Revisi UU UMKM: 'Tembakan' Jitu untuk UMKM yang Lebih Berdaya

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Indonesia memiliki target menjadi negara maju dengan pendapatan tinggi dan salah satu kekuatan ekonomi dunia pada tahun 2045. Untuk mencapai impian besar tersebut, tidak bisa dilepaskan dari peranan Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM).

Pernyataan mengenai pentingnya peranan UMKM, bukanlah klaim tanpa dasar. Data yang dimiliki oleh Kementerian UMKM menyebutkan bahwa UMKM telah memainkan peranan penting dalam roda perekonomian negara melalui kontribusi terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional sebesar 61%, penyerapan tenaga kerja sebesar 97% dan kontribusi terhadap ekspor nonmigas mencapai 15% dengan jumlah UMKM di Indonesia sebesar 65,5 juta.

Undang Undang Nomor 20 Tahun 2008 tentang Usaha Mikro, Kecil dan Menengah selama ini telah menjadi acuan utama dalam pembuatan kebijakan berkaitan dengan UMKM. Dalam perkembangannya, beberapa poin di dalam undang undang ini telah dilakukan perubahan dan penambahan melalui Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang Undang dan pelaksanaannya diturunkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 07 tahun 2021 tentang Kemudahan, Perlindungan dan Pemberdayaan Koperasi dan Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah.

Perlu Pembaruan
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2008 telah menjadi dasar pembuatan kebijakan selama lebih dari 16 tahun lamanya. Untuk ukuran sebuah peraturan perundang-undangan artinya undang undang ini sudah cukup tua dan perlu dilakukan pembaharuan.

Sebetulnya dalam beberapa aspek, sudah dilakukan pembaruan pada beberapa substansi melalui UU Nomor 6 Tahun 2023, misalnya dalam aspek penyediaan layanan bantuan dan pendampingan hukum bagi Usaha Mikro dan Kecil ( UMK ) di mana pada UU Nomor 20 Tahun 2008 belum mengatur hal tersebut secara komprehensif. Padahal hal ini sangat krusial bagi UMK mengingat posisinya yang sangat rentan terhadap pelanggaran hukum.

Tidak hanya berhenti dalam aspek penyediaan layanan dan bantuan hukum, UU Nomor 6 Tahun 2023 juga memberikan kewajiban kepada pemerintah maupun badan usaha untuk memberikan area/lahan untuk keperluan promosi/pengembangan UMKM sebanyak minimal 30% dari area keseluruhan pusat perbelanjaan pada infrastruktur publik terkait.

Namun, walaupun secara substansi banyak hal yang telah diperbaharui ataupun ditambahkan oleh Undang Undang Nomor 6 Tahun 2023, secara fakta di lapangan UMKM masih mengalami banyak kendala misalnya: belum terpenuhinya standar produk yang sesuai dengan kebutuhan pasar ekspor, pelaksanaan kebijakan yang belum sesuai dengan amanat undang-undang, terbatasnya kemampuan dalam mengakses teknologi dan lemahnya daya saing UMKM.

Apabila melihat dari data yang dikeluarkan Kementerian Hukum, melalui Pusat Analis dan Evaluasi Hukum Nasional Badan Pembinaan Hukum Nasional, sejatinya permasalahan mengenai lemahnya daya saing UMKM disebabkan oleh beberapa hal yakni: lemahnya pemasaran, kurangnya modal dan pendanaan, kurangnya inovasi dan teknologi, tidak maksimalnya pemakaian bahan baku, kurangnya peralatan produksi, kurangnya penyerapan dan tidak maksimalnya pemberdayaan tenaga kerja, kurangnya rencana pengembangan usaha dan kurangnya kesiapan menghadapi tantangan lingkungan eksternal.

Hal ini menunjukkan pelaksanaan dari UU UMKM saat ini, walaupun sudah ada kewajiban kemudahan perlindungan dan pemberdayaan, nyatanya masih belum maksimal dan diperlukan penguatan. Baik itu secara aspek substansi kewajiban yang diberikan ataupun kemungkinan ditambahkannya beberapa ketentuan baru untuk memastikan pelaksanaan yang sesuai harapan. Sehingga UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM sudah menunjukkan urgensinya untuk dilakukan perubahan.

Sanksi yang terbatas
UU Nomor 20 Tahun 2008 tentang UMKM, tidak memberikan pengaturan mengenai sanksi yang tegas apabila kewajiban yang diberikan kepada para pihak tidak dilaksanakan/dilaksanakan namun tidak optimal.

Sebagai contoh, kewajiban mengenai pengalokasian paling sedikit 40% (empat puluh persen) produk/jasa UMKM serta koperasi dari hasil produksi dalam negeri dalam pengadaan barang/jasa pemerintah pusat dan pemerintah daerah dan kewajiban penyediaan tempat promosi, pengembangan usaha sebesar 30% pada infrastruktur publik yang mencakup terminal, bandar udara, pelabuhan, stasiun kereta api, tempat istirahat dan pelayanan jalan tol serta infrastruktur publik lainnya yang ditetapkan oleh pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah sesuai dengan kewenangannya.

Padahal, pelaksanaan kewajiban tersebut merupakan hal yang sangat krusial. Tanpa adanya sanksi yang mengatur apabila kewajiban tersebut tidak dilaksanakan atau dilaksanakan namun tidak optimal, maka dapat dipastikan pelaksanaannya tidak akan maksimal. Sehingga penambahan sanksi yang lebih tegas merupakan hal yang patut dipertimbangkan dalam revisi Undang Undang UMKM .

Pemberdayaan UMKM dan Asta Cita Prabowo-Gibran
UU Nomor 20 Tahun 2008 telah mengamanatkan kewajiban pemberdayaan UMKM secara menyeluruh, optimal dan berkesinambungan dalam mewujudkan pertumbuhan ekonomi, pemerataan dan peningkatan pendapatan rakyat, penciptaan lapangan kerja dan pengentasan kemiskinan kepada pemerintah.

Hal ini sejalan dengan Asta Cita ketiga dari pemerintahan Prabowo-Gibran, yakni peningkatan lapangan kerja berkualitas, mendorong kewirausahaan, mengembangkan industri kreatif, dan melanjutkan pengembangan infrastruktur.

Mewujudkan hal tersebut, bukanlah pekerjaan mudah. Pemberdayaan UMKM tidak dapat tercapai dengan maksimal apabila tidak dipayungi dengan regulasi yang mampu mengimbangi perkembangan zaman. Diperlukan langkah yang tidak hanya strategis, namun juga terukur.

Sejauh ini, pemerintah memang telah membuat kebijakan yang bertujuan untuk membantu UMKM seperti misalnya penghapusan utang macet bagi UMKM sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 47 Tahun 2024. Namun sebaiknya kita perlu ingat bahwa untuk mencapai pemberdayaan UMKM yang lebih maksimal, tidak cukup apabila hanya menyasar pada pembuatan kebijakan tanpa adanya pembaharuan payung utama regulasi mengenai UMKM agar relevan dengan perkembangan zaman.

Dengan berbagai tantangan yang ada, revisi UU UMKM bukan lagi menjadi sekadar opsi, melainkan kebutuhan mendesak agar UMKM benar-benar menjadi tulang punggung ekonomi nasional yang tangguh, kompetitif serta berdaya.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |