Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pemerintah kembali mengeluarkan kebijakan stimulus ekonomi pada Juni tahun 2025 dengan tujuan untuk menjaga pertumbuhan ekonomi semester I. Menjelang liburan sekolah, stimulus ekonomi yang diputuskan oleh pemerintah ditujukan khususnya bagi sektor wisata.
Hal tersebut tampak dari salah satu program dalam stimulus berupa pemberian diskon transportasi. Tarif jalan tol dan tiket perjalanan menjadi bagian dari paket stimulus ekonomi yang berjumlah sekitar Rp24 triliun. Kebijakan penurunan tarif transportasi diperkirakan menjadi pemicu masyarakat untuk berpergian seiring masa liburan sekolah tahun ini.
Agar semakin menarik minat masyarakat berwisata, pemerintah pun memberikan uang saku berupa Bantuan Subsidi Upah (BSU) sebagai bagian dari stimulus ekonomi tahun 2025. BSU diberikan bagi karyawan dengan upah sampai dengan Rp3,5 juta serta aktif sebagai peserta BPJS Ketenagakerjaan. Nominal BSU yang diberikan pun cukup menarik, yakni sebesar Rp300 ribu per bulan selama 2 bulan.
Mengajak masyarakat untuk berkontribusi dalam mendorong pertumbuhan ekonomi merupakan keniscayaan mengingat konsumsi rumah tangga menyumbang tak kurang dari 54% PDB Indonesia. Dari kacamata pemerintah, pemberian stimulus tersebut diproyeksikan akan menggairahkan dunia pariwisata tanah air.
Sektor pariwisata memang sempat mengalami perlambatan pada awal tahun ini disebabkan karena kebijakan efisiensi yang dilakukan oleh pemerintah. Efisiensi tersebut memangkas alokasi belanja untuk perjalanan dinas sehingga berdampak pada menurunnya pendapatan industri hotel dan restoran.
Secara matematis, kebijakan stimulus tersebut dipastikan akan menjadi akselerator pertumbuhan ekonomi. Namun proyeksi ini bisa saja berbeda jika dilihat dari perspektif masyarakat.
Meskipun terdapat kelompok masyarakat yang bakal menerima BSU sebagai "bekal" untuk liburan, realita di lapangan mungkin tidak seperti skenario yang diharapkan. Masyarakat sebagai makhluk yang sadar risiko tentu akan berpikir berulang kali untuk berwisata dengan uang yang diterimanya, apalagi bantuan tersebut sifatnya sementara.
Alih-alih dipakai untuk berlibur, masyarakat boleh jadi akan mengalokasikan tambahan yang diterimanya untuk memenuhi kebutuhan hidup lainnya atau bahkan disimpan. Ketika masyarakat memilih menyimpan uangnya maka skenario akselerasi pertumbuhan ekonomi melalui stimulus bisa melenceng. Seumpama hal ini terjadi maka pemerintah perlu memikirkan skenario tambahan agar ajakan kepada masyarakat untuk lebih rajin berbelanja berdampak bagi perekonomian nasional.
Jika kita memundurkan waktu beberapa bulan sebelumnya, tanda-tanda masyarakat makin berhemat sebenarnya sudah mulai terlihat. Puncaknya pada musim lebaran tahun ini tatkala animo masyarakat pulang kampung tidak seramai tahun sebelumnya. Turunnya daya beli termasuk fenomena PHK diduga menjadi penyebab mengapa musim mudik kali ini tak seramai tahun sebelumnya.
Beberapa faktor melatarbelakangi melemahnya daya beli masyarakat mulai dari dampak pascapandemi Covid-19 dan disrupsi teknologi. Kedua faktor tersebut membawa konsekuensi berubahnya kebiasaan masyarakat khususnya dalam melakukan kegiatan sehari-hari.
Jika di masa lampau hampir semua kegiatan didominasi interaksi fisik maka era sekarang dunia maya merupakan ruang pengganti yang diminati. Perubahan menjadi serba online memiliki dua kemungkinan, bisa jadi sebagai bentuk adaptasi terhadap teknologi atau sebagai cara bertahan dengan mengurangi beban operasional di saat konsumen berkurang.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan sebagai penyebab pelemahan daya beli adalah terlambatnya kebijakan penyesuaian gaji bagi kelompok pekerja. Kenaikan gaji bagi karyawan merupakan sebuah berkah yang menjadi penjaga daya beli masyarakat.
Tanpa adanya kenaikan gaji, kelas pekerja hanya memiliki dua pilihan yaitu mencari pekerjaan tambahan atau mulai melakukan penghematan. Mencari pekerjaan tambahan bukan hal yang mudah saat ini, hampir semua orang juga akan berpikiran serupa ketika kebutuhan hidup merangkak naik.
Alternatif melakukan penghematan pun juga bukan yang mudah dilakukan, terlebih lagi jika semua beban yang dikeluarkan sudah ditekan seminimal mungkin. Langkah cadangan seperti mengandalkan tabungan untuk menutup kekurangan belanja pun tidak bisa dilakukan oleh semua orang.
Hanya kelompok masyarakat tertentu dengan saldo tabungan di rekening yang bisa melakukannya. Data saldo rekening masyarakat menunjukkan bahwa kelompok terbesar dari populasi merupakan masyarakat dengan saldo di bawah Rp100 juta di dalam rekeningnya.
Dan kelompok terbesar ini yang secara perlahan mengalami penurunan saldo di dalam rekeningnya dari waktu ke waktu. Jika pada Januari 2020 rata-rata saldo rekening pada kelompok tersebut berada pada Rp2,89 juta maka pada Januari 2025 saldo rata-rata pada rekening hanya tinggal Rp1,95 juta. Fakta inilah yang kemudian menjadi sebuah istilah makan tabungan.
Absennya kenaikan gaji memiliki konsekuensi berupa menurunnya daya beli yang ada di masyarakat. Terdapat sekurang-kurangnya dua alasan mengapa faktor gaji menjadi penyebab masalah ini.
Pertama, berkaitan dengan sifat alami uang fiat, yaitu memiliki kecenderungan penurunan daya belinya seiring berjalannya waktu. Uang Rp100 lima tahun lalu tidak akan mungkin sama pada saat ini atau beberapa tahun kemudian. Daya beli akan menurun sehingga untuk mendapatkan barang yang sama membutuhkan jumlah uang yang lebih banyak.
Kedua, berkaitan dengan persentase jumlah penduduk Indonesia yang memiliki hutang. Saat ini terdapat 60% penduduk Indonesia yang memiliki utang di lembaga keuangan dan 36% di antaranya berhutang di perbankan. Kedua faktor tersebut apabila dikombinasikan dapat ditarik kesimpulan bahwa sisa penghasilan yang dapat digunakan untuk berbelanja dalam setiap rumah tangga akan mengalami penyusutan dari tahun ke tahun.
Meskipun pemerintah menetapkan kenaikan besaran upah minimum setiap tahunnya pada sektor swasta, pada realitanya masih dijumpai pemberi kerja yang belum mengadopsi sepenuhnya acuan besaran upah yang ditetapkan pemerintah. Terlebih lagi pada swasta di kelompok menengah maupun bawah.
Bagi swasta kelompok atas, pemberian reward bagi karyawan bisa jadi sangat jauh di atas standar yang ditetapkan pemerintah. Namun swasta dalam kelompok ini bukan merupakan jumlah yang dominan. Bagian terbesar adalah kelompok menengah dan bawah yang dalam menentukan besaran upah akan melihat sektor pembanding termasuk besaran gaji di sektor pemerintah.
Penyesuaian gaji di sektor pemerintah bagaikan fenomena Efek Kupu-Kupu, di mana kenaikan gaji yang terjadi akan berdampak ke semua sektor termasuk sebagai pemicu kenaikan gaji di sektor swasta.
Memang jumlah aparat pemerintah tidak sebanyak karyawan swasta, namun terdapat hubungan antara kenaikan gaji aparat pemerintah dan karyawan swasta. Besaran upah pada sektor swasta akan terpengaruh dengan besaran gaji pada sektor pemerintahan khususnya ketika dihadapkan pada kebutuhan untuk mempertahankan SDM bagi perusahaan.
Menyikapi potensi stimulus ekonomi tidak sesuai harapan maka pemerintah perlu mempertimbangkan kebijakan masa lampau dalam menjaga daya beli masyarakat. Pada era pemerintahan SBY, kenaikan gaji bisa dipastikan terjadi setiap tahunnya.
Adanya kenaikan gaji jelas membuat tingkat kepercayaan diri masyarakat meningkat dan tentu saja berdampak positif terhadap hasrat untuk terus berbelanja. Presiden SBY dapat memastikan setiap tahun akan terjadi kenaikan penghasilan, bukan dari persentasenya yang dinanti namun kepastian adanya penyesuaian.
Bagi kaum pekerja, kenaikan gaji dipastikan akan menjaga daya beli dikarenakan proporsi angsuran terhadap penghasilan akan terus menurun. Implikasinya jumlah rupiah yang dibelanjakan setiap periode waktu akan terus bertambah seiring kenaikan harga barang/jasa di pasaran.
Kebijakan penyesuaian penghasilan secara rutin bukanlah obat paling mujarab untuk mengatasi melemahnya daya beli. Efek samping berupa kenaikan inflasi menjadi bayang-bayang dari kebijakan tersebut.
Hanya saja dampak negatif tersebut dapat dijadikan bahan diskusi lebih lanjut dalam merumuskan kebijakan ekonomi oleh pemerintah. Minimal akan mengerucut pada dua topik, apakah kebijakan yang dipilih tetap berfokus untuk meminimalisasi inflasi atau mendorong pertumbuhan meski nilai inflasi yang dicapai bukan pada level terendah.
Berkaca dari Vietnam misalnya, mereka memiliki nilai inflasi yang lebih besar daripada kita. Namun jika dilakukan perbandingan dalam capaian pertumbuhan ekonomi jelas bahwa Vietnam unggul daripada Indonesia. Bukankah pertumbuhan daya beli masyarakat merupakan salah satu pertimbangan bagi investor dalam memilih sebuah lokasi untuk proses produksi?.
(miq/miq)