Tak Berharga di RI, Daun Ini Diincar Warga Jepang: Bisa Bunuh Bakteri

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Di dapur orang Indonesia, aroma hangat daun salam nyaris tak tergantikan. Namun tak banyak yang tahu bahwa daun yang kerap disamakan dengan bay leaf ini sebenarnya berasal dari pohon Syzygium polyanthum ini adalah harta karun besar bagi Indonesia.

Tumbuhan yang masuk dalam anggota keluarga Myrtaceae yang tumbuh alami di Indonesia, Malaysia, hingga Indochina.

Lebih dari sekadar penambah rasa, daun salam memiliki khasiat luar biasa, ia mampu membunuh spora Bacillus cereus, bakteri penyebab keracunan makanan yang membandel. Di tengah tren pangan sehat dan kembali ke herbal, daun salam semestinya jadi primadona ekspor baru. Tapi kenyataannya justru sebaliknya.

Selama enam tahun terakhir, ekspor daun salam Indonesia justru semakin menyusut baik dari sisi volume maupun nilai. Satu-satunya penghibur hanyalah Jepang, pasar yang tampaknya belum siap berpisah dari rempah nusantara ini.

Data Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa nilai ekspor daun salam Indonesia (HS 09109910) sempat mencapai puncaknya pada 2021 sebesar US$301.506 dengan volume ekspor 68.615 kg. Namun sejak itu, performanya memburuk drastis.

Tahun 2023 menjadi titik terendah dengan nilai hanya US$89.415 dan volume 27.687 kg. Meski nilai naik tipis menjadi US$123.778 pada 2024, volume justru turun lagi ke 23.415 kg, terendah dalam enam tahun terakhir.

Artinya, meski harga per kg naik (dari sekitar US$3,2/kg di 2023 menjadi US$5,3/kg di 2024), daya saing dalam volume justru makin lemah. Ini bisa disebabkan oleh dua hal, pasokan lokal yang terbatas atau mulai kalah saing di pasar global.


Di antara pasar ekspor yang fluktuatif dan makin mengecil, Jepang muncul sebagai anomali positif. Dalam enam tahun terakhir, Jepang selalu menjadi pembeli terbesar daun salam Indonesia, dan bahkan menyerap lebih dari 50% dari total nilai ekspor nasional pada 2024.

Ekspor ke Jepang melonjak tajam 63,7% pada 2024, menjadikannya penyelamat utama ekspor rempah ini. Pasar loyal lainnya antara lain Belanda, Korea Selatan, Taiwan, dan Australia, namun volumenya tak konsisten dan jauh di bawah Jepang.

Turunnya volume ekspor selama tiga tahun terakhir menandakan bahwa Indonesia tidak hanya kalah dalam kompetisi pasar, tapi juga belum menggarap nilai tambah. Padahal, Syzygium polyanthum bukan sekadar daun aromatik ia berpotensi jadi bahan baku farmasi, herbal, hingga produk pangan fungsional.

Selama ini ekspor hanya dilakukan dalam bentuk daun kering utuh. Artinya, Indonesia masih mengekspor "aroma", tapi belum menjual "cerita dan manfaat".

Jika tak ingin rempah legendaris ini lenyap dari peta perdagangan dunia, maka Indonesia perlu menyulapnya jadi produk bernilai tinggi seperti yang sudah dilakukan India pada kunyit, atau Thailand pada serai.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |