Elvan Widyatama, CNBC Indonesia
27 December 2025 20:00
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom Komal Sri-Kumar memperingatkan bahwa tahun 2026 berpotensi menghadirkan krisis ekonomi terburuk dalam setengah abad terakhir, dan hanya sejumlah kecil aset yang dinilai mampu bertahan di tengah tekanan tersebut.
Dalam wawancara yang dipublikasikan di kanal YouTube David Lin pada 19 Desember, Presiden Sri-Kumar Global Strategies itu menilai dunia sedang menuju stagflasi. Gabungan dari inflasi tinggi dan resesi yang disebutnya belum terlihat sejak dekade 1970-an.
"Kita belum pernah melihat hal seperti ini sejak 1970-an. Alasan mengapa kita mengulanginya sekarang adalah karena stagflasi membutuhkan salah kelola kebijakan secara sadar agar bisa terjadi. Dan seluruh elemen menuju stagflasi itu sudah ada dalam prospek 2026. Jadi, semua pihak akan terkena dampaknya," ujarnya.
Komal Sri-Kumar merupakan ekonom makro global sekaligus Presiden Sri-Kumar Global Strategies, Inc., perusahaan konsultan strategi investasi dan kebijakan ekonomi berbasis di Amerika Serikat.
Sebelumnya, Komal berkarier lebih dari dua dekade di Trust Company of the West (TCW) sebagai Chief Global Strategist dan Ketua Comprehensive Asset Allocation Committee.
Risiko Inflasi Tinggi dan Resesi di 2026
Sri-Kumar memperkirakan inflasi akan berada di atas 3% pada 2026, dengan risiko resesi yang meningkat akibat tarif perdagangan dan pelemahan permintaan.
Dia juga menyoroti kenaikan imbal hasil obligasi jangka panjang sebagai sinyal bahwa pasar memperkirakan inflasi akan tetap bertahan, meski bank sentral Amerika Serikat (The Federal Reserve/The Fed) memangkas suku bunga jangka pendek.
Menurutnya, kondisi kurva imbal hasil yang semakin curam dapat menimbulkan akibat.
- Mendorong kenaikan suku bunga kredit perumahan
- Melemahkan konsumsi rumah tangga
Pada saat yang sama, dua mandat The Fed yakni menjaga stabilitas inflasi dan tingkat pengangguran, dinilai semakin sulit dicapai.
Situasi diperumit oleh sinyal bank sentral yang disebut bersedia memangkas suku bunga meskipun data ketenagakerjaan masih terlihat kuat, karena adanya keraguan terhadap keandalan data resmi.
Sri-Kumar memperingatkan bahwa keputusan berbasis intuisi, bukan data, dapat melemahkan kepercayaan terhadap kebijakan moneter AS.
Dari sisi fiskal, ia menilai defisit sekitar 6,5% terhadap PDB, ditambah pemotongan pajak dan kenaikan belanja, berpotensi memicu tekanan inflasi lebih lanjut. Menurutnya, situasi ini mencerminkan kondisi yang memicu inflasi tinggi pada periode 2020-2022.
Pandangan yang sejalan juga disampaikan analis Henrik Zeberg, yang menilai The Fed mengabaikan sinyal jelas terkait potensi pelemahan tajam ekonomi AS.
Aset yang Dinilai Berpeluang Bertahan
Dalam wawancara yang sama, Sri-Kumar menyoroti meningkatnya tekanan terhadap dunia usaha, termasuk dampak otomatisasi dan kecerdasan buatan (AI) yang menyebabkan kehilangan pekerjaan permanen, terutama pada kelompok usia muda.
Dia menilai investor perlu mencari aset lindung nilai seperti logam mulia. Emas dan perak disebut telah melonjak sepanjang 2025 akibat kekhawatiran inflasi, dan berpotensi melanjutkan penguatan hingga 2026.
Tren tersebut sudah terlihat pada pergerakan harga logam mulia di pasar.
Harga perak ditutup di posisi US$79,15 per troy ons pada perdagangan Jumat (26/12/2025), melesat 10,01% dalam sehari dan mencatat kenaikan harian tertinggi sejak 17 September 2008, sekaligus rekor tertinggi sepanjang masa. Secara kumulatif sepanjang tahun ini (YTD), harga perak telah melonjak 174%.
Pada saat yang sama, harga emas juga terus bergerak di zona rekor. Emas ditutup di level US$4.532,28 per troy ons atau naik 1,18% pada perdagangan Jumat (26/12/2025).
Ini merupakan pertama kalinya emas ditutup di kisaran US$4.500, setelah sebelumnya hanya menyentuh level tersebut pada perdagangan intraday. Secara kumulatif di sepanjang tahun ini, harga emas dunia sudah menguat 72%.
Sri-Kumar bahkan memproyeksikan harga emas dapat mencapai US$5.000 per troy ounce pada akhir 2026.
Sebaliknya, mata uang alternatif seperti yen Jepang dinilai kurang ideal sebagai aset aman karena keterbatasan likuiditas, kontrol modal, dan hambatan ekonomi.
Kumar juga menyarankan sebagian portofolio dialokasikan ke aset alternatif, termasuk properti dan utang bermasalah (distress debt).
"Jika Anda berada di saham, Anda bisa terpukul. Jika memegang obligasi jangka panjang, Anda juga bisa terpukul karena imbal hasil naik. Jadi, ke mana harus berlindung? Sebagian portofolio sebaiknya ditempatkan pada aset alternatif mungkin properti atau utang bermasalah. Ketika darah mengalir di jalanan, saat itulah Anda menempatkan sebagian dana.," Ujarnya.
Menutup pandangannya, Sri-Kumar menegaskan bahwa seluruh elemen menuju stagflasi sudah terlihat, dan krisis diperkirakan akan mempengaruhi konsumen hingga investor, seiring tetap dominannya tensi perang dagang dalam lanskap ekonomi 2026.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(evw/evw)

2 hours ago
1

















































