Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang voting di DPR Amerika Serikat (AS) pada Rabu (12/11/2025) sore waktu AS, nasib pemerintahan AS yang tengah mengalami penutupan lebih dari enam pekan akhirnya akan ditentukan.
Voting tersebut nantinya akan menentukan apakah penutupan terpanjang sejarah AS, yang telah berlangsung sejak 1 Oktober 2025 akhirnya berakhir atau justru masih akan berlanjut.
Penutupan pemerintahan AS ini yang telah berlangsung selama lebih dari 42 hari telah menimbulkan dampak yang luas khususnya bagi perekonomian AS. Mulai dari gaji pegawai pemerintahan yang belum terbayarkan, gangguan penerbangan, hingga tidak terbitnya data-data indikator ekonomi vital.
Seluruh mata penjuru dunia akan menanti hasil dari voting tersebut yang pada akhirnya akan ada dua skenario.
Skenario pertama adalah voting berhasil menyetujui pendanaan untuk pemerintahan bisa berjalan lagi setidaknya hingga 30 Januari 2026. Kemudian, ada skenario kedua yakni apabila voting untuk pendanaan ini masih gagal otomatis, pemerintahan AS ini akan kembali melanjutkan penutupannya hingga waktu yang tidak diketahui.
Dengan dua skenario tersebut, kita coba untuk melihat dampak nya ke beberapa hal berikut.
Dampak ke Bank Sentral AS (The Fed) & Pengaruh Terhadap Indeks Dolar AS
Penutupan pemerintahan AS selama lebih dari enam minggu membuat publikasi data ekonomi penting seperti inflasi, tenaga kerja, dan penjualan ritel terhenti total. Kondisi ini membuat The Federal Reserve (The Fed) kehilangan panduan utama untuk membaca kondisi ekonomi terkini menjelang pertemuan Federal Open Market Committee (FOMC) pada 9-10 Desember 2025.
Ketua The Fed Jerome Powell bahkan mengibaratkan situasi ini seperti "driving in the fog," menandakan bahwa bank sentral harus berhati-hati dalam mengambil keputusan di tengah kabut ketidakpastian.
Minimnya data dan meningkatnya ketidakpastian telah mendorong penguatan dolar AS di pasar global. Sejak penutupan pemerintahan dimulai pada 1 Oktober hingga 12 November 2025, indeks dolar AS (DXY) tercatat menguat 1,89%.
Indeks yang mengukur kekuatan dolar terhadap enam mata uang utama dunia ini menunjukkan meningkatnya minat investor terhadap dolar sebagai aset aman (safe haven) di tengah ketidakpastian fiskal AS.
Jika shutdown masih berlanjut, The Fed berisiko membuat keputusan moneter yang kurang akurat karena minimnya data ekonomi. Dalam skenario ini, The Fed cenderung menahan diri dari pemangkasan suku bunga lanjutan, yang dapat memperkuat dolar AS dan memberi tekanan pada aset berisiko seperti pasar saham dan mata uang emerging market, termasuk rupiah.
Namun, jika shutdown berhasil disudahi, rilis data ekonomi AS akan kembali berjalan normal. The Fed dapat menilai kembali kondisi inflasi dan tenaga kerja secara lebih komprehensif untuk memperkuat peluang pemangkasan suku bunga sebesar 25 basis poin di Desember. Menurut CME FedWatch Tool, pelaku pasar memproyeksikan kemungkinan sebesar 61,4% The Fed akan memangkas suku bunga nya di Desember.
Skenario ini akan menghidupkan kembali minat terhadap aset berisiko dan memberi ruang penguatan bagi rupiah.
Dampak ke Layanan Sosial dan Transportasi
Shutdown juga memukul sektor layanan publik. Lebih dari 5.500 penerbangan telah dibatalkan karena kekurangan petugas pengatur lalu lintas udara yang disebabkan oleh gaji yang belum diterima.
