Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia termasuk saham akan kembali dibuka pada 8 April 2025. Hal ini tentu menjadi perhatian investor usai libur panjang.
Sebelumnya, pada penutupan perdagangan 27 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terpantau menguat sebesar 0,59% ke level 6.510. Posisi ini merupakan yang tertinggi sejak 14 Maret 2025.
Apresiasi IHSG ini telah terjadi selama tiga hari beruntun atau sejak 25 Maret 2025.
Selama libur lebaran 2025 kali ini (28 Maret - 4 April 2025), pasar saham Indonesia terpantau tutup atau tidak mengalami pergerakan. Hal ini berbeda dengan pasar saham di negara lainnya yang mengalami pergerakan.
Berdasarkan data sepanjang 27 Maret - 4 April 2025, pasar saham di negara lainnya tampak mengalami penurunan yang bervariasi. Pasar saham di beberapa negara turun tak sampai satu persen, seperti Filipina dan Shanghai (China), namun di Amerika Serikat (AS) terpantau ambles sekitar 9-12%.
Secara umum, bursa saham tertekan akibat kebijakan tarif Presiden AS, Donald Trump serta balasan China atas tarif tersebut. Hal ini bisa memicu perang dagang global yang bisa mengarah pada resesi.
Bursa jatuh setelah Kementerian Perdagangan China menyatakan pada Jumat (4/4/2025) bahwa mereka akan memberlakukan tarif sebesar 34% pada semua produk AS. Pernyataan ini mengecewakan para investor yang sebelumnya berharap kedua negara akan berunding terlebih dahulu sebelum mengambil langkah balasan.
Selain itu, Indeks Volatilitas CBOE (VIX), yang dikenal sebagai pengukur ketakutan Wall Street, melonjak ke atas angka 40, level ekstrem yang biasanya hanya terlihat saat penurunan pasar yang sangat cepat.
Ketakutan investor ini terkait erat dengan kebijakan Trump.
Trump tampaknya tetap bersikukuh di tengah reaksi negatif pasar terhadap gelombang tarifnya yang diumumkan pada Rabu kemarin. Di Truth Social pada hari Jumat, ia menulis bahwa "kebijakan saya tidak akan pernah berubah."
"Ketakutannya sekarang menjelang akhir pekan adalah bahwa perang dagang akan terus meningkat, dan AS tidak akan mundur," kata Jay Woods, kepala strategi global di Freedom Capital Markets, kepada CNBC International.
Potensi resesi bukanlah hal yang paling dikhawatirkan oleh Jurrien Timmer dari Fidelity, dibandingkan dengan konsekuensi dari rotasi besar-besaran keluar dari saham teknologi raksasa 'Magnificent Seven'.
"Pasar saat ini sangat berat di atas, sehingga jika kita mulai melihat rotasi sekuler dari Mag 7 ke segmen lain (terutama saham di luar AS), maka dampaknya bisa jauh lebih dalam dibandingkan pertumbuhan ekonomi itu sendiri," tulis Timmer, Direktur Global Macro di Fidelity, dalam sebuah unggahan di platform X pada Jumat.
"Lanskap risiko/imbal hasil saat ini sangat timpang dan condong ke saham mega-grower (perusahaan dengan pertumbuhan besar), hingga bisa menjadi peristiwa sistemik bagi pasar. Akan ada banyak hal yang harus dikejar jika Mag 7 kembali sejajar dengan ACWI ex-US," tambahnya.
CNBC INDONESIA RESEARCH