Artificial Intelligence dan Relasi Manusia dengan Pekerjaannya

4 hours ago 2

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Mana ancaman yang lebih menakutkan bagi manusia hari ini: serta merta kehilangan pekerjaan, dan karenanya segera dicari penggantinya. Atau kehilangan perannya secara permanen, walaupun prosesnya berlangsung perlahan? Tak mudah menjawab pertanyaan ini, walaupun keduanya disebabkan oleh kehadiran artificial intelligence (AI), di berbagai arena pekerjaan.

Sedangkan perbedaan dari kedua keadaan itu: yang pertama, manusia sebagai agen serta merta digantikan oleh agentic AI. Misalnya saat sopir kendaraan pribadi, tak diperlukan lagi. Ini akibat kehadiran mobil otonom.

Mobil otonom adalah perangkat dengan kecerdasan agentic. Penggantiannya makin intensif, saat didapati realitas --seperti laporan Journal of Safety Research, 2020-kendaraan jenis ini mampu mereduksi hingga 1/3 dari seluruh kecelakaan fatal. Jumlah yang masih dapat ditingkatkan, mengingat pengembangan mobil otonom terus berlangsung.

Para sopir yang kehilangan pekerjaan, dapat segera mencari kerja lain. Misalnya menjadi pengemudi traktor, ekskavator, forklift, dump truck, tronton, trailer. Juga kendaraan pengangkut material lainnya, yang tak mengandalkan AI. Pekerjaan sopir masih ada, hanya pindah arena.

Penggantian yang serta merta, juga terjadi saat para penulis naskah film dan tv terdesak oleh AI. Dengan kinerja yang memuaskan, penggunaan perangkat jenis ini makin luas. Dilaporkan dengan mengutip VOA 2 Mei 2023, sebanyak 11.500 anggota Writers Guild of America (WGA) pada 1 Mei 2023, mengumumkan pemogokan.

Anggotanya serempak meletakkan pena dan mematikan komputernya, untuk menuntut kenaikan gaji dan jaminan kerja yang lebih kuat. Pemogokan juga menolak penggunaan AI untuk menulis skenario.

WGA tak ingin penulis diminta menggarap skenario, berkolaborasi dengan AI. Lagi-lagi penggantian ini, bisa segera diadaptasi. Para penulis tetap dapat menulis. Misalnya menulis buku, menulis puisi atau menulis bahan ajar sekolah. Pekerjaan menulis tak hilang, hanya bergeser arenanya.

Sedangkan pada keadaan yang kedua, penggantian terjadi akibat berubahnya struktur pekerjaan. Lantaran penyebabnya pada struktur, terjadinya bertahap dan perlahan. Ini misalnya, saat dokter sebagai pendiagnosa penyakit, digeser perannya oleh AI.

Diagnosa yang semula ditegakkan dengan mengandalkan kepekaaan panca indera dokter, diganti dengan sensor pembaca indikator. Proses penggantiannya membutuhkan waktu yang lama. Terhadap fenomena ini, Saeed Alizadeh, Ghazal Vakilzadeh, Fazel Moghadas Hosseinzadeh, 2024, dalam "Is Artificial Intelligence (AI) Effective in Diagnosing Diseases?", memaparkan konfirmasinya.

Menurut ketiganya: AI telah mengubah ranah diagnosis penyakit. Perangkat cerdas ini, berperan menyediakan akurasi dan efisiensi yang tak tertandingi. Lewat algoritma yang dibangunnya, juga kumpulan data yang disimpannya, AI mampu mengungkap pola yang tak dapat dijangkau mata manusia.

Sistem ini meningkatkan presisi diagnosa yang ditegakkan, dan meminimalkan kesalahan jika dibandingkan dengan mengandalkan panca indera manusia. Kepekaan sensor yang digunakan dapat segera mengidentifikasi penyakit. Seluruhnya itu penting dalam merekomendasikan perawatan yang lebih tepat.

Akibat perubahan struktur pekerjaan itu, dokter hari ini sebatas pengambil keputusan perawatan pasien yang ditanganinya. Perannya tereduksi dari rangkaian kerja sebelumnya, yang mendudukkan dokter sebagai penanggungjawab integral nasib pasien.

Kini dengan kolaborasinya bersama perangkat, dokter lewat informasi sajian perangkat, hanya berperan di akhir proses. Pada pola penggantian ini, dokternya masih ada hanya perannya makin minimal. Hanya soal waktu, seluruhnya akan hilang.

Dari seluruh keadaan di atas, tampak relasi manusia dengan pekerjaannya bukan sebatas sarana pemenuhan kebutuhan ekonomi. Memang lewat pekerjaan diperoleh upah, dan upah ditukar dengan aneka kebutuhan hidup.

Mendekap sebuah pekerjaan, artinya meraih jaminan hidup. Lebih dari itu, relasi manusia dengan pekerjaannya bersifat kompleks juga unik. Pekerjaan manusia jadi sarana identifikasi diri, penentu posisi di semesta sosial, juga pemberi alasan dijalaninya hidup. Ini relevan dengan uraian James Suzman, 2020, lewat "Works: a History of How We Spent Our Time". Pekerjaan mengandung makna yang kompleks.

Suzman mengungkapkan: pekerjaan pemberi makna, pembentuk nilai-nilai, penentu status sosial manusia. Pekerjaan juga jadi cara untuk menghabiskan waktu. Keberadaannya merupakan perangkat sistematis pengubah tubuh, lingkungan, perspektif tentang kesetaraan, maupun makna waktu. Maka apakah berarti, manusia adalah makhluk yang lekat dengan pekerjaannya?

Sedangkan relasi uniknya, dikemukakan David Graeber, 2018. Termuat dalam "Bullshit Jobs: A Theory". Menurutnya, pekerjaan yang ditekuni manusia --walaupun dapat memenuhi kebutuhan ekonomi-- namun bisa membuatnya jadi kehilangan martabat.

Manusia malah merasa tak berguna. Ini paradoks. Di dunia kerja yang terstruktur oleh kapitalisme, jutaan manusia terjebak dalam pekerjaan yang menyadarkannya: dirinya tak bermakna. Pekerjaannya kosong, bullshit jobs. Bentuk relasi yang unik.

Keunikan ini dijelaskannya --Graeber mengutip psikolog Jerman, Karl Gross- lewat konsep 'menikmati menjadi penyebab',the pleasure at being the cause. Dicontohkannya dengan bayi akan mengalami kebahagiaan luar biasa, ketika dirinya mampu menyebabkan efek yang dapat diprediksi lingkungannya.

Tak peduli efek itu bermanfaat atau tidak, bagi Sang Bayi. Kebahagiaan luar biasa itu, menimbulkan rasa ingin mengulangnya dan terus mengulangnya. Ini lantaran efek yang ditimbulkannya mendatangkan perhatian dari lingkungan tempat hidupnya. Perhatian akibat kuasa, yang membahagiakannya

Bayi sering mengeluarkan erangan-erangan tak bermakna, namun menggemaskan. Darinya diperoleh senyum ayah-ibunya. Juga lingkungan sekitarnya. Respons yang bermakna sebagai perhatian ini, mendorongnya terus mengulang.

Tak lain bertujuan mempertahankan perhatian orang-orang di sekitarnya. Bahkan dalam jumlah yang lebih besar. Ini disebut stimulus yang dihantarkan Sang Bayi, seraya memanen respon dari lingkungannya. Disadari sebagai 'kenikmatan menjadi penyebab'.

Kenikmatan menjadi penyebab, merupakan aplikasi kekuasaan yang dimiliki. Yang ketika digunakan, menjadi kekuatan yang mampu menggerakkan. Akan hilang maknanya, saat kekuasaan itu direnggut. Sang Bayi sedih, merajuk dan memberontak.

Yang ingin disampaikan Graeber dengan konsep ini: manusia memaknai pekerjaannya sebagai penyebab yang menggerakkan. Ini wujud kuasa. Perhatian diperoleh dari pekerjaan yang bermakna bagi diri sendiri, terlebih jika berguna bagi manusia lain.

Lewat pekerjaan, ditemukan arti diri. Karenanya pekerjaan merupakan sarana eksistensi manusia. Eksistensi yang timbul oleh kekuasaan, memanen perhatian dari manusia lain. Seluruhnya membebaskannya, sekedar sebagai bagian dari kerumunan.

Merenggut manusia dari pekerjaannya, akibat penggantian oleh AI --serta merta maupun terstruktur-- menghilangkan kenikmatan menjadi penyebab. Itu menimbulkan ketakutan eksistensial. Midnightmoon, 2024, dalam "Bullshit Jobs: The State of Work Today and the Anxiety We have About AI", menjelaskan secara gamblang relasi manusia dan pekerjaannya itu, dalam konteks adanya tekanan oleh AI. Menurutnya, hari ini telah terjadi relasi dilematis yang menarik.

Akibat internet, muncul model relasi manusia dengan AI, pekerjaan online, pekerjaan jarak jauh. Juga model pekerjaan yang seluruh pelakunya saling berjauhan. Cara bekerja menjadi berbeda dibanding situasi sebelumnya. Pekerjaan dapat dilakukan melampaui batas ruang dan waktu. Kolaborasi berlangsung global, menjangkau seluruh dunia. Ini terjadi cukup dalam jentikan jari, dan hitungan detik. Internet jadi pengubah permainan kerja manusia.

Keadaan dilematis yang dimaksud terjadi, saat model AI makin intensif digunakan. Kehadirannya memang belum menggantikan seluruh pekerjaan, namun hanya soal waktu. Sebagian atau seluruh manusia, tak terhindarkan bakal diganti AI.

Saat ilmu pengetahuan berupaya membantu pekerjaan manusia dengan AI, justru berakhir dengan penggantian manusia oleh AI. Pekerjaan yang pernah ada, juga pekerjaan yang belum sempat muncul, seluruhnya digantikan AI.

Pekerjaan yang semula jadi sarana pasti mencapai kehidupan stabil, tak bisa diandalkan lagi. Makna atas pekerjaan sebagai sarana eksistensi diri, hancur. Itu tak membahagiakan. Ketakbahagiaan hadir nyata, saat kenikmatan menjadi penyebab tercabut dari hidup manusia. Manusia bingung, berpijak pada apa eksistensinya?

Memang Karl Marx pernah mengutuk kapitalisme. Disebutnya sebagai sistem yang mengalienasi manusia dari pekerjaaannya. Produksi barang oleh para pekerja tak ada di dalam kuasanya. Produksi digerakkan sekadar untuk memenuhi kebutuhan pasar. Pekerjaan demi memuaskan pemilik modal, yang mengendalikan seluruh alat produksi dan kekuasaannya. Manusia jadi teralienasi, terasing dari yang dikerjakannya.

Namun uniknya, bahkan dalam keadaan teralienasi, juga dalam kategori bullshit jobs, pekerjaan tetap jadi dambaan manusia. Artinya, betapapun manusia dapat disejahterakan oleh kehadiran AI --namun tanpa pekerjaan-- manusia kehilangan hakikatnya sebagai manusia. Itu jadi puncak ketakutan eksistensialnya.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |