Larangan Rekam Audio Visual dengan Pejabat DJP Digugat ke MK

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Seorang warga negara Indonesia yang berprofesi sebagai kuasa wajib pajak dalam proses administrasi dan penegakan hukum perpajakan di Direktorat Jenderal Pajak (DJP) bernama Fungsiawan mengajukan permohonan uji materiil terhadap Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum Dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) ke Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam permohonan judicial review yang terdaftar dengan nomor 211/PUU-XXIII/2025 di Mahkamah Konsititusi, Fungsiawan menggugat Pasal 34 Ayat (1) dan Ayat (2) UU KUP yang Melarang Hak Wajib Pajak dan/atau Kuasanya Melakukan Perekaman Audio Visual pada saat Pertemuan dengan Fiskus.

Pemohon mengatakan ketentuan yang diuji itu selama ini menimbulkan multitafsir sehingga timbul ketentuan mengenai larangan hak wajib pajak dan/atau kuasanya melakukan perekaman audio visual pada saat pertemuan dengan fiskus atau pejabat pajak.

"Bahwa Pasal 34 ayat (1) dan (2) UU KUP pada hakikatnya mengatur larangan bagi Fiskus dan tenaga ahli yang ditunjuk untuk membocorkan rahasia Wajib Pajak, bukan melarang Wajib Pajak atau Kuasanya melakukan perekaman audio visual. Dengan demikian, larangan merekam yang didalilkan DJP tidak bersumber dari bunyi norma UU KUP, melainkan merupakan penafsiran yang diperluas (over-extended interpretation) terhadap norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) tersebut," dikutip dari permohonan Fungsiawan, Selasa (11/11/2025).

Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP selengkapnya berbunyi, "(1) Setiap pejabat dilarang memberitahukan kepada pihak lain segala sesuatu yang diketahui atau diberitahukan kepadanya oleh Wajib Pajak dalam rangka jabatan atau pekerjaannya untuk menjalankan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. (2) Larangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berlaku juga terhadap tenaga ahli yang ditunjuk oleh Direktur Jenderal Pajak untuk membantu dalam pelaksanaan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan".

Menurut Fungsiawan selaku pemohon, dalam praktik proses-proses administrasi dan penegakan hukum perpajakan, Direktoral Jenderal Pajak (DJP) melarang Pemohon selaku kuasa wajib pajak melakukan perekaman audio visual.

Padahal Pemohon mengaku melakukan perekaman audio visual pada setiap pertemuan dengan petugas sebagai landasan transparansi dan integritas dari pertemuan resmi tersebut.

Pemohon pun meminta dasar hukum larangan merekam melalui mekanisme Pejabat Pengelola Informasi Dokumentasi (PPID). Tanggapan PPID pada pokoknya tertulis dasar larangan merekam adalah Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP dan rujukan lain seperti UU Perlindungan Data Pribadi.

Pemohon menuturkan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP pada hakikatnya mengatur larangan bagi fiskus dan tenaga ahli yang ditunjuk untuk membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang wajib pajak atau kuasanya melakukan perekaman audio visual.

Dengan demikian, larangan merekam yang didalilkan DJP tidak bersumber dari bunyi norma UU KUP, melainkan merupakan penafsiran yang diperluas (over-extended interpretation) terhadap norma Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) tersebut.

Menurut Pemohon, tafsir yang digunakan DJP tersebut keliru dan berlebihan karena Pasal 34 UU KUP secara eksplisit hanya mengatur larangan bagi fiskus membocorkan rahasia wajib pajak, bukan melarang wajib pajak atau kuasanya untuk merekam proses pemeriksaan. Tidak ada satu pun norma dalam UU KUP yang membatasi hak wajib pajak atau kuasanya untuk merekam audio visual atas kegiatan pemeriksaan.

Sementara itu, Pemohon menyebut, secara internal, DJP justru mewajibkan perekaman audio visual terhadap kegiatan-kegiatan tertentu, termasuk namun tidak terbatas pada Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan Pajak (PAHP). Namun, dalam praktiknya kewajiban perekaman tersebut sering tidak dilaksanakan oleh fiskus.

Fiskus, kata Pemohon, sering tidak dapat menunjukkan rekaman audio visual yang semestinya menjadi satu kesatuan dengan berita acara PAHP. Dalih yang sering disampaikan adalah rekaman CCTV terhapus otomatis karena sistem overwriting. Alasan tersebut tidak dapat dibenarkan secara hukum, mengingat perekaman bersifat wajib dan bagian dari alat bukti resmi menurut aturan DJP sendiri.

Kendati rekaman tidak ada, petugas DJP tetap menyatakan PAHP telah sah dan Berita Acara tetap digunakan sebagai dasar terbitnya produk hukum (misalnya SKP). Padahal, menurut SE-12/PJ/2016 huruf E angka 6, rekaman merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari berita acara; maka ketiadaan rekaman mengakibatkan cacat formil pada Berita Acara dan keseluruhan proses PAHP.

Karena itu, kronologi yang dialami Pemohon tersebut mendorong kebutuhan penegasan konstitusional. Dalam petitumnya para Pemohon memohon kepada Mahkamah untuk menyatakan Pasal 34 ayat (1) dan ayat (2) UU KUP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945 sepanjang dimaknai melarang Wajib Pajak dan atau Kuasa Wajib Pajak melakukan perekaman audio visual pada saat pertemuan dengan Fiskus.

Pemohon ingin pasal tersebut tidak terbatas pada a) kegiatan klarifikasi SP2DK (Surat Permintaan Penjelasan atas Data dan/atau Keterangan), b) Pemeriksaan Lapangan, c) Pemeriksaan Bukti Permulaan, d) Pembahasan Akhir Hasil Pemeriksaan (PAHP), e) proses Keberatan di tingkat Kantor Wilayah DJP, dan f) setiap pertemuan dan atau komunikasi resmi antara Fiskus dan Wajib Pajak/Kuasanya yang dilakukan dalam kapasitas hukum dan administrasi perpajakan.

Perkara ini disidangkan Majelis Panel Hakim yang dipimpin Hakim Konstitusi Suhartoyo dengan didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan Hakim Konstitusi M Guntur Hamzah.

Menurut Guntur, kasus konkret yang dituturkan Pemohon sebagai pintu masuk pengajuan permohonan ini, tetapi Pemohon juga harus menguraikan argumentasi yang jelas antara pertentangan norma yang diuji dengan pasal dalam UUD NRI 1945 yang dijadikan dasar pengujian permohonan ini sehingga timbul kerugian konstitusional yang dialami Pemohon.

"Sehingga untuk mengatakan bahwa saya mengalami kerugian yang aktual kan itu karena Pemohon mengalami sendiri akibat berlakunya pasal yang dipersoalkan ini," Kata Guntur.

Sebelum menutup persidangan, Suhartoyo mengatakan Pemohon dapat memperbaiki permohonan dalam waktu 14 hari. Berkas perbaikan permohonan baik softcopy maupun hardcopy paling lambat harus diterima Mahkamah pada Senin, 24 November 2025 pukul 12.00 WIB.


(arj)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Video: 3 Bulan Menjabat, Dirjen Pajak Telah Pecat 7 Pegawai

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |