30 Raja Dagang Dunia: Sudahkah Indonesia Masuk Daftar Elit?

3 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan dunia masih didominasi beberapa negara, termasuk China.

Seberapa sering Anda menemukan label "made in China" pada barang-barang yang Anda beli? Label tersebut muncul di hampir setiap produk mulai dari perabot rumah tangga hingga elektronik. Fenomena sederhana ini menunjukkan betapa dominannya Tiongkok dalam rantai pasok dan perdagangan global.

Merujuk World Trade Organization (WTO), nilai ekspor China pada tahun 2024 mencapai US$3,57 triliun atau setara Rp59.424 triliun (US$1 = Rp16.564,35).

Ini berarti China telah menguasai 14,6% pangsa ekspor dunia atau hampir dua kali lipat pangsa Amerika Serikat (8,4%). Pertumbuhan tahunan ekspor China juga menunjukkan tren positif hingga mencapai 6% pada tahun 2024. Pertumbuhan yang solid ini semakin memperlebar keunggulan China atas Amerika Serikat.

Di tengah meningkatnya tensi geopolitik, China tetap mampu mempertahankan pertumbuhan ekspor karena mampu menjaga hubungan dagang yang erat di seluruh Asia, Afrika, hingga Eropa.

Hal ini juga didukung oleh kuatnya basis manufaktur China yang ditunjukkan oleh nilai Purchasing Index Manager (PMI) manufaktur sebesar 51,2 per September 2025.

Sementara itu, Amerika Serikat tertinggal di posisi kedua dalam pangsa ekspor dunia, dengan nilai ekspor sebesar US$2,06 triliun atau setara Rp34.131 triliun (US$1 = Rp16.564,35).

Dominasi China atas AS dalam pangsa ekspor dunia ini semakin meningkatkan ketegangan dalam hubungan dagang kedua negara ini. Sebagai respons, AS menerapkan tarif tinggi terhadap produk-produk asal China. Presiden AS Donald Trump bahkan telah mengumumkan tarif baru sebesar 100% atas impor produk China mulai November mendatang.

Di samping dua negara adidaya tersebut, peringkat ketiga negara eksportir terbesar ditempati oleh Jerman, dengan nilai ekspor sebesar US$1,68 triliun pada 2024, atau sekitar Rp27.812 triliun (US$1 = Rp16.564,35). Namun, angka ini cenderung menyusut 1% dibandingkan tahun sebelumnya.

Bergeser ke kawasan Asia Tenggara, Vietnam menempati posisi ke-21 negara dengan nilai ekspor terbesar. Pada tahun 2024, nilai ekspor barang Vietnam mencapai US$405 miliar atau setara Rp 6.708 triliun (US$1 = Rp16.564,35).

Vietnam juga mencatatkan pertumbuhan ekspor tercepat, yakni mencapai 14%. Lonjakan ini ditopang oleh ekspor komoditas unggulannya seperti kopi, minyak, dan beras yang kuat di tengah pergeseran rantai pasokan global. Sementara itu, sektor manufaktur Vietnam sedang mengalami perlambatan, dilihat dari angka PMI yang turun dari 52,4 pada Juli menjadi 50,4 pada Agustus 2025.

Bagaimana dengan Indonesia?

Berdasarkan data WTO, nilai ekspor Indonesia pada 2024 mencapai US$265 miliar atau sekitar Rp4.389 triliun (US$1 = Rp16.564,35). Angka ini berarti bahwa Indonesia hanya menguasai 1,1% pangsa ekspor dunia, dan membuat Indonesia menempati posisi ke-28 negara dengan nilai ekspor terbesar.

Dari segi pertumbuhan, kinerja ekspor Tanah Air masih tergolong lambat dengan laju peningkatan hanya sebesar 2%. Nilai ini bahkan lebih kecil dari negara tetangga seperti Malaysia yang mencatatkan pertumbuhan mencapai 6% dan Thailand sekitar 5%.

Kinerja ekspor yang masih terbatas ini tidak lepas dari berbagai masalah mulai dari keterbatasan regulasi hingga hambatan perdagangan. Sebagai contoh, sejumlah penelitian menunjukkan bahwa kebijakan nasional belum memenuhi standar untuk kesepakatan kerja sama komprehensif Indonesia-Uni Eropa atau IEU-CEPA.

Produk ekspor Indonesia juga sering kali ditolak masuk ke pasar global karena tidak memenuhi standar perjanjian perdagangan seperti Sanitary and Phytosanitary Measures (SPS) dan Technical Barriers to Trade (TBT). SPS sendiri merujuk pada standar keamanan dan kesehatan produk pangan, sedangkan TBT membahas peraturan teknis dan prosedur untuk barang lain yang lebih luas.

Dalam kasus terbaru, ekspor udang Indonesia terancam dilarang masuk ke pasar AS karena terpapar radioaktif. Kasus ekspor yang terhambat karena kebijakan neo-proteksionisme ini bukanlah hal baru. Pada kasus sebelumnya, komoditas kelapa sawit sulit menembus pasar Eropa karena menyebabkan isu lingkungan dan deforestasi dalam proses produksinya.

Di samping itu, Indonesia juga tidak lepas dari kebijakan tarif yang ditetapkan Amerika Serikat. Tarif impor sebesar 19% yang ditetapkan AS berpotensi menurunkan daya saing Indonesia di pasar global.

Selain itu, masalah kinerja ekspor Indonesia juga berada pada diversifikasi produk ekspor yang masih rendah. Untuk bisa menjadi pemain utama dalam perdagangan internasional, Indonesia tidak bisa hanya bergantung pada ekspor barang mentah. Diperlukan pengembangan inovasi dan peningkatan nilai tambah komoditas untuk meningkatkan keberhasilan ekspor nasional.

(mae)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |