Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com
Pada tanggal 28 Mei 2025, Presiden Prancis Emmanuel Macron mengunjungi Indonesia dan bertemu dengan Presiden Prabowo Subianto sebagai bagian dari lawatannya ke Asia Tenggara. Dalam kunjungan tersebut, kedua negara menandatangani perjanjian kerja sama dan investasi senilai US$ 11 miliar di berbagai sektor.
Momentum ini penting bagi kedua negara karena merupakan kunjungan kenegaraan ketiga Presiden Prancis setelah Francois Mitterrand pada tahun 1986 dan Francois Hollande pada tahun 2016. Kunjungan Macron ke Indonesia kemudian menegaskan pentingnya Jakarta bagi strategi Indo-Pasifik Prancis dan Uni Eropa di tengah meningkatnya ketegangan geopolitik global. Bahkan, pertahanan merupakan aspek utama pembahasan bilateral Indonesia-Prancis dalam kunjungan terakhir.
Pentingnya sektor pertahanan dalam kerja sama Indonesia-Prancis semakin ditegaskan dengan kehadiran Menteri Angkatan Bersenjata Prancis Sebastien Lecornu di antara delegasi tersebut, membuat kunjungan ini kali ketiganya sejak 2022. Kunjungan pertama Lecornu pada November 2022 terjadi setelah Indonesia mendatangkan 42 jet tempur Rafale dalam kesepakatan senilai US$ 8,1 miliar pada Februari di tahun yang sama.
Lebih jauh, dalam rangka memperingati 75 tahun hubungan bilateral Jakarta-Paris, Lecornu mengunjungi Indonesia awal tahun ini dan bertemu dengan mitranya, Sjafrie Sjamsoeddin, dan Presiden Indonesia Prabowo Subianto, sebelum mengunjungi kapal induk Prancis Charles de Gaulle yang singgah di Lombok sebagai bagian dari misi Carrier Strike Group (CSG) Clemenceau 25 Prancis.
Di tengah meningkatnya kerja sama pertahanan antara Indonesia dan Prancis, Lecornu mengungkapkan bahwa Jakarta telah menandatangani Letter of Intent (LoI)-mirip dengan yang ditandatangani pada tahun 2022 antara Menteri Pertahanan Prancis saat itu Florence Parly dan Prabowo. LoI terbaru mencakup potensi pengadaan jet tempur Rafale, fregat ringan, kapal selam Scorpene, dan howitzer CAESAR dari Paris.
Bahkan, LoI tersebut menyoroti kepercayaan Indonesia untuk melanjutkan akuisisi sistem persenjataan buatan Prancis, khususnya untuk jet tempur Rafale dan kapal selam Scorpene. Menyikapi penandatanganan tersebut, Prabowo menyatakan bahwa Prancis adalah mitra strategis Indonesia sebagai bagian dari upaya modernisasi pertahanannya dan Jakarta akan terus memperkuat kerja sama pertahanan dengan Paris.
Menariknya, beberapa pengamat menunjukkan kekhawatiran bahwa hubungan antara Paris dan Jakarta hanyalah hubungan bisnis; beberapa berpendapat bahwa Paris melihat Jakarta hanya sebagai klien. Meski Indonesia memang menjadi importir utama alutsista buatan Prancis di Asia Tenggara, Paris juga telah meningkatkan investasinya di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir.
Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Anindya Bakrie, mengungkapkan Prancis merupakan negara Uni Eropa kedua dengan investasi terbesar di Indonesia. Selain itu, menurut Badan Pusat Statistik, nilai investasi Prancis di Indonesia menunjukkan tren peningkatan, mencapai US$ 328,10 juta pada 2024-naik 8,36% y-o-y dari US$302,8 juta pada 2023.
Meskipun demikian, hubungan pertahanan Paris-Jakarta jauh dari sekadar transaksional karena beberapa alasan. Pertama, industri pertahanan Prancis termasuk sedikit yang sepenuhnya menghormati kewajiban countertrade, local content, and offset (CTLCO) Indonesia dalam program pengadaan senjata.
Dosen Universitas Bina Nusantara sekaligus pakar industri pertahanan, Curie Maharani Savitri, menyatakan Prancis termasuk yang paling dapat diandalkan dalam komitmennya untuk menyediakan transfer teknologi atau offset bagi Indonesia. Keterlibatan Paris dalam memenuhi regulasi CTLCO Jakarta dapat dilihat dalam akuisisi jet tempur Rafale, radar GCI, dan kapal selam Scorpene Evolved, antara lain, yang melibatkan usaha patungan dan/atau manufaktur bersama antara perusahaan Prancis dan Indonesia untuk memperlancar transfer teknologi/implementasi offset dan pada tingkat yang lebih lanjut, menyediakan kesempatan kerja di pasar nasional.
Bahkan, dengan minat Indonesia untuk mendapatkan sistem persenjataan tambahan dari Prancis, Jakarta dapat mengharapkan keterlibatan yang lebih dalam terkait transfer teknologi utama yang dapat mendukung basis teknologi dan industri pertahanannya.
Misalnya, LoI terbaru juga mencakup rencana Indonesia untuk mengakuisisi fregat dari Prancis, seperti FDI/Belh@rra, yang dapat mendukung PT PAL Indonesia sebagai lead integrator dalam membuat lompatan industri dan teknologi melalui transfer teknologi utama.
Kedua, kerja sama Indonesia-Prancis merupakan kemitraan strategis nyata yang didasarkan pada komitmen jangka panjang karena kedua negara memiliki nilai-nilai yang sama, terutama dalam hal norma internasional, stabilitas regional, dan kebebasan navigasi.
Setelah mengunjungi Jakarta, Macron menghadiri dialog Shangri-La 2025 di Singapura di mana ia mendorong koalisi negara-negara independen antara Eropa dan Asia, yang menggemakan komitmen netralitas dan non-alignment Indonesia. Dengan berkembangnya kemitraan Jakarta-Paris, status Indonesia sebagai kekuatan regional dan menengah menjadi semakin relevan bagi Prancis dalam mendukung kebijakan luar negeri Prancis yang selanjutnya memperkuat kemitraan antara kedua negara.
Khusus di sektor pertahanan, penandatanganan Perjanjian Kerja Sama Pertahanan (Defence Cooperation Agreement/DCA) pada tahun 2021, serta deklarasi bersama terbaru untuk pengembangan Kemitraan Strategis Indonesia-Prancis hingga tahun 2050, semakin memberikan peluang lebih besar bagi Indonesia untuk memanfaatkan kerja samanya dengan Prancis, terutama di sektor-sektor strategis.
Ketiga, kerja sama militer Indonesia-Prancis telah meningkat sejak 2022 dan terus meningkat setiap tahunnya, seperti yang terlihat pada misi Pégase pada tahun 2022, 2023, dan 2024, Garuda Guerrier 23 dan 25, serta Clemenceau 25. Kerja sama tersebut menegaskan bahwa komitmen Prancis melampaui hubungan supplier-klien; selain melayani tujuan politik dan strategis, kerja sama tersebut juga dapat meningkatkan interoperabilitas, mendemonstrasikan komitmen, serta bertindak sebagai instrumen kepercayaan dan pengembangan kapasitas yang dapat mendukung Tentara Nasional Indonesia (TNI).
Yang tak kalah pentingnya, selama kunjungan baru-baru ini, Indonesia dan Prancis menandatangani perjanjian kerja sama tentang Perjanjian Informasi Kerahasiaan Personel Militer (MPCIA) untuk pertukaran informasi strategis dan intelijen yang akan memungkinkan kerja sama reguler antara kedua negara dan pada akhirnya memperkuat hubungan militer dan pertahanan.
Dan keempat, pendidikan militer dan pendidikan bahasa telah menjadi bagian integral dalam kemitraan strategis antara Indonesia dan Prancis, seperti yang terlihat selama kunjungan Macron dan Prabowo di Akademi Militer Indonesia (Akmil) di Magelang, Jawa Tengah. Kedua pemimpin juga berkesempatan meninjau laboratorium bahasa Prancis di Akmil dan bertukar pertanyaan dengan para mahasiswa yang hadir di kelas tersebut.
Perlu dicatat, pendirian kursus bahasa Prancis untuk perwira dan bintara Indonesia merupakan bagian dari kerja sama pertahanan dan keamanan kedua negara yang lebih luas yang disepakati selama kunjungan Macron. Bagi Indonesia, pendidikan militer dan bahasa dapat meningkatkan keterampilan personel TNI untuk keterlibatan internasional seperti Operasi Pemeliharaan Perdamaian (PKO), pelatihan, intelijen, dan operasi, terutama untuk alutsista buatan Prancis.
Secara keseluruhan, kunjungan Macron baru-baru ini menegaskan relevansi Indonesia dalam agenda kebijakan luar negeri Prancis, dan lebih jauh lagi, agenda kebijakan luar negeri Eropa. Penandatanganan kerja sama di sektor strategis hingga tahun 2050 mewakili lebih dari sekadar hubungan transaksional, tetapi kepercayaan dan tujuan bersama.
Di tengah meningkatnya ketegangan dalam konteks keamanan global, komitmen Jakarta dan Paris semakin mempererat kemitraan strategis antara kedua negara dalam jangka panjang. Faktanya, kerja sama yang telah berakar di sektor pertahanan telah memberikan dasar kepercayaan yang diperlukan bagi kedua negara.
Tetapi lebih khusus lagi bagi Indonesia dalam melindungi kedaulatan dan kepentingannya, terutama melalui penegakan program transfer teknologi dan offset dalam agenda pengadaan sistem persenjataan. Pada akhirnya, komitmen Paris telah menjadi tolok ukur bagi Jakarta dalam menilai mitra strategisnya sambil juga menegakkan otonominya di era ketidakpastian.
(miq/miq)