Menurut Tourism Economics, penutupan selama enam minggu berpotensi mengurangi belanja perjalanan sebesar US$2,6 miliar, dengan dampak lanjutan terhadap hotel, restoran, dan transportasi darat.
Tekanan terhadap ekonomi riil makin terasa menjelang akhir shutdown. Sentimen konsumen AS anjlok ke titik terendah dalam 3,5 tahun pada awal November, mencerminkan penurunan keyakinan rumah tangga menjelang musim liburan. Para ekonom turut memperingatkan, semakin lama shutdown berlangsung, semakin besar risiko pelemahan konsumsi dan PDB kuartal IV-2025.
Program bantuan sosial seperti Supplemental Nutrition Assistance Program (SNAP) yangn mana memberikan bantuan pangan bagi keluarga berpendapatan rendah di seluruh AS dan program sosial Women Infant and Children (WIC) yang menyediakan bantuan nutrisi khusus bagi ibu hamil, hingg anak-anak di bawah usia lima tahun juga terdampak.
Sekitar US$8 miliar manfaat pangan sempat tertunda pembayarannya kepada 42 juta penerima di seluruh AS, menimbulkan kekhawatiran terhadap ketahanan pangan keluarga berpendapatan rendah.
Kesepakatan anggaran yang kini menunggu persetujuan DPR AS akan memulihkan pendanaan penuh bagi kedua program tersebut hingga September 2026.
Jika shutdown berakhir, sektor layanan publik dan sosial akan menjadi penerima manfaat langsung. Operasional penerbangan, pariwisata, dan transportasi akan kembali normal, sementara pembayaran bantuan sosial serta gaji pegawai federal akan segera disalurkan.
Pemulihan belanja perjalanan dan konsumsi rumah tangga berpotensi memberikan efek positif terhadap pertumbuhan ekonomi AS di kuartal I-2026.
Sebaliknya, jika shutdown terus berlanjut, dampaknya akan semakin meluas. Gangguan penerbangan berisiko meningkat, sektor pariwisata akan kehilangan miliaran dolar tambahan, dan jutaan keluarga berpendapatan rendah terancam kembali mengalami keterlambatan penerimaan manfaat pangan.
Dampak terhadap Pegawai Pemerintahan AS
Tercatat sekitar 1,25 juta pegawai federal belum menerima gaji sejak awal Oktober, dengan total upah tertunda mencapai US$16 miliar atau setara dengan Rp267,12 triliun (asumsi kurs: Rp16.695/US$).
Kondisi ini telah menekan daya beli masyarakat dan menghambat perputaran konsumsi di sejumlah wilayah yang bergantung pada belanja pegawai negeri, seperti Washington D.C, Virginia, dan Maryland.
Jika shutdown berakhir, seluruh pegawai federal akan menerima pembayaran tertunggak (back pay) dalam waktu beberapa hari setelah pemerintah kembali beroperasi.
Aliran dana tersebut akan menjadi booster bagi konsumsi rumah tangga di akhir tahun dan awal kuartal I-2026. Aktivitas ekonomi diperkirakan pulih bertahap, sementara belanja ritel dan jasa akan meningkat, terutama pada sektor makanan, transportasi, dan hiburan.
Kembalinya 1,25 juta pegawai ke aktivitas normal juga akan menurunkan risiko perlambatan ekonomi jangka pendek.
Sebaliknya, jika shutdown terus berlanjut, tekanan ekonomi akan makin membesar. CBO memperkirakan tingkat pengangguran bisa naik 0,4 poin persentase, dari 4,3% menjadi 4,7%, sementara konsumsi ritel berisiko menurun signifikan akibat gaji yang belum dibayarkan.
Penurunan daya beli masyarakat ini dapat memangkas pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2025 hingga 1,5 poin persentase, dan memicu efek domino terhadap sektor jasa serta perbankan regional.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/luc)

1 hour ago
2

















































