Kebijakan Tarif Trump: Antara Pro Competition Vs Pro Competitor

6 hours ago 1

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Sejak diluncurkan April lalu, kebijakan tarif Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump tetap menjadi isu panas yang terus dibahas dan dicari jalan keluarnya oleh berbagai kalangan (khususnya di negara-negara yang terdampak).

Tidak hanya menjadi pro-kontra dari sisi perdagangan internasional, bagi kalangan akademisi dan praktisi persaingan usaha, kebijakan proteksionis ala Trump, juga menghidupkan kembali debat klasik dalam kebijakan antimonopoli: apakah lebih pro competition atau pro competitor?

Debat antara kubu pro competition (pro kompetisi: mendorong pasar adil) dan pro competitor (pro kompetitor: melindungi industri domestik) menjadi inti dari dinamika kebijakan Trump. Meski klaimnya memulihkan industri AS, proteksionisme diyakini berpotensi melemahkan daya saing jangka panjang. Perusahaan AS yang terlindungi dari persaingan global cenderung kurang terdorong untuk berinovasi.

Di sisi lain, menghadapi kebijakan tarif Trump yang memicu perang dagang, otoritas persaingan usaha di berbagai negara, seperti Federal Trade Commission (FTC) AS dan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Indonesia berhadapan dengan dilema. Di satu sisi otoritas harus menjalankan mandat antimonopoli, di sisi lain "dipaksa" mendukung industri domestik.

Contohnya, kenaikan tarif Trump dipastikan mendongkrak harga barang impor di pasar AS. Ini tentunya berpotensi dimanfaatkan produsen AS untuk menaikkan margin tanpa tekanan kompetitif. Di sinilah FTC harus aktif mencegah kolusi harga atau penyalahgunaan posisi dominan.

Otoritas persaingan, pastinya menyadari bahwa sebagaimana ditunjukkan model evolutionary game theory, persaingan sehat hanya bertahan jika ada mekanisme pembelajaran dan inovasi terus-menerus. Proteksionisme jangka panjang justru membunuh proses ini.

Penjaga Ekosistem Pasar
Undang-undang (UU) Antimonopoli atau Antitrust, seperti Sherman Act di AS dan UU No. 5/1999 di Indonesia, dirancang untuk mencegah konsentrasi kekuatan pasar. Namun, efektivitasnya tergantung pada kapasitas otoritas persaingan di masing-masing negara, termasuk bagaimana "mengamankan" persaingan sehat tetap terjaga meski dihantui "daya rusak" kebijakan proteksionisme.

Pada kondisi tersebut, setidaknya ada tujuh strategi adaptif yang dapat diterapkan otoritas persaingan dalam menegakkan hukum antimonopoli. Pertama, memperkuat penegakan hukum antimonopoli dengan nuansa kebijakan industri.

Langkah ini ditempuh otoritas melalui cara pengawasan terhadap potensi praktik predatory pricing oleh perusahaan asing yang bertujuan mematikan pesaing domestik. Contohnya seperti yang pernah ditempuh FTC, menyelidiki perusahaan China yang diduga menjual panel surya di bawah harga pasar untuk menguasai industri energi terbarukan AS.

Bahkan, asalkan proporsional, otoritas bisa memaksa perusahaan asing beroperasi dalam skema fair competition (misalnya, memastikan margin keuntungan wajar). Jelasnya, langkah ini bertujuan untuk mencegah dominasi asing tanpa menghambat persaingan.

Kedua, mendorong skema kemitraan strategis. Otoritas persaingan (bersama pemerintah) dapat merancang regulasi yang memfasilitasi alih teknologi antara perusahaan asing dan domestik. Misalnya, mewajibkan investasi asing di sektor tertentu (seperti baterai listrik) untuk bermitra dengan UMKM lokal.

Ketiga, membangun regulasi yang adaptif. Dalam sistem ekonomi yang kompleks, aturan persaingan harus responsif terhadap perubahan struktur pasar. Contohnya, FTC menggunakan algoritma machine learning untuk mendeteksi pola kolusi harga di e-commerce, sambil memberi ruang bagi startup lokal untuk berkembang.

Contoh lain, adalah bagaimana otoritas persaingan Uni Eropa melarang praktik eksklusivitas dalam lisensi software yang menghambat pengembang domestik.

Keempat, memperkuat kapasitas industri domestik melalui advocacy dan capacity building. Otoritas persaingan harus aktif mengedukasi pelaku usaha domestik tentang strategi bertahan di pasar kompetitif. Misalnya, FTC AS memiliki program Business Center yang menyediakan panduan hukum persaingan bagi UMKM .

Kelima, subsidi berbasis kinerja. Alih-alih memberikan proteksi berlebihan (seperti kebijakan Trump), otoritas persaingan bisa mendorong skema subsidi yang dikaitkan dengan pencapaian inovasi atau efisiensi. Contohnya, Uni Eropa memberi insentif fiskal kepada perusahaan otomotif yang berinvestasi dalam riset EV, dengan syarat tidak melakukan kartel.

Keenam, kolaborasi antara otoritas persaingan dengan pemerintah. KPPU, misalnya, perlu bekerja sama dengan pemerintah (Kementerian Perindustrian) untuk mengidentifikasi sektor yang rentan monopoli asing, namun vital bagi ketahanan nasional (misal, bisnis farmasi). Skema local content requirement (LCR) alias TKDN bisa diterapkan, tetapi dengan pengawasan ketat agar tidak disalahgunakan untuk kartel.

Kolaborasi, juga bisa dalam bentuk otoritas terlibat dalam negosiasi perdagangan internasional. Seperti halnya FTC aktif dalam penyusunan the US-Mexico-Canada Agreement (USMCA--perjanjian perdagangan AS-Meksiko-Kanada) untuk memastikan klausul antimonopoli tidak dikalahkan oleh kepentingan proteksionis.

Ketujuh, menyeimbangkan short-term protection dan long-term competition. Otoritas persaingan bisa mengizinkan proteksi sementara (misal, tarif atau kuota impor) untuk infant industry, tetapi dengan syarat ketat. Syarat tersebut antara lain ada batas waktu dan perusahaan domestik wajib meningkatkan efisiensi. Contohnya, Brasil memberlakukan tarif sementara 30% pada impor mobil listrik pada 2023, dengan komitmen produsen lokal meningkatkan investasi R&D .

Tujuh strategi adaptif tersebut perlu dipertimbangkan oleh otoritas persaingan, karena kebijakan ekonomi (termasuk persaingan) saat ini harus mengakui bahwa kompleksitas sebagai realitas tak terhindarkan. Kunci keberhasilan kebijakan terletak pada keseimbangan. Misalnya saja, kebijakan perlindungan industri domestik hanya berkelanjutan jika dibarengi peningkatan efisiensi dan inovasi.

Oleh karena itu, otoritas persaingan tidak perlu gamang di mana harus berdiri: pro kompetisi atau pro kompetitor. Pastikan saja, bahwa otoritas adalah sebagai penjaga ekosistem pasar yang dinamis, tempat persaingan sehat dan kemajuan industri bisa berjalan beriringan.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |