Menuju Universalisme Sertifikasi Halal Indonesia

19 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Keputusan Indonesia untuk tidak melakukan retaliasi atas kebijakan tarif resiprokal Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump ternyata tidak berlangsung sederhana. Presiden Indonesia Prabowo Subianto memilih strategi diplomasi dan negosiasi terhadap tarif resiprokal 32 persen, yang akan mulai berlaku tanggal 9 Juli 2025.

Tim diplomasi ekonomi yang datang ke Washington DC untuk mempermudah dan memfasilitasi ekspor Indonesia ke AS, ternyata mendapat pertanyaan serius tentang syarat kehalalan yang dianggap menghambat ekspor produk peternakan dari AS ke Indonesia.

Pemerintah AS mengajukan komplain terhadap Peraturan Presiden Nomor 6 Tahun 2023 tentang Sertifikasi Halal Obat, Produk Biologi dan Alat Kesehatan. Perpres 6/2023 tersebut memang mewajibkan semua obat-obatan, produk biologi, dan alat kesehatan yang dijual di Indonesia, beserta metode pembuatannya (termasuk bahan terkait, proses pembuatan, penyimpanan, dan pengemasan) harus bersertifikat halal. Secara tegas, Perpres 6/2023 mewajibkan alat kesehatan Kelas D untuk bersertifikat halal paling lambat Oktober 2039.

Pemerintah AS beralasan bahwa para pengampu kepentingan, tepatnya mitra dagang importirnya di Indonesia, mengkhawatirkan terhadap tatakelola atau governansi dari sistem sertifikasi halal yang berlaku di Indonesia. Indonesia dianggap tidak melakukan proses konsultasi yang memadai dan tidak mengikuti kaidah sistem halal yang pernah dibahas atau dinegosiasikan di tingkat internasional.

Indonesia tentu tidak boleh kalah gertak dari AS dalam urusan impor produk pangan dan kesehatan, hanya karena persyaratan halal di Indonesia dianggap terlalu kaku. Prinsip halal tidak dapat dinegosiasikan, karena pangan halal tidak sekadar berdimensi duniawi, tapi juga ukhrowi (akhirat). Apalagi jika harus mengacu pada ajaran islam, pangan halal itu jelas, dan pangan haram pun juga jelas.

Artikel ini menganalisis peluang universalisme sertifikasi halal Indonesia, yang perlu terus diperjuangkan dan didiseminasikan di tingkat internasional. Tidak berlebihan untuk dikatakan bahwa pangan halal itu adalah suatu keniscayaan zaman dan merupakan gaya hidup baru (lifestyle) generasi sekarang yang lebih bersih, higienis dan menyehatkan.

Penurunan Impor Daging dari AS
Indonesia sebenarnya tidak terlalu besar dalam mengimpor daging dan produk daging dari AS. Data dari United States Department of Agriculture (USDA), nilai impor daging dan produk daging dari AS US$ 87,2 juta pada 2024, meningkat dari US$ 65,3 juta pada 2023.

Pada 2022, Indonesia mengimpor daging dan produk daging yang besar, yaitu US$ 103,4 juta. Bagi AS, pasar daging Indonesia sangat kecil dibandingkan dengan pasar Korea Selatan yang telah mengimpor daging sebesar US$ 2,2 miliar pada 2024. Pasar ekspor daging AS ke Jepang tercatat US$ 1,87 miliar, ke China US$ 1,58 miliar dan ke Meksiko US$ 1,35 miliar.

Fakta penurunan impor daging yang turun signifikan tersebut yang mungkin membuat Pemerintah AS menaruh perhatian pada sertifikasi halal yang diterapkan Indonesia. Pada periode Januari-April 2025, Indonesia mengimpor daging dan produk daging hanya US$ 1,5 juta, suatu penurunan 87 persen dibandingkan dengan nilai impor periode yang sama Januari-April 2024 yang mencapai US$ 11,8 juta.

Sementara itu, Indonesia sangat ragu atas metode stunning dalam pemotongan sapi di AS yang menggunakan alat tembak yang dapat merusak jaringan otak sapi dan mengarah pada penyiksaan, yang justru bertentangan dengan prinsip animal welfare (kesejahteraan hewan).

Diskusi ilmiah dan perdebatan para ahli peternakan dan kesehatan hewan berlangsung sangat terbuka, dan menjadi kajian akademik yang cukup objektif. Konsumen daging Indonesia memiliki preferensi yang lebih tinggi terhadap daging segar yang baru disembelih, dibandingkan dengan daging beku yang berasal dari impor.

Dalam Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal telah jelas diatur bahwa sertifikasi halal hukumnya adalah wajib untuk makanan, minuman, farmasi, kosmetik, alat kesehatan, produk biologi, produk rekayasa genetika, barang konsumsi, dan produk kimia yang dijual di Indonesia.

UU 33/2024 juga mengatur semua proses bisnis, termasuk produksi, penyimpanan, pengemasan, distribusi, dan pemasaran. Beberapa produk turunan dari UU 33/2014 juga telah diundangkan, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 31/2018 tentang Peraturan Pelaksanaan UU 33/2014, PP 42/2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal yang disempurnakan dan mencabut PP 39/2021 yang lama.

Dinamika politik dan kebijakan di Indonesia berlangsung cukup tinggi, yang berusaha menyempurnakan peraturan perundang-undangan tentang jaminan produk halal. Hal ini membuat khawatir Pemerintah AS dan para mitranya bahwa peraturan perundang-undangan yang baru tersebut menjadi Hambatan Teknis Perdagangan (Technical Barriers to Trade) yang bertentangan dengan Ketentuan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO).

Indonesia cukup aktif berusaha memberitahukan peraturan perundangan-undangan tentang kehalalan produk kepada WTO, walaupun sering terlambat, atau setelah peraturan tersebut telah berjalan cukup lama.

Universalisme Sertifikasi Halal
Indonesia berusaha mengembangkan sertifikasi halal yang cukup universal, dengan mempertimbangkan kepentingan konsumen dalam negeri, yang wajib dilayani dan dijamin kehalalan produk yang dikonsumsinya. Secara normatif, semuanya telah cukup jelas, bahwa "obat, produk biologi, dan alat kesehatan yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal" (Pasal 2 Perpres 6/2023).

Bahan baku, zat aktif dan bahan tambahan, kemasan, pelumas, grease, sanitizer, bahan penolong, media untuk validasi, bahan yang berasala dari hewan, tumbuhan, mikroba, bahan yang digunakan dalam cara pembuatan yang halal wajib bersertifikat halal, tidak berasal bahan yang diharamkan, tidak dihasilkan dari fasilitas produksi yang tidak halal, tidak bercampur dan/atau bersinggungan dengan bahan yang diharamkan, dan harus memenuhi aspek keamanan dan kesehatan (Pasal 6 Perpres 6/2023).

Di tingkat diplomasi ekonomi, Indonesia perlu terus menyelenggarakan Forum Halal dalam skala regional dan internasional, baik di tingkat kawasan Asia Tenggara (ASEAN), Asia dan Pasifik (APEC), atau bahkan kerjasama yang lebih strategis seperti negara-negara Anggota G-20 dan lain-lain. Forum Halal seperti ini tidak hanya menjadi mediasi transaksi bisnis global, tapi juga membuka networking lebih luas tentang kehalalan produk yang lebih prospektif.

Dalam hal penguatan kerja sama dengan lembaga halal luar negeri (LHLN), beberapa inisiatif awal dengan Islamic Services of America (ISA), USA Halal Chamber of Commerce Islamic Society of the Washington Area (ISWA), Halal Certification Department, perlu segera ditindaklanjuti. Prioritas dapat diberikan kepada produk halal berkualitas tinggi, produk daging dan barang konsumsi lainnya untuk memenuhi standar jaminan produk halal (SJPH) Indonesia.

Upaya menuju universalisme sertifikasi halal perlu terus diperjuangkan, dimulai dari hal-hal common sense yang mudah diterima masyarakat. Halal itu baik dan menyehatkan.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |