawat dari Amerika. Mesin, sistem avionik, hingga baut kecil yang menahan pintu darurat tetap pada tempatnya, semuanya impor.

Jika kita benar-benar ingin memboikot, kita harus siap naik perahu getek dari Pontianak ke Jakarta untuk menghadiri rapat penting.

Ente kira furnitur di ruang tamu kamu, yang katanya dari Jepara itu, benar-benar 100% lokal? Coba periksa lagi. Sekrupnya, cat pelapisnya, bahkan mungkin teknologi mesin ukir CNC-nya, semuanya berpotensi terinfeksi aroma kapitalisme Amerika.

Sepatu? Nike? Goodbye. Adidas? Oh tunggu, itu Jerman. Tapi jangan senang dulu. Kalau tali sepatunya pabrikan Ohio, ya wassalam juga. Kembali ke sandal jepit Swallow, yang iklannya lebih legendaris dari harga sahamnya. Minimal bisa bikin refleksi gratis kalau kehujanan.

Alas kaki sudah kena, pakaian pun tak luput. Banyak produk tekstil yang masih bersinggungan dengan rantai pasok mereka. Kalau mau benar-benar bersih dari dosa Amerika, ya mungkin kita semua bisa kembali ke masa purba, pakai cawat dari daun talas, berbekal tongkat dan keteguhan hati.

Lalu, saat lapar mendera dan ingin makan enak? Ingat, minyak kedelai yang jadi dasar pembuatan margarin, kecap, bahkan bahan goreng ayam tepung kesayanganmu juga dari sana. Silakan goreng ayammu dengan air mata dan harapan.

Yang paling lucu, di tengah ajakan boikot massal itu, masih banyak yang pakai filter Instagram buatan Silicon Valley, lalu mem-posting video mereka memaki AS sambil duduk di kursi ergonomis buatan Wisconsin.

Ini bukan sekadar satire, ini adalah tragedi Yunani berbalut sambal terasi. Kita seperti orang yang marah pada laut tapi tetap minum air garam. Marah pada barat, tapi hidup dari produk mereka. Kita ini ibarat tokoh utama dalam sinetron, amnesia, emosional, dan penuh konflik internal.

Apakah boikot itu mungkin? Tentu. Tapi hanya jika kita siap kembali hidup dengan teknologi daun, komunikasi kentongan, dan pengobatan dari mantra nenek moyang. Sanggup? Entahlah.

Tapi satu hal pasti, kalau tempe naik harga, netizen pasti balik lagi. Kali ini bukan dengan teriakan “boikot Amerika,” tapi “tolong impor lagi, kami rindu tahu bulat.”

#camanewak

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |