Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Tahun 2025 merupakan tahun yang penuh tantangan bagi ekonomi Indonesia ketika pemerintah memutuskan pemotongan anggaran secara masif di tengah peran APBN sebagai salah satu pendorong pertumbuhan ekonomi. Pada tahap pertama, pemerintah sudah memotong anggaran sebesar Rp 306 triliun, sementara sekitar Rp 600 triliun lagi akan dipotong pada fase-fase berikutnya.
Tentu saja pemotongan anggaran bukan saja memberikan dampak terhadap sektor pemerintahan saja, namun juga sektor-sektor lain yang mendukung berjalannya pemerintahan. Tidak aneh bila sejumlah pihak yang memprediksi bahwa ekonomi Indonesia akan mengalami kontraksi tahun ini di tengah ambisi pertumbuhan ekonomi delapan persen pada beberapa tahun mendatang.
Apapun kinerja ekonomi Indonesia pada tahun 2025, hal demikian akan mempengaruhi kemampuan belanja pemerintah di sektor pertahanan di tengah fakta bahwa sektor tersebut telah ditetapkan sebagai salah satu sektor prioritas.
Saat ini para pelaku usaha di sektor pertahanan sedang menanti rencana belanja pemerintah hingga akhir dekade ini yang dicerminkan dengan penerbitan Daftar Rencana Pinjaman Luar Negeri Jangka Menengah (DRPLN-JM) 2025-2029.
Belum diketahui secara pasti kapan Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas akan mengeluarkan dokumen tersebut, apakah pada tahun ini atau tahun depan. Namun satu hal yang pasti, kapasitas belanja pemerintah hingga 2029 di sektor pertahanan akan dipengaruhi oleh kinerja ekonomi Indonesia pada tahun ini dan tahun-tahun ke depan.
Yang menjadi pertanyaan apakah pemerintah masih akan memiliki program ambisius di sektor pertahanan lewat belanja sistem senjata bernilai minimal US$ 20 miliar? Apakah Blue Book 2025-2029 untuk Kementerian Pertahanan akan bernilai antara US$ 25 miliar sampai US$ 30 miliar seperti pada periode 2020-2024?
Akuisisi sistem senjata pada kurun 2020-2024 telah memberikan salah satu pelajaran penting terkait dengan kapasitas fiskal pemerintah, di mana kapasitas fiskal mendukung pengadaan tersebut terbatas. Hal ini berbeda saat alokasi Pinjaman Luar Negeri (PLN) masih pada angka satu digit dalam miliar dolar AS di era 2010-2019 sehingga pemerintah tidak kesulitan menyediakan dana Rupiah Murni Pendamping.
Tantangan ekonomi yang dihadapi Indonesia dalam beberapa tahun ke depan akan memiliki korelasi langsung terhadap implementasi Rencana Strategis2025-2029. Oleh sebab itu, Kementerian Pertahanan sebaiknya menerapkan skala prioritas dalam Renstra 2025-2029 dengan tetap memberikan prioritas pada pembangunan kekuatan udara dan kekuatan maritim, di mana kekuatan TNI Angkatan Udara dan TNI Angkatan Laut dituntut dapat melaksanakan operasi gabungan secara seamless.
Ancaman yang dihadapi ke depan akan semakin menantang mengingat bahwa perkembangan lingkungan strategis kawasan Indo Pasifik yang ditandai oleh persaingan kekuatan besar menuntut Indonesia harus memiliki kekuatan pertahanan yang modern dan kredibel, bahkan untuk kemampuan defensif sekalipun.
Terkait dengan kewajiban alih teknologi bagi pengadaan sistem senjata dari luar negeri, kegiatan demikian hendaknya dilaksanakan secara terukur sesuai dengan skala prioritas teknologi apa saja yang hendak dikuasai. Alih teknologi hanya salah satu cara untuk menguasai teknologi maju, sebab aktivitas itu harus diikuti pula oleh penelitian dan pengembangan teknologi secara mandiri oleh Indonesia.
Saat ini sejumlah program alih teknologi tengah berjalan, termasuk beberapa teknologi maju yang sebelumnya belum pernah diakses oleh Indonesia. Paket alih teknologi yang sedang berjalan pun bukan sekedar tentang pengetahuan, tetapi terdapat pula aktivitas manufaktur yang bernilai ekonomis bagi Indonesia.
Salah satu program pengadaan sistem senjata yang nampaknya akan dilanjutkan pada periode 2025-2029 ialah program kapal perang permukaan tipe fregat. Pengadaan fregat harus direncanakan secara matang dengan melibatkan semua pemangku kepentingan, baik pemerintah, BUMN maupun swasta agar sejumlah kekurangan dalam program akuisisi fregat di masa sebelumnya tidak terulang lagi.
Dibutuhkan keseimbangan antara aspek kemampuan teknis fregat yaitu mampu melindungi gugus tugas dari beragam ancaman peperangan dan aspek ekonomis yang didapatkan oleh Indonesia dari program tersebut. Di antara aspek ekonomis yang dimaksud adalah pembangunan kapal perang itu di galangan Indonesia, di mana praktek serupa lumrah dilakukan oleh beberapa negara lain di kawasan ini ketika mengimpor kapal perang permukaan.
Sementara itu, sejak pelaksanaan MEF 2020-2024 sudah terdapat gagasan dari Kementerian Pertahanan untuk melakukan akuisisi kapal induk. Ide demikian nampaknya akan diakomodasi pada Renstra 2025-2044 dengan implementasi pada fase 2025-2029 bila program pembelian kapal induk sudah tercantum dalam Blue Book 2025-2029.
Dapat dipastikan bahwa kapal induk yang dilirik oleh Indonesia ialah kapal induk bertonase kecil dan tidak seperti kapal induk yang dioperasikan oleh US Navy. Biaya yang diperlukan untuk pengadaan kapal induk pun terbilang murah karena nilainya hanya berkisar US$ 400 juta saja, di mana angka tersebut sudah mencakup perbaikan kapal sebelum diserahkan kepada Indonesia dan penyediaan pasokan suku cadang.
Tentang operasional kapal induk, Indonesia mungkin bisa melihat bagaimana Prancis menggunakan aset tersebut sebagaimana dalam pameran bendera yang dilaksanakan pada bulan Januari 2025 lewat Mission Clemenceau yang juga singgah di pelabuhan Indonesia. Kapal induk beroperasi dalam suatu gugus tugas yang antara lain terdiri dari kapal kombatan permukaan seperti fregat dan kapal selam sebagai kapal tabir, selain didukung pula oleh kapal logistik.
Peran kapal kombatan permukaan dan kapal selam sangat penting dalam melindungi kapal induk sebagai badan utama gugus tugas dari ancaman peperangan permukaan, peperangan kapal selam dan peperangan udara. Tanpa kehadiran kapal kombatan permukaan dan kapal selam, kapal induk memiliki kemampuan pertahanan diri yang cukup lemah mengingat bahwa fungsi kapal tersebut ialah untuk mendukung operasi pesawat tempur dan helikopter.
Oleh sebab itu, program akuisisi kapal kombatan permukaan hendaknya tetap menjadi prioritas Kementerian Pertahanan terlepas dari pro kontra soal rencana pengadaan kapal induk. Diperkirakan program pengadaan kapal kombatan permukaan seperti fregat pada periode 2025-2029 akan berlangsung cukup ketat mengingat beberapa galangan menawarkan solusi mereka, termasuk Naval Group yang menyodorkan fregat Belharra atau dikenal juga sebagai FDI.
Secara teknis, fregat tersebut mempunyai sejumlah keunggulan dibandingkan dengan calon pesaing seperti adopsi teknologi elektronika dan komputasi maju. Keunggulan pada aspek teknis harus bisa digabungkan pula dengan penawaran menarik terkait kewajiban transfer teknologi kepada Indonesia selaku pembeli, harga yang kompetitif, pembiayaan yang murah dan mudah dan lobi tingkat tinggi.
Kondisi ekonomi Indonesia yang diprediksi penuh tantangan hendaknya disikapi dengan kehati-hatian, termasuk penggunaan alokasi anggaran belanja pertahanan yang terbatas secara tepat. Apapun program yang tercantum dalam Blue Book 2025-2029, eksekusi program tersebut hendaknya mencari sistem senjata yang maju, andal, teruji sekaligus memberikan keuntungan ekonomi kepada Indonesia.
(miq/miq)