Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Sekitar tiga dekade silam, Indonesia dan Korea Selatan berdiri pada garis yang relatif sejajar secara ekonomi. Namun, situasi sekarang berbeda.
Kini, Korsel telah menjelma menjadi negara industri dan teknologi terdepan. Sementara Indonesia masih tertatih melepaskan diri dari jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Padahal, dari sisi sumber daya alam, Indonesia jauh lebih unggul dibandingkan Korsel. Lalu, apa yang menjadi pembeda?
Perbedaannya terletak pada arah pembangunan. Korsel memilih jalan yang sulit: menanam investasi jangka panjang pada inovasi, industri, dan kualitas sumber daya manusia.
Sementara Indonesia terlalu lama terpaku pada ekspor bahan mentah dan belum menempatkan ilmu pengetahuan sebagai fondasi kemajuan. Sebuah fakta yang tidak bisa dibantah.
Oleh karena itu, sudah saatnya Indonesia bergeser dari paradigma lama. Sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM) menyimpan potensi luar biasa-dari cadangan nikel terbesar di dunia, potensi panas bumi hingga 24 GW, hingga energi surya dan air yang belum tergarap maksimal.
Namun sayangnya, sebagian besar kekayaan ini masih diekspor dalam bentuk komoditas mentah. Nilai tambahnya tidak tinggal di tanah air.
Untuk itu, transformasi ESDM menjadi fondasi industri inovatif bukan hanya penting, tetapi mendesak.
Langkah tersebut sejalan dengan Asta Cita Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto yang menekankan pentingnya hilirisasi, pembangunan industri berkelanjutan, dan penguatan SDM unggul.
Langkah awal seperti hilirisasi nikel dan pengembangan ekosistem kendaraan listrik memang sudah dimulai. Namun semua itu belum cukup.
Indonesia membutuhkan ekosistem industri yang utuh, mulai dari pabrik baterai nasional, laboratorium energi bersih, hingga perusahaan rintisan teknologi berbasis sumber daya lokal. Dibutuhkan kebijakan berani yang mendorong inovasi, bukan sekadar eksploitasi.
Namun, bahan tambang tidak akan berubah menjadi kemajuan tanpa manusia yang berilmu dan berintegritas. Investasi dalam pendidikan vokasi, politeknik energi, pusat riset, dan insentif bagi inovator muda adalah fondasi awal transformasi ESDM Indonesia.
Yang menarik, program-program tersebut tidak harus bergantung pada anggaran negara. Model kemandirian daerah dalam menggerakkan SDM lokal, dengan dukungan partisipasi publik dan kolaborasi lintas sektor, dapat menjadi pilihan strategis.
Kita butuh model pendanaan kreatif yang tidak membebani APBN, tetapi memperluas ruang inovasi dan tanggung jawab bersama. Kunci utama ada pada SDM Indonesia: bukan hanya yang cerdas, tapi juga amanah, visioner, dan bersemangat membangun.
Dengan keilmuan yang tepat dan motivasi yang kuat, generasi muda bisa menjadi pilar kedaulatan teknologi bangsa.
Pengembangan kawasan industri ESDM di luar Jawa juga harus menjadi prioritas. Kawasan-kawasan baru yang tertata lingkungannya tidak hanya menopang pertumbuhan nasional, tetapi juga mewujudkan Asta Cita dalam memperkuat pembangunan dari pinggiran.
Kita tidak perlu meniru Korsel sepenuhnya. Namun satu pelajaran penting dari mereka adalah ini: kemajuan tidak ditentukan oleh apa yang ada di bawah tanah, melainkan oleh visi, keberanian, dan ketekunan untuk menciptakan nilai dari dalam diri bangsa sendiri.
Jika sektor ESDM dikelola dengan arah yang benar-berbasis inovasi, integritas, dan keberpihakan pada masa depan-Indonesia bukan hanya bisa naik kelas. Kita bisa berdiri tegak, berdaulat di panggung ekonomi dunia.
Dan itu hanya mungkin jika kita berani bertransformasi, mulai dari sekarang.
(miq/miq)