Pohon Ini Dulu Dibuang-buang Warga RI, Sekarang Lagi Kena Sorotan

1 hour ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pembukaan pohon kelapa sawit di Indonesia terus meluas dan berdampak pada deforestasi atau penggundulan hutan. Berdasarkan riset berjudul "What causes deforestation in Indonesia?" (2019), perkebunan kelapa sawit menjadi pendorong tunggal deforestasi sepanjang tahun 2001-2016. 

Sawit tercatat menyumbang 23% angka deforestasi nasional. Dalam periode itu, Sumatra mencatat deforestasi terbesar disusul Kalimantan dengan persentase mencapai masing-masing mencapai 40%.  

Deforestasi besar-besaran ini pun memicu rentetan bencana ekologis. Hilangnya tutupan hutan meningkatkan suhu atmosfer. Tanaman sawit sebagai pengganti hutan hujan tropis terbukti tidak memiliki kemampuan menyerap dan menahan air cukup. Akibatnya, ketika hujan deras turun, wilayah terdekat rawan menghadapi banjir besar.

Dalam kasus banjir besar di Sumatra, misalnya, Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol mengungkap bukti pembukaan kebun sawit baru dari kehadiran kayu gelondongan yang bergeletakan usai terbawa arus banjir. 

"Ada indikasi pembukaan-pembukaan kebun sawit yang menyisakan log-log karena memang kan zero burning sehingga kayu itu tidak dibakar, tapi dipinggirkan," kata Hanif seusai rapat bersama Komisi XII DPR di Senayan, Jakarta, Rabu (3/12/2025), dikutip dari Detik News.

Masifnya pembukaan kebun sawit tentu tak lepas dari permintaan minyak sawit yang sangat tinggi. Bahkan, pendapatan negara dari sektor ini diprediksi bisa mencapai US$ 61,7 miliar atau sekitar Rp998 triliun. Padahal, komoditas yang kini begitu menggiurkan ini dulunya justru diabaikan masyarakat.

Sawit berasal dari Afrika Barat dan telah dikenal sejak 5.000 tahun lalu, tetapi baru hadir di Indonesia pada 1848 ketika pemerintah kolonial Hindia Belanda menanam empat bibit di Kebun Raya Bogor. Lima tahun kemudian, keempat bibit itu berbuah dan bijinya disebarkan gratis. Namun, masyarakat yang tidak mengenal potensinya hanya menanamnya di pinggir jalan. Buahnya pun sering dibuang dan dibiarkan membusuk karena masyarakat lebih meminati kelapa yang mudah diolah.

Meski begitu, pemerintah kolonial terus menguji potensi ekonominya. Pada 1856, penanaman di Jawa Timur menunjukkan hasil positif karena sawit berbuah lebih cepat. Uji coba di Sumatra kemudian menghasilkan hal serupa hingga pada 18 November 1911 penanaman komersial pertama dilakukan.

Menurut J. Stroomberg dalam Hindia Belanda 1930 (1930), percobaan-percobaan ini membuahkan rekor baru. Untuk pertama kalinya, Sumatra mengekspor minyak sawit ke luar negeri. Ini dihasilkan dari upaya warga yang menusuk buah sawit dengan besi panjang untuk mengeluarkan minyaknya.

Dari titik ini, sawit berubah menjadi komoditas bernilai tinggi. Buku Sejarah Statistik Ekonomi di Indonesia (1987) mencatat bahwa pada 1924, lahan sawit di Sumatra telah menembus 20.000 hektare. Alias melonjak dari sebelumnya hanya ratusan hektare. Pertumbuhan ini dipicu meningkatnya kebutuhan sawit untuk industri sabun dan mentega yang berkembang di Jawa.

Menjelang 1940, industri sawit di Hindia Belanda mencapai puncaknya. Dalam Sejarah Nasional Indonesia (1975) disebutkan sawit telah menjadi tanaman utama masyarakat dan pengusaha. Sawit berhasil sejajar dengan tebu, kopi, dan nila. Saat itu tercatat 60 perkebunan berdiri dengan total lahan 100.000 hektare di seluruh Indonesia. Dengan kapasitas sebesar itu, Indonesia pun menjadi eksportir utama minyak sawit mentah dunia, terutama untuk industri mentega dan sabun di Eropa.

Namun kejayaan ini tidak berlangsung lama. Pendudukan Jepang membuat industri sawit berhenti total, lalu baru kembali hidup pada era kemerdekaan dan benar-benar optimal pada dekade 1970-an.

(mfa/wur)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |