Bitcoin Jadi Medan Tempur AS vs China, Ini Perampokan Kripto Terkejam

2 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Tensi geopolitik antara dua raksasa ekonomi dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, kembali memanas ke titik didih. Kali ini, isu yang mengguncang panggung global bukan lagi soal tarif dagang, semikonduktor, atau aplikasi TikTok, melainkan tuduhan perampokan digital skala masif.

Kementerian Keamanan Negara (MSS) China, badan intelijen utama negara itu, secara terbuka melontarkan tuduhan ekstrim. Mereka menuding pemerintah AS telah melakukan serangan siber canggih untuk menjarah aset kripto Bitcoin senilai US$ 13 miliar.

Jika dikonversikan ke Rupiah, angkanya benar-benar fantastis. Dengan asumsi kurs saat ini berada di level Rp 16.700 per Dolar AS, nilai aset yang diperebutkan itu meroket hingga menembus Rp 217,1 triliun.

AS Dituding "Perampok Tak Tahu Malu"

Dalam sebuah pernyataan langka yang dirilis secara publik melalui akun media sosial resminya, MSS tidak menahan diri dalam memilih kata. Badan tersebut menjuluki AS sebagai "kekaisaran peretas" (hacker empire) sejati.

"Pemerintah AS telah melakukan serangan siber canggih yang menargetkan sebuah organisasi korban di China. Alih-alih melindungi aset, mereka justru menjarah aset digital tersebut untuk kepentingan sendiri."  tulis pernyataan MSS tersebut. 

MSS menuduh Washington menggunakan taktik "perilaku perampokan yang tidak tahu malu" yang disamarkan di bawah kedok penegakan hukum. Ini adalah eskalasi verbal yang sangat signifikan, di mana satu negara secara langsung menuduh negara lain melakukan pencurian siber tingkat negara (state-sponsored cyber theft).

Menurut klaim dari pihak Beijing, serangan ini didalangi langsung oleh agen-agen pemerintah AS. Mereka dituduh mengeksploitasi celah keamanan yang sangat rahasia, atau dikenal sebagai "zero-day vulnerabilities" (celah yang belum diketahui pembuat sistem), untuk menyusup ke sistem target dan menguras aset Bitcoin dalam jumlah besar.

Mengurai Benang Merah: Sengketa Aset Silk Road?

Meskipun MSS tidak merinci secara spesifik siapa organisasi yang dimaksud di China, para analis dan pengamat pasar siber global dengan cepat menghubungkan titik-titik ini. Sorotan langsung tertuju pada salah satu penyitaan aset kripto terbesar dalam sejarah yang dilakukan oleh Departemen Kehakiman AS (DOJ).

Masih segar dalam ingatan, pada November 2022, DOJ mengumumkan telah berhasil menyita Bitcoin dalam jumlah masif, yakni sekitar 50.676 BTC. Aset itu disita dari seorang peretas bernama James Zhong, yang telah mencurinya dari pasar gelap legendaris di dark web, Silk Road, lebih dari satu dekade sebelumnya. Zhong diketahui menyembunyikan aset miliaran dolar itu di dalam kaleng popcorn di rumahnya.

Klaim Beijing ini tampaknya menjadi babak baru dari kasus tersebut. China kini seolah mengklaim bahwa aset sitaan yang dipegang pemerintah AS itu-atau setidaknya sebagian besar darinya-sebenarnya dicuri dari entitas China.

Dengan kata lain, Beijing memposisikan penyitaan oleh DOJ tersebut bukan sebagai penegakan hukum yang sah, melainkan sebagai aksi perampokan siber oleh negara, di mana AS mengambil aset yang "seharusnya" menjadi milik korban di China.

Perang Dingin Siber Memasuki Babak Baru

Hingga berita ini diturunkan, pejabat dari Departemen Kehakiman AS, Departemen Luar Negeri, maupun Gedung Putih belum memberikan tanggapan resmi atas tuduhan spesifik dan keras yang dilayangkan oleh MSS China.

Insiden ini menandai eskalasi baru yang sangat serius dalam perang dingin teknologi dan siber antara Washington dan Beijing. Jika sebelumnya perseteruan berfokus pada dominasi perangkat keras (Huawei), perangkat lunak (TikTok), dan masa depan AI (chip semikonduktor), kini arena pertempuran meluas ke aset digital.

