Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump menunda tarif timbal balik (resiprokal) yang lebih tinggi 11%-50% ke sejumlah negara dunia, yang seharusnya berlaku 9 April. Namun ini tak berlaku bagi China.
Tarif tetap diberlakukan ke Tirai Bambu, bahkan hingga 125%. Trump melakukannya setelah Beijing mengungkapkan membalas tarif 34% dan menaikkan secara resmi bea masuk ke barang-barang AS, 84% kemarin.
Situasi ini pun menimbulkan teori baru. Bahwa memang sebenarnya tujuan akhir Trump sebenarnya adalah mengusir China 100% dari perdagangan global.
Mengutip Newsweek, ini setidaknya terlihat dari pengenaan tarif, yang juga menyasar wilayah yang tidak jelas dan terpencil seperti Kepulauan Heard dan McDonald, yang tidak dirancang untuk presisi ekonomi. Keduanya sudah terkena tarif dasar Trump 10% yang mulai berlaku 5 April.
Washington disebut berusaha mengusir Beijing dari rantai pasokan global dan menata ulang sistem perdagangan dunia. Pakar perdagangan Henry Gao, profesor di Singapore Management University, menggambarkan strategi tersebut sebagai "sengaja dibuat kacau," tetapi dengan tujuan yang terfokus.
"Mengisolasi China dengan cara apa pun yang diperlukan, bahkan jika itu menyebabkan gesekan dengan mitra dagang AS yang sudah lama ada," katanya, seperti dikutip Newsweek pada Rabu (9/4/2025).
"Semua negara telah menjadi korban tambahan dalam kebuntuan ekonomi AS-China," tambahnya.
Teori itu, meskipun tidak secara eksplisit didukung oleh Gedung Putih, tak dielakkan oleh Menteri Perdagangan AS Howard Lutnick dalam wawancaranya dengan CBS pekan lalu. Dalam tayangan tersebut, ia membela tarif Trump dan menyebut China mulai melewati AS.
"Yang mulai dilakukan China adalah mereka mulai melewati negara lain ke Amerika," kata Lutnick.
"Jadi pada dasarnya dia [Trump] berkata, lihat, saya tidak bisa membiarkan bagian mana pun di dunia menjadi tempat di mana China atau negara lain dapat mengirim barang melalui mereka... Dia akan memperbaikinya."
Penjelasan lain diutarakan terkait itu. Trump melakukan tindakannya untuk menutup setiap kemungkinan "pintu belakang" yang dapat digunakan China untuk mempertahankan dominasi ekspornya.
Logika itu menjelaskan mengapa pemerintahan memasukkan negara-negara seperti Kamboja dan Vietnam dalam putaran tarif terbarunya, yang saat ini ditunda. Mereka adalah negara-negara yang sering dipandang sebagai perpanjangan dari rantai pasokan China.
Direktur Sekolah Pascasarjana Manajemen Politik di Universitas George Washington, Todd Belt, mengatakan tujuan mengisolasi China mungkin tidak sepenuhnya disengaja pada awalnya. Tetapi telah menjadi inti tujuan tersebut.
"Tarif Trump awalnya tidak dirancang dengan mempertimbangkan kompleksitas ini," kata Belt.
"Namun, pemerintah China memahami dinamika ini dengan baik. Kita sudah bisa melihat mereka merespons dengan mencoba membangun pasar baru untuk suku cadang," ujarnya.
Hal ini sejalan dengan sikap Beijing yang semakin meningkat dalam menghadapi serangkaian tarif baru. China sangat reaktif membalas Trump.
"[Presiden China] Xi telah membangun citra dirinya sebagai orang kuat yang menantang dan memimpin negara yang kuat," kata Julian Gewirtz, mantan penasihat Gedung Putih untuk China, kepada The New York Times.
"Pesan resmi China menyampaikan bahwa mereka bertekad untuk melawan tekanan AS bahkan dengan biaya yang tinggi," tegasnya.
(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:
Video: China Sebut Tarif Trump Sebagai "Pemerasan"
Next Article Video: Perang Dagang Era Trump Menghantui, RI Dihadang Efek Buruk Ini