Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama ID Food Ghimoyo menilai potensi alam laut Indonesia ibarat surga, namun ironisnya belum juga dikelola secara serius oleh bangsanya sendiri. Hal ini ia sampaikan sembari menyoroti masih minimnya perhatian terhadap kekayaan laut Indonesia, terutama dari sisi wisata bahari.
"Potensi alam, terus terang potensi yang tidak murah, tapi kalau dikembangkan... coba kayak di Australia," kata Ghimoyo dalam acara peluncuran buku 'Dari Laut untuk Manusia' di Jakarta, Selasa (17/6/2025).
Ia pun mencontohkan bagaimana Australia bisa menjadikan wisata mancing sebagai daya tarik wisata kelas dunia, berkat pengelolaan yang profesional dan aturan yang sangat ketat.
"Orang-orang asing ke sana, turis-turis kalau mau mancing itu sudah disiapin semua, dan yang lebih hebatnya itu dari aturannya. Kalau lihat ada ikan perempuan, itu harus dilepas. Jadi yang boleh ditangkap hanya ikan laki-laki," ujarnya.
Menurut Ghimoyo, negara lain sudah sangat peduli terhadap keberlanjutan laut mereka, salah satunya dengan membatasi jumlah ikan yang boleh dipancing. Semua itu dilakukan demi menjaga potensi wisata sekaligus kelestarian alam laut.
Sementara, sambungnya, ada kenyataan miris yang terjadi di dalam negeri. Ia menyoroti dominasi asing dalam pengelolaan wisata laut Indonesia, tak terkecuali di Bali.
"Saya tanya di Bali, wisata alam itu yang punya orang asing apa orang lokal? Orang asing kok, orang asing betul di Bali itu. Wisata selam, wisata apapun yang di laut, itu orang asing," ungkap dia.
Ia menyebut, masyarakat Indonesia sendiri saat ini justru lebih tertarik pada wisata pegunungan ketimbang bahari. Padahal, keindahan laut Indonesia tidak kalah menakjubkan, bahkan menyimpan nilai ekonomi tinggi jika digarap serius.
Tak hanya Bali, Ghimoyo juga menyoroti Pulau Wakatobi di Sulawesi Tenggara, salah satu spot menyelam kelas dunia. Namun, ia menyayangkan kondisi pengelolaan kawasan tersebut.
"Orang bilang, itu di atas neraka, di bawah surga. Karena saya juga pernah ke situ, waduh jelek banget, terutama jelek yang dikelola pemerintah. Tapi ada satu pulau di sana yang dikelola sama asing. Ada bandara sendiri, nah itu baru. Boleh dibandingkan, itu bener-bener tuh, atas-bawah surga. Kalau yang dikelola pemerintah, atasnya neraka bawahnya surga," tukas Ghimoyo.
Contoh lainnya datang dari Manado, yang sudah dikenal dengan keindahan terumbu karangnya sejak lama. Namun lagi-lagi, menurut dia, masalahnya ada pada manajemen kawasan wisata tersebut.
"Kalau kita lihat lagi di Manado, sebetulnya penataannya yang belum," pungkasnya.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Mendag Tiba-Tiba Kerahkan Bulog-ID Food Jualan Minyakita, Ada Apa?