Jakarta, CNBC Indonesia - Maraknya kasus-kasus kriminalitas di sektor ekonomi beberapa waktu terakhir ternyata memiliki korelasi dengan tekanan keuangan yang dialami masyarakat Indonesia saat ini.
Kasus kriminalitas yang baru-baru ini terungkap misalnya temuan adanya "pabrik" uang palsu di Perumahan Griya Melati 1 RT 03 RW 13, Kelurahan Bubulak, Bogor Barat, Kota Bogor, Jawa Barat, hingga aksi Sekar Arum Widara, mantan aktris yang melakukan aksi peredaran uang palsu.
Selain itu, adapula kasus premanisme seperti pungli oleh ormas-ormas yang juga marak dikeluhkan para pengusaha dan buruh, hingga dianggap sebagai salah satu penyebab penghambat investasi di Indonesia.
"Ini hubungannya cukup linear, berbagai penelitian juga membuktikan itu," kata Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution Ronny P Sasmita kepada CNBC Indonesia, Kamis (17/4/2025).
"Kalau kondisi ekonomi memburuk, pendapatan masyarakat tertekan, peluang kerja makin kecil, pengangguran meningkat, dan tingkat kemiskinan meningkat, maka tingkat kriminalitas juga meningkat," tegasnya.
Sepanjang tahun lalu, memang terjadi data-data yang menunjukkan tekanan ekonomi terhadap masyarakat. Misalnya, tentang ambruknya jumlah kelas menengah di Indonesia hingga daya beli masyarakat yang terus melemah.
Berdasarkan catatan Badan Pusat Statistik (BPS), pada 2019 jumlah kelas menengah di Indonesia masih sebanyak 57,33 juta orang atau setara 21,45% dari total penduduk. Namun, pada 2024 hanya tersisa 47,85 juta orang atau setara 17,13%.
Turunnya jumlah kelas menengah ini sejalan dengan meledaknya data pemutusan hubungan kerja atau PHK. Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) mencatat, sepanjang 2024, jumlah pekerja terkena PHK yang dilaporkan mencapai 77.965 orang. Angka ini melonjak 20,21% dibandingkan 2023 yang sebanyak 64.855 orang.
Tanda-tanda masalah daya beli masyarakat pun ikut muncul. Di antaranya, Indeks Penjualan Riil (IPR) per Maret 2025 atau pada masa Lebaran bahkan hanya tumbuh 0,5% ke level 236,7.
Di sisi lain, Indeks Keyakinan Konsumen (IKK) yang dikeluarkan Bank Indonesia dari hasil survei terhadap para konsumen juga telah turun beruntun dalam tiga bulan tahun ini. Per Maret 2025 bahkan hanya 121,1, Februari 126,4, dan Januari di level 127,2.
"Jadi sama aja kalau ke negara yang cenderung terbelakang secara ekonomi tingkat kriminalitas kan juga tinggi," tutur Ronny.
"Karena itu saya pikir jawabannya kemungkinan besar iya ada relasi positif antara stagnasi ekonomi, memburuknya keadaan pendapatan masyarakat, memburuknya peluang lapangan kerja, dan turunnya daya beli, itu sebuah konsekuensi logis meningkatnya kriminalitas di sebuah negara, salah satunya uang palsu," ungkapnya.
Pernyataan serupa disampaikan oleh Direktur Riset Bright Institute Muhammad Andri Perdana. Ia bilang seretnya likuiditas perekonomian beberapa waktu terakhir, terutama akibat tingginya iklim suku bunga bisa membuat orang memilih jalan pintas untuk memanfaatkan aksi kriminalitas, seperti kasus uang palsu demi memenuhi kebutuhannya.
"Dalam rezim suku bunga yang tinggi, uang menjadi jauh lebih sulit di dapat bagi masyarakat, sehingga bisa jadi menyebabkan sebagian orang mencari jalan pintas dengan menggunakan uang palsu," tegas Andri.
Untuk masalah kasus premanisme ormas bahkan turut mendapat perhatian Wakil Presiden periode ke-10 dan ke-12, Jusuf Kalla. Ia menganggap permasalahan itu disebabkan sulitnya mendapatkan pekerjaan formal di Indonesia saat ini.
Mengutip catatan BPS teranyar per Agustus 2024, jumlah pekerja di sektor informal di Indonesia memang masih mendominasi, yakni sebesar 57,95%. Sisanya pekerja di sektor formal yang hanya 42,05%.
"Jadi itu kan bukan karena ormas itu ingin apa, karena mereka nganggur," kata pria yang akrab disapa JK itu dalam program Koneksi Cuap Cuap Cuan CNBC Indonesia, dikutip Rabu (16/4/2025).
Wakil presiden era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Joko Widodo itu juga menganggap, biang kerok kehadiran ormas karena serapan tenaga kerja di Indonesia minim. Akibatnya para pengangguran memilih jalan untuk berkelompok dan melakukan aksi pungli untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
"Kalau mereka kerja semua, mana ada ormas di jalan. Itu problemnya," ucap politikus senior Partai Golkar itu.
Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) periode Agustus 2024 jumlah pengangguran di Indonesia mencapai 7,47 juta orang dengan persentase tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Indonesia 4,91% sedikit lebih tinggi dari periode Februari 2024 sebesar 4,82% dengan jumlah 7,2 juta orang pengangguran.
"Jadi solusinya bukan tangkapin mereka, tapi buka lapangan pekerjaan. Makin banyak penganggur, makin banyak semacam ormas itu," tutur JK.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Kelas Menengah Tertekan, Sektor Ritel 2025 Diprediksi Melemah
Next Article Begini Cara Para Tersangka Produksi Uang Palsu di Dalam UIN Makassar