Aset kripto seperti Bitcoin, yang ironisnya dirancang untuk terdesentralisasi dan bebas dari kontrol negara, kini justru menjadi objek vital dalam konflik geopolitik antar negara adidaya.

Perseteruan ini menunjukkan bagaimana aset digital tidak lagi hanya soal investasi spekulatif, tetapi telah menjadi bagian dari keamanan nasional dan cadangan strategis yang diperebutkan di panggung dunia. Mata publik kini tertuju pada Washington, menunggu jawaban balasan atas tuduhan "perampokan" senilai Rp 217,1 triliun ini.

Kejahatan di Kripto Makin Masif

Teknologi di balik jaringan pasar kripto sering dianggap sebagai kotak hitam yang misterius. Namun, misteri tersebut tak menghalangi banyaknya penipuan dan aksi kriminalitas dibalik transaksi kripto.
Beberapa pencurian digital terbesar tidak mengandalkan serangan brute-force, melainkan memanfaatkan celah terlemah dalam keamanan yakni kepercayaan manusia.

Brute-force adalah metode hacking atau peretasan yang mencoba semua kemungkinan kombinasi secara sistematis hingga menemukan jawaban yang benar. Ini seperti membuka gembok dengan cara mencoba semua kombinasi angka satu per satu sampai berhasil.

Grafik ini, yang dibuat bekerja sama dengan Inigo Insurance, menggambarkan 10 pencurian digital terbesar di seluruh dunia.

Tiga Perampokan Kripto Terbesar 

Sebelum tudingan AS ke China kemarin, terdapat beberapa penipuan di pasar kripto dengan nilai fantastis.

Pada 21 Februari 2025, sekelompok peretas yang didukung pemerintah Korea Utara melakukan perampokan kripto terbesar hingga saat ini, mencuri US$1,5 miliar dalam bentuk token ethereum dari bursa kripto berbasis Dubai, ByBit. Skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya ini menyoroti meningkatnya kecanggihan kejahatan siber yang didukung negara.

Kemudian pada 2022, peretas menyusup ke Ronin Network, platform blockchain yang terhubung dengan game populer Axie Infinity dan mencuri US$540 juta dalam bentuk kripto.

Mereka dilaporkan mendapatkan akses ke password pribadi, memungkinkan mereka menarik dana tanpa terdeteksi. Peretasan kedua dalam peringkat ini menunjukkan kerentanan serius dalam infrastruktur terdesentralisasi.

Penipuan kripto terbesar ketiga terjadi pada 2018, ketika peretas menguras US$530 juta dari bursa kripto berbasis Jepang, Coincheck. Pelanggaran awal ini menjadi peringatan akan bahaya yang mengintai seiring pertumbuhan pasar kripto.

Meskipun bukan pencurian terbesar berdasarkan nilai, keruntuhan FTX tetap menjadi salah satu peristiwa paling terkenal dalam sejarah kripto. Saat bursa tersebut berada di ambang kebangkrutan pada tahun 2022, peretas berhasil mencari celah dalam keruntuhan dan menyedot US$477 juta dana dari bursa.

Awalnya, spekulasi beredar tentang kemungkinan keterlibatan pihak dalam, termasuk keterlibatan CEO dari FTX sendiri, Sam Bankman-Fried. Namun, otoritas AS kemudian menyorotkan lampu dakwaan kepada tiga individu-Robert Powell, Carter Rohn, dan Emily Hernandez akibat peran mereka dalam mengoperasikan jaringan kejahatan siber yang diduga berada di balik peretasan tersebut.

Dunia kripto sangatlah rentan terhadap serangan siber karena bergantung pada sistem terdesentralisasi dengan pengawasan terbatas, sehingga lebih sulit untuk mendeteksi dan merespons jika ada pelanggaran.

Pengguna kripto mengelola password pribadi mereka sendiri, kemudian jika kunci ini terekspos, dana berpotensi hilang secara permanen. Selain itu, pesatnya inovasi sering kali melampaui kemampuan protokol keamanan, menciptakan celah yang dapat dieksploitasi oleh hacker.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]

(gls/gls)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |