Jakarta, CNBC Indonesia - Harga batu bara kembali berbalik arah dan nyaris menyentuh level US$100/ton di tengah laporan soal upaya Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump perihal peningkatan produksi batu bara di AS.
Dilansir dari Refinitiv, harga batu bara 10 April 2025 tercatat sebesar US$99,6/ton atau naik 1,12% apabila dibandingkan penutupan perdagangan 9 April 2025 yang sebesar US$98,5/ton.
Harga batu bara sempat terbang pada Senin dan Selasa pekan ini sebelum jatuh pada Rabu dan kemudian naik lagi pada Kamis.
Dilansir dari Reuters, Trump mendorong peningkatan produksi batu bara di Amerika Serikat. Namun, menghidupkan kembali pembangkit batu bara yang sudah dinonaktifkan untuk mencapai tujuan tersebut "tidak masuk akal secara ekonomi," menurut laporan yang dirilis Kamis oleh Institute for Energy Economics and Financial Analysis (IEEFA).
Dalam laporannya, IEEFA menyebutkan bahwa perintah eksekutif Trump berpotensi menunda penutupan pembangkit listrik tenaga batu bara dan bahkan mendorong untuk mengaktifkan kembali 102 unit pembangkit yang baru-baru ini ditutup.
Unit-unit tersebut memiliki total kapasitas pembangkitan sebesar 36.566 megawatt (MW) dan telah ditutup dalam empat tahun terakhir. Namun, hanya sedikit dari unit-unit tersebut yang layak untuk dihidupkan kembali.
Usia median pembangkit yang pensiun adalah 56 tahun, dan semakin tua usia pembangkit, biaya pemeliharaannya meningkat, yang kemudian mendorong naiknya biaya produksi listrik. Selain itu, untuk memulai kembali operasinya, unit-unit ini perlu menjalani perawatan besar yang mahal dan tertunda.
Think tank global yang fokus pada sektor energi ini juga menambahkan bahwa rencana Trump untuk memenuhi peningkatan permintaan energi dengan tenaga batu bara mengabaikan fakta bahwa sebagian besar pembangkit yang masih beroperasi saat ini berjalan di bawah kapasitasnya.
Saat ini, pembangkit listrik berbahan bakar batu bara hanya menyumbang kurang dari 20% listrik AS, turun tajam dari 50% pada tahun 2000, dan pembangkitan batu bara rata-rata hanya digunakan sekitar 40% dari waktu operasionalnya.
Sebagian besar perusahaan utilitas kini telah beralih ke sumber energi yang lebih murah dan efisien seperti tenaga surya, angin, dan baterai, untuk mengimbangi peningkatan permintaan listrik yang didorong oleh pertumbuhan pusat data (data centers), sebagaimana dicatat dalam laporan.
CNBC INDONESIA RESEARCH
(rev/rev)