Jakarta, CNBC Indonesia - Sektor yang berkaitan dengan konsumsi masih mendapatkan tantangan dari kondisi manufaktur terkontraksi, daya beli lemah, sampai ekonomi yang melambat.
Pada Senin hari ini (5/5/2025), Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan pertumbuhan ekonomi nasional pada kuartal I-2025 mencapai 4,87% secara year on year (yoy). Dibandingkan kuartal sebelumnya, ekonomi kontraksi 0,98%.
"Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 mencapai 4,87%," kata Kepala BPS Amalia Adininggar Widyasanti dalam konferensi pers, Senin (5/5/2025)
Dalam periode Januari-Maret, ekonomi Indonesia besar dipengaruhi oleh aktivitas Ramadan dan Hari Raya Idul Fitri. Konsumsi masyarakat alami peningkatan dibandingkan dengan periode lainnya.
Sayangnya pertumbuhan ekonomi sepanjang tiga bulan pertama tahun ini bisa dibilang masih di bawah ekspektasi.
Sebelumnya, konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia dari 14 institusi memperkirakan pertumbuhan ekonomi mencapai 4,94% (year on year/yoy) dan terkontraksi 0,9% dibandingkan kuartal sebelumnya (quarter to quarter/qtq) pada kuartal I-2025.
Perlambatan ekonomi ini merupakan cerminan bahwa daya beli masyarakat masih loyo, ditambah kondisi manufaktur saat in mangalami kontraksi.
Puchasing Managers' Index (PMI) yang dirilis S&P Global tepatnya pada Jumat (2/5/2025) menunjukkan PMI manufaktur Indonesia ada di 46,7 atau mengalami kontraksi di April 2025. Ini adalah kali pertama PMI mencatat kontraksi sejak November 2024 atau dalam lima bulan terakhir.
PMI bahkan melaju dalam kecepatan terendah sejak Agustus 2021 atau 3,5 tahun lebih.
PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Jika di atas 50, maka artinya dunia usaha sedang dalam fase ekspansi. Sementara di bawah itu artinya kontraksi.
Koreksi pada April juga mengakhiri kinerja positif aktivitas manufaktur RI yang ekspansif pada Desember 2024 hingga Maret 2025.
Melihat kondisi seperti ini, kami menilai sederet emiten dalam sektor konsumer akan kena dampaknya.
Karena konsumen akan cenderung mengalihkan opsi pada barang yang lebih murah atau mengurangi konsumsi. Alhasil, perusahaan akan mengalami penurunan penjualan.
Sejumlah emiten yang potensi kena dampaknya antara lain yang bergerak di makanan dan minuman seperti PT Indofood Sukses Makmur Tbk (INDF), PT Mayora Indah Tbk (MYOR), PT Unilever Indonesia Tbk (UNVR), PT Indofood CBP Sukses Makmur Tbk (ICBP), PT Tiga Pilar Sejahtera Food Tbk (AISA), PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD), dll.
Meski begitu, kami melihat ada potensi recovery dari tingkat inflasi yang mulai meningkat dan harapan penurunan suku bunga yang diharapkan bisa menjadi booster likuiditas bagi pasar.
CNBC INDONESIA RESEARCH
Sanggahan : Artikel ini adalah produk jurnalistik berupa pandangan CNBC Indonesia Research. Analisis ini tidak bertujuan mengajak pembaca untuk membeli, menahan, atau menjual produk atau sektor investor terkait. Keputusan sepenuhnya ada pada diri pembaca, sehingga kami tidak bertanggung jawab terhadap segala kerugian maupun keuntungan yang timbul dari keputusan tersebut.(tsn/tsn)