Jakarta, CNBC Indonesia - Uni Eropa (UE) akan memberlakukan aturan baru yang memungkinkan penangguhan fasilitas bebas visa bagi negara-negara tertentu, termasuk Israel, jika terbukti melakukan pelanggaran hak asasi manusia (HAM). Reformasi ini disepakati oleh Parlemen Eropa dan Dewan UE pada Selasa (18/6/2025) waktu setempat.
Menurut laporan eksklusif Euro News, dalam aturan yang baru pelanggaran Piagam PBB, pelanggaran berat terhadap hukum kemanusiaan internasional, hingga ketidakpatuhan terhadap keputusan pengadilan internasional kini menjadi dasar yang sah untuk mencabut status bebas visa suatu negara.
Meskipun tidak disebutkan negara secara spesifik, sumber parlemen UE menyebut Israel sebagai salah satu negara yang berisiko tinggi terdampak kebijakan ini. Hal ini menyusul tuduhan kejahatan perang dan pelanggaran HAM dalam serangan militer Israel ke Gaza, yang telah mendapat sorotan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Selain Israel, Serbia juga disebut berpotensi terdampak karena kekhawatiran atas kondisi HAM di negara tersebut. Saat ini, warga dari 61 negara, termasuk Israel, Australia, Jepang, Inggris, dan Ukraina dapat mengunjungi kawasan Schengen tanpa visa untuk kunjungan singkat hingga 90 hari dalam periode 180 hari.
Berdasarkan kesepakatan baru antara legislator UE dan negara anggota, mekanisme penangguhan kini akan lebih mudah diaktifkan, sebab ambang batas telah diturunkan dan kriteria baru ditambahkan. Negara anggota Schengen kini dapat meminta Komisi Eropa untuk memulai proses penangguhan jika dirasa syaratnya terpenuhi. Parlemen Eropa juga bisa mengajukan resolusi rekomendasi, meskipun sifatnya tidak mengikat.
Langkah awal penangguhan berlaku selama satu tahun dan cukup mendapat persetujuan mayoritas dari negara anggota. Jika ingin diperpanjang, maka Komisi harus mengajukan akta baru yang dapat dibatalkan oleh Parlemen atau Dewan UE.
Anggota Parlemen Slovenia, Matjaž Nemec, yang menjadi pelapor kebijakan ini mengatakan, perubahan ini merupakan alat untuk menegakkan nilai-nilai fundamental UE. "Ini bukan soal negara tertentu, tapi soal menjaga HAM dan hukum internasional," ujarnya dikutip Euronews.
Selain soal HAM, aturan baru juga mempermudah penangguhan bebas visa untuk alasan migrasi. Semisal, jika terjadi lonjakan warga negara tertentu yang tinggal secara tidak sah di wilayah Schengen atau peningkatan jumlah pencari suaka dari negara yang tingkat pengakuan suakanya rendah.
Ambang batas untuk mendeteksi lonjakan migrasi ilegal kini diturunkan dari 50% menjadi 30%, sementara ambang pengakuan suaka rendah dinaikkan dari 4% menjadi 20%. Perubahan ini memperluas cakupan negara yang bisa terdampak kebijakan.
"Reformasi ini penting untuk menunjukkan ketegasan UE dalam mengelola migrasi dan menegakkan nilai-nilai hukum internasional," kata Nemec.
Ia menambahkan, reformasi ini didorong kuat oleh presidensi Dewan UE saat ini yang dipegang Polandia. Kesepakatan ini masih harus disahkan secara resmi oleh Parlemen Eropa dan Dewan UE sebelum berlaku sebagai hukum.
(hsy/hsy)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Misteri Kerajaan Nabi Sulaiman Terungkap, Israel Temukan Jawabannya