Jakarta,CNBC Indonesia- Indonesia menjadi salah satu importir kapas terbesar di dunia. Ketergantungan besar Indonesia terhadap kapas impor menjadi tantangan sekaligus peluang.
Berdasarkan laporan terbaru Departemen Pertanian Amerika Serikat (USDA) edisi Juli 2025, Indonesia tercatat sebagai importir kapas ke-7 terbesar di dunia, dengan total impor diproyeksikan mencapai 2 juta bal (sekitar 435 ribu ton) pada tahun pemasaran 2025/26. Jumlah ini membuat Indonesia sejajar dengan negara-negara manufaktur besar seperti Vietnam, Bangladesh, dan Turki dalam rantai pasok global kapas.
Dari sisi sumber, Amerika Serikat adalah eksportir kapas terbesar kedua dunia setelah Brasil. Pada periode yang sama, AS diperkirakan akan mengekspor 12,5 juta bal, dengan sebagian besar masuk ke pasar Asia. Per April 2025, kontribusi kapas AS dalam total impor RI mencapai 32,6%, atau sekitar US$ 15,88 juta dari total nilai impor kapas Indonesia sebesar US$ 48,64 juta.
Ketika Presiden AS Donald Trump mengancam tarif 32% atas produk Indonesia, kapas bisa menjadi "pembuka pintu" diplomasi. Tak hanya karena posisinya vital bagi industri tekstil RI, tetapi juga karena porsi impor dari AS masih bisa dinaikkan tanpa terlalu mengganggu struktur pasok industri.
Bila porsi kapas asal AS dalam struktur produksi tekstil RI meningkat, maka produk hilir Indonesia seperti pakaian dan alas kaki yang nilainya lebih dari US$ 4,6 miliar per tahun berpeluang memperoleh insentif tarif rendah dari AS lewat skema sertifikasi asal bahan baku.
Ketua Bidang Industri APINDO Adhi Lukman bahkan menyebut kapas sebagai salah satu komoditas yang diusulkan untuk ditambah dalam daftar impor dari AS. "Ini simbolik tapi juga strategis. Kita menunjukkan goodwill tanpa mengorbankan daya saing manufaktur," ujarnya.
Langkah ini juga relevan secara geopolitik. Indonesia mencatat surplus perdagangan sebesar US$ 17,88 miliar terhadap AS tahun 2024. Walaupun besar, surplus ini masih jauh lebih kecil dibanding Vietnam yang mencapai US$ 120 miliar.
Dengan memperluas impor dari AS, terutama pada komoditas kunci seperti kapas, Indonesia dapat menekan ketimpangan neraca sambil tetap menjaga struktur industri.
Kapas di Indonesia
Ironisnya, meski lahan tersedia, produksi kapas nasional sangat minim. Kementerian Pertanian mencatat produksi kapas 2020 hanya 127 ton dari total lahan 703 hektar turun drastis 54,6% dibanding tahun sebelumnya. Artinya, petani hanya menghasilkan sekitar 180 kg kapas per hektar, jauh dari produktivitas ideal 1,5-2,8 ton/ha kapas berbiji seperti di Sulawesi Selatan dan Nusa Tenggara Barat (NTB).
Tanaman kapas sebenarnya banyak dibudidaya di era kolonial Hindia Belanda. Pada masa tersebut, kapas menjadi salah satukomoditas pertanian penting untuk memenuhi kebutuhan lokal dan industri tenun rakyat. Tanaman kapas sebenarnya cocok tumbuh di daerah tropisseperti Indonesia. Terlebih, beberapa wilayah Indonesiasangat cocok seperti Nusa Tenggara Timur (NTT), Sulawesi Selatan, Jawa Tengah, Bali, dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Produksi kapas di Indonesia menurun drastis karena tantangan klasik seperti alih fungsi lahan, cuaca tidak menentu, serta minimnya harga jual yang menarik. Di sisi lain, petani juga lebih memilih komoditas pangan seperti jagung dan kedelai yang dianggap lebih menguntungkan secara jangka pendek.
Indonesia sejatinya sudah punya varietas unggul hasil pemuliaan, seperti Kanesia 8 dan Kanesia 9, yang memiliki panjang serat 29-30 mm dan kualitas yang memenuhi standar industri tekstil. Varietas ini tahan terhadap kondisi tropis, berumur pendek (genjah), dan memiliki potensi hasil tinggi. Total sudah ada 843 aksesi plasma nutfah kapas yang dikembangkan oleh BSIP Tanaman Pemanis dan Serat. Namun, adopsi di tingkat petani masih sangat rendah. Banyak petani masih enggan mencoba varietas baru karena kurangnya informasi dan minimnya dukungan teknis. Pengembangan kapas nasional masih menemui tantangan kelembagaan. Menurut laporan Ditjen Perkebunan, banyak petani kapas yang menganggap komoditas ini tidak menjanjikan dari sisi ekonomi. Selain itu, minimnya kemitraan dengan industri tekstil juga membuat rantai pasok tidak efisien. Di masa pandemi 2020, pemerintah pernah memberikan subsidi benih dan pupuk, serta padat karya untuk petani kapas. Namun keberlanjutannya masih dipertanyakan, terutama dalam hal pembinaan petani dan akses pasar. Untuk keluar dari ketergantungan impor, Indonesia harus menyusun strategi menyeluruh. Beberapa langkah dapat dilakukan seperti pemetaan lahan marginal potensial di wilayah NTB, Sulsel, Jateng, dan NTT untuk pengembangan khusus kapas. Lalu substitusi impor melalui varietas lokal, seperti Kanesia series dan kapas transgenik yang disesuaikan dengan agroekosistem lokal. Infrastruktur teknologi tepat guna mulai dari irigasi hemat air hingga digitalisasi rantai pasok dan juga kemitraan dengan industri tekstil juga perlu dilakukan. Saat ini Indonesia masih mengimpor kapas lebih dari Rp13 triliun per tahun, padahal di sisi lain, negara ini memiliki varietas unggul, sumber daya genetik berlimpah, dan lahan-lahan marginal yang bisa dioptimalkan. Jika ada kemauan dan dukungan lintas sektor, bukan mustahil Indonesia bukan hanya mandiri kapas tetapi juga mampu menjadi eksportir kapas tropis yang kompetitif secara global.
Selain itu, karena besarnya kompetisi dengan komoditas lain seperti jagung dan kedelai , penting pula untuk konsiderasi kebijakan subsidi dan insentif bagi petani kapas.
CNBC INDONESIA RESEARCH
[email protected]
(emb/emb)