Usulan Kenaikan Gaji Kepala Daerah: Solusi Bebas Korupsi?

6 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Hari ini kita menyaksikan betapa korupsi di daerah telah membudaya, menjalar dari pucuk pimpinan hingga ke akar birokrasi pemerintahan. Bukan hanya kepala daerah dan wakilnya, tapi juga pimpinan DPRD, sekretaris daerah, kepala dinas, hingga pejabat fungsional ASN-bahkan staf honorer pun pernah terseret dalam pusaran korupsi.

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa praktik korupsi di pemerintahan daerah sudah sangat sistemik dan mengakar, melampaui sekadar persoalan moral individu.

Salah satu kasus besar yang hingga kini masih membekas dalam memori publik adalah korupsi yang menyeret mantan Gubernur Papua, Lukas Enembe. Menurut KPK, nilai korupsi dalam kasus ini ditaksir mencapai Rp1 triliun (Detik.com, 17/1/2023).

Tragisnya, pengusutan kasus ini tidak pernah benar-benar tuntas karena Lukas  meninggal di tengah proses hukum. Padahal, besarnya nilai kerugian negara menunjukkan bahwa aktor yang terlibat tidak hanya satu orang.

PPATK pun sempat mengindikasikan adanya praktik pencucian uang dalam kasus ini. Di sinilah kita menyaksikan salah kaprah sistem pemberantasan korupsi kita yang terlalu terpusat pada individu, bukan pada jaringan dan sistem yang menyertainya.

Kasus lain yang tak kalah menghebohkan adalah skandal suap pengesahan RAPBD Jambi 2018 yang melibatkan mantan Gubernur Jambi, Zumi Zola. Bermula dari operasi tangkap tangan KPK pada 28 November 2017, kasus ini menyeret tidak kurang dari 28 anggota DPRD Jambi periode 2014-2019 (Tempo, 10/1/2023). Ini jelas menunjukkan bahwa korupsi di daerah bukanlah aksi tunggal, melainkan hasil dari konspirasi struktural yang sistematis.

Belum lagi kasus-kasus lainnya yang terjadi hampir merata di seluruh pemerintahan daerah. Berdasarkan data Indonesia Corruption Watch (ICW) 2023, sepuluh besar provinsi dengan kasus korupsi terbanyak di Indonesia (ICW, 2023) adalah sebagai berikut:

Jawa Timur (64 kasus)
Sumatra Utara (54 kasus)
Jawa Tengah (47 kasus)
Sulawesi Selatan (46 kasus)
NTT (37 kasus)
Aceh (36 kasus)
Jawa Barat (36 kasus)
Sumatra Selatan (31 kasus)
Bengkulu (29 kasus)
Lampung (27 kasus). 

Melihat angka-angka ini, kita pantas bertanya: ada apa dengan birokrasi daerah kita?

Mengusut Penyebab Korupsi
Apakah korupsi daerah hanya karena keserakahan? Atau karena lemahnya pemberantasan korupsi? Atau justru ada persoalan sistemik yang kronis dalam tubuh birokrasi kita?

Salah satu jawaban yang patut digarisbawahi adalah mahalnya ongkos politik. Kajian Litbang Kemendagri pada 2015 mengungkap bahwa untuk mencalonkan diri sebagai kepala daerah, seseorang perlu merogoh kocek hingga Rp 20 miliar hingga Rp 100 miliar.

Sementara pendapatan resmi kepala daerah selama satu periode hanya sekitar Rp 5 miliar. Kesenjangan itu menimbulkan pertanyaan besar: dari mana calon kepala daerah bisa mengembalikan "modal politik" tersebut?

