Jakarta, CNBC Indonesia-Di tengah tekanan global seperti tensi dagang AS-China, inflasi tinggi, dan stagnasi ekonomi negara maju, ekonom legendaris Arthur B. Laffer kembali menegaskan prinsip fundamental: pertumbuhan ekonomi tidak lahir dari intervensi, melainkan dari insentif.
Dalam opininya yang dimuat di kanal Opini CNBC Indonesia (10/6/2025), Laffer menekankan bahwa pemangkasan pajak hanyalah langkah awal. Reformasi sejati menuntut pendekatan yang lebih menyeluruh dan konsisten.
Laffer pertama kali menggambarkan kurva terkenalnya di atas serbet restoran pada 1974 bersama Donald Rumsfeld dan Dick Cheney. Kurva Laffer menunjukkan bahwa tarif pajak yang terlalu tinggi justru dapat menurunkan penerimaan negara karena menghambat aktivitas ekonomi.
Teori ini menjadi dasar dari kebijakan ekonomi Presiden Ronald Reagan. Dua reformasi besar-Economic Recovery Act 1981 dan Tax Reform Act 1986-memangkas tarif pajak marginal tertinggi dari 70% menjadi 28%, menyederhanakan sistem, dan mempersempit ruang penghindaran pajak.
Namun, Laffer juga mengakui bahwa pemotongan pajak bukanlah solusi tunggal. Eksperimen serupa di Kansas (2012-2017) justru berujung pada stagnasi dan defisit fiskal. "Tax cuts are not 100% of everything," tulis Laffer. Supply-side economics, menurutnya, adalah ekosistem kebijakan yang saling mendukung, bukan sekadar tarif rendah.
Indonesia: Momentum Strategis untuk Reformasi
Laffer melihat Indonesia berada dalam posisi strategis. Dengan rasio ekspor terhadap PDB hanya 25%, Indonesia relatif terlindungi dari guncangan eksternal, namun juga berisiko stagnan jika tidak mendorong investasi.
Ia memuji inisiatif kendaraan listrik (EV) nasional sebagai langkah berbasis insentif yang tepat. Namun, ia mengingatkan agar regulasi lain tidak saling bertabrakan dan menghambat kemajuan. "Indonesia must streamline its regulatory environment. Excessive bureaucracy and rigid local content requirements deter investment."
Reformasi TKDN, penyederhanaan perizinan, dan kerja sama dagang strategis dinilