Jakarta, CNBC Indonesia - Insentif Pajak Pertambahan Nilai Ditanggung Pemerintah (PPN DTP) yang kembali diperpanjang pemerintah menjadi dorongan penting bagi sektor properti nasional.
Kebijakan PPNDTP akan menstimulasi pasar perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR), tetapi juga membuka peluang bagi kelompok masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) dalam rentang Rp 8,5-15 juta/bulan yang selama ini belum tersentuh.
Ketua Badan Pertimbangan Organisasi Realestat Indonesia (BPO-REI), Paulus Totok Lusida, menegaskan bahwa kelompok MBT perlu mendapatkan perhatian lebih dari pemerintah. Menurutnya, kelompok ini kerap berada di posisi serba sulit karena tidak termasuk kategori penerima subsidi, namun juga belum cukup mampu membeli rumah dengan skema komersial penuh.
"Selain untuk MBR, kami juga terus memperjuangkan berbagai kemudahan bagi masyarakat berpenghasilan tanggung (MBT) dengan harga rumah hingga Rp500 juta. Ini kami sudah usulkan sejak lama, jadi bunganya komersial tetapi bebas PPN. Semoga disetujui dan ditetapkan lewat peraturan presiden," ujar Totok kepada CNBC Indonesia, Senin (3/11/2025).
Ia menjelaskan, dengan adanya kebijakan PPN DTP yang diperpanjang hingga 2027, pembeli rumah dengan harga antara Rp200 juta hingga Rp500 juta bisa menikmati pembebasan pajak yang nilainya cukup besar. Potongan PPN bukan sekadar insentif sesaat, melainkan kebijakan strategis yang dapat memperkuat daya beli masyarakat dan menurunkan beban pembiayaan jangka panjang.
"Karena pengaruh pajak itu 10 tahun saja itu sama dengan 100 persen. Kalau Anda beli rumah, bayar PPN, itu kan berbunga selama 10 tahun, itu sama dengan 100 persen. Jadi Anda beli satu rumah biayanya sama dengan dua rumah," katanya.
Saat ini, pemerintah telah mengeluarkan sejumlah kebijakan pro-rakyat seperti program pembangunan 3 juta rumah, penambahan kuota rumah subsidi menjadi 350.000 unit di tahun 2025, serta pembebasan Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) dan retribusi Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) bagi MBR. Namun demikian, Totok menilai kebijakan tersebut masih perlu diperluas agar juga menjangkau kelompok masyarakat berpenghasilan tanggung.
"Jumlah kalangan menengah cukup besar. Kalau yang sederhana misalnya ya, itu 50 persen dari market, MBT ini 30 persen. Oke, tinggi juga ya, untuk persentasenya," ujarnya.
Totok menjelaskan bahwa sektor properti memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian nasional. Selain menjadi penggerak bagi lebih dari seratus industri turunan, sektor ini juga berperan besar dalam pembentukan Produk Domestik Bruto (PDB).
"Properti itu setelah dianalisa lebih detail, pengaruhnya sangat besar. Secara PDB kan di sekitar 14 persen. Untuk pertumbuhan ekonomi, bahkan dari tim presiden bilang properti itu bisa memengaruhi 2 persen. Jadi untuk mencapai 8 persen, 2 persen itu bisa dari properti," kata Totok.
Adapun perincian pengelompokkan MBR berdasarkan Permen Nomor 5 Tahun 2025 tersebut adalah:
1. Zona 1 meliputi Jawa (kecuali Jabodetabek), Sumatra, NTT, dan NTB:
- Status tidak kawin: Rp8.500.000
- Status kawin: Rp10.000.000
- Satu orang untuk peserta Tapera: Rp10.000.000
2. Zona 2 meliputi Kalimantan, Sulawesi, Kepulauan Bangka Belitung, Kepulauan Riau, Maluku, Maluku Utara, dan Bali:
- Status tidak kawin: Rp9.000.000
- Status kawin: Rp11.000.000
- Satu orang untuk peserta Tapera: Rp11.000.000
3. Zona 3 meliputi Papua, Papua Barat, Papua Tengah, Papua Selatan, Papua Pegunungan, dan Papua Barat Daya:
- Status tidak kawin: Rp10.500.000
- Status kawin: Rp12.000.000
- Satu orang untuk peserta Tapera: Rp12.000.000
4. Zona 4 meliputi Jakarta, Bogor, Depok, dan Tangerang:
- Status tidak kawin: Rp12.000.000
- Status kawin: Rp14.000.000
- Satu orang untuk peserta Tapera: Rp14.000.000
(hoi/hoi)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Plafon KUR Perumahan Naik, Erick Thohir: Likuiditas Himbara Aman

6 hours ago
3

















