Inilah titik rawan yang menciptakan lingkaran setan korupsi. Ketika ongkos mencalonkan begitu tinggi, kepala daerah nyaris pasti terdorong untuk "mengembalikan investasi" selama masa jabatannya. Maka tak heran bila berbagai modus korupsi pun bermunculan-mulai dari intervensi APBD, manipulasi pengadaan barang dan jasa, hingga penyalahgunaan wewenang dalam mutasi dan promosi ASN. (ACLC KPK, 2022)

Usulan Kenaikan Gaji?
Baru-baru ini, Sekretaris Jenderal KPK, Cahya Hardianto Harefa, mengusulkan agar gaji kepala daerah dinaikkan guna mengurangi godaan untuk korupsi. (Detik.com, 4/6/2025).

Saya pribadi tidak menolak usulan tersebut. Namun, menaikkan gaji kepala daerah hanyalah solusi cepat, bukan yang paling tepat. Permasalahan yang jauh lebih mendasar adalah tidak masuk akalnya ongkos politik. Selama biaya politik tidak diatur dan dikendalikan, maka sebanyak apapun kenaikan gaji tidak akan cukup untuk membendung potensi korupsi.

Pengalaman saya dalam melakukan penyuluhan antikorupsi di pemerintah daerah - membuka mata bahwa praktik politik transaksional sudah menjadi "rahasia umum". Banyak kepala daerah yang terang-terangan mengaku dibiayai oleh pihak ketiga saat kampanye. Sebagai imbalannya, pihak sponsor ini meminta proyek-proyek dari APBD. Maka, kepala daerah pun bukan lagi pelayan masyarakat, melainkan perpanjangan tangan dari para penyandang dana.

Di sinilah pelayanan publik mengalami degradasi: bukan lagi ditujukan untuk kebutuhan masyarakat, tetapi untuk memenuhi komitmen transaksional. Bahkan, ketika program-program pembangunan dibungkus dengan label kebutuhan masyarakat, sesungguhnya itu adalah proyek yang dimodali oleh "investor politik" yang haus "balas jasa".

Yang juga perlu mendapat sorotan adalah potensi disfungsi lembaga Forkopimda. Forum ini, yang semestinya menjadi ruang koordinasi strategis antarpimpinan daerah, justru bisa menjelma menjadi arena "persekongkolan diam" ketika korupsi dibalut dalam sinergitas dan kolaborasi semu. Ketika yang dikedepankan adalah eksistensi individu, bukan kepentingan jabatan publik, maka pemberantasan korupsi bisa melemah atau bahkan mandek sama sekali.

Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah memberikan ruang bagi Forkopimda untuk berperan besar. Namun, ruang ini justru bisa menjadi bumerang bila digunakan untuk membangun konsensus senyap dalam menyembunyikan praktik korupsi.

Kasus korupsi di Kabupaten Kutai Timur, Kalimantan Timur, menjadi salah satu contoh paling gamblang tentang rusaknya tata kelola pemerintahan daerah akibat praktik politik transaksional.

Dalam laporan Harian Kompas edisi 7 Juli 2020, terungkap bagaimana proyek-proyek infrastruktur di daerah tersebut justru menjadi ladang bancakan bagi pejabat publik. Bupati Kutai Timur saat itu, Ismunandar, bersama Ketua DPRD Encek, diduga menerima suap dalam pengaturan proyek-proyek APBD.

Tidak berhenti di dua pucuk pimpinan daerah, skandal ini juga menyeret tiga kepala dinas strategis: Musyaffa dari Badan Pendapatan Daerah, Suriansyah dari Badan Pengelola Keuangan dan Aset Daerah, dan Aswandini dari Dinas Pekerjaan Umum.

Berdasarkan laporan Kompas tanggal 8 Maret 2020, para pejabat ini memiliki peran aktif dalam menjamin agar anggaran proyek mitra tidak dipotong, mengatur penunjukan pemenang tender, menerima aliran dana dari rekanan, bahkan membagi jatah proyek secara sistematis.

Ini adalah potret telanjang dari bagaimana korupsi tidak lagi berjalan secara individu, melainkan terstruktur, sistemik, dan masif. Lebih dari itu, praktik ini menunjukkan bahwa di balik wajah pembangunan, ada "konsensus senyap" yang disepakati oleh para pejabat untuk menyembunyikan praktik-praktik korupsi dari mata publik.

Mahalnya Ongkos Politik
Kisah-kisah kelam semacam itu seharusnya menjadi alarm keras bagi kita untuk tidak terjebak dalam solusi-solusi instan, seperti hanya menaikkan gaji kepala daerah. Memang benar, gaji yang layak penting untuk mengurangi godaan korupsi, namun tanpa perbaikan sistem yang menyeluruh, langkah ini hanya seperti menambal ban yang bocor besar dengan selotip.

Jika kita serius ingin membangun daerah yang bersih dan berintegritas, maka reformasi harus dimulai dari akar: menekan ongkos politik yang sangat mahal dalam proses Pilkada, membuka transparansi dalam pendanaan kampanye, memperkuat sistem merit dalam birokrasi, serta memberdayakan masyarakat dalam pengawasan anggaran dan kebijakan publik.

Forkopimda juga harus dievaluasi agar tidak menjadi ruang kompromi yang membungkam penegakan hukum, melainkan menjadi wadah koordinasi yang menjunjung tinggi akuntabilitas. Tanpa reformasi ini, otonomi daerah yang dijanjikan oleh Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 hanya akan menjadi utopia.

Sebab ketika pemimpin daerah tidak lagi menjadi pelayan rakyat, melainkan utusan kepentingan pemodal, maka yang lahir bukan pemerintahan yang melayani, melainkan kerajaan-kerajaan kecil yang rakus. Jika ini terus dibiarkan, maka rakyat tak akan pernah benar-benar menjadi tuan di tanah sendiri, melainkan sekadar penonton dalam drama kekuasaan yang penuh tipu daya.

Kini saatnya kita mengubah paradigma pemberantasan korupsi. Kita tidak bisa lagi melihat korupsi semata-mata sebagai tindak pidana individual. Dalam praktiknya, korupsi hampir tidak pernah dilakukan oleh satu orang saja. Ia melibatkan jaringan-baik secara struktural maupun kultural yang menciptakan sistem gelap di dalam tubuh pemerintahan.

Pemberantasan Korupsi
Oleh karena itu, pendekatan hukum yang hanya fokus pada satu pelaku utama bukan hanya tidak cukup, tetapi juga menyesatkan. Bahkan dalam beberapa kasus, ketika tersangka utama korupsi meninggal dunia, proses hukum seolah berhenti. Padahal, kematian satu pelaku tidak serta merta menghapus kerugian negara atau menghapus keterlibatan pihak-pihak lainnya.

Pemberantasan korupsi hari ini harus menempuh jalan yang lebih menyeluruh dan berani, yakni dengan membongkar jaringan, relasi kekuasaan, dan aliran dana yang menjadi infrastruktur praktik korupsi itu sendiri. Ketika satu pelaku utama meninggal dunia, proses hukum seharusnya tetap berjalan untuk mengusut keterlibatan pihak lain, mengurai modus operandi, serta melakukan pelacakan aset hasil tindak pidana korupsi.

Negara juga tidak boleh berhenti hanya pada vonis pidana, melainkan terus bergerak hingga pada tahap penggantian kerugian negara, agar publik mendapatkan rasa keadilan dan jera benar-benar dirasakan oleh para pelaku dan calon pelaku korupsi lainnya.

Inilah bentuk baru pemberantasan korupsi yang harus kita dorong: tidak hanya menangkap pelaku, tetapi juga meruntuhkan ekosistem yang melindungi dan membiakkan kejahatan itu. Dengan begitu, desentralisasi dan otonomi daerah tidak lagi menjadi ladang subur bagi tumbuhnya "raja-raja kecil" yang memperkaya diri, melainkan menjadi instrumen nyata untuk menghadirkan pemerintahan yang bersih, adil, dan berpihak pada rakyat.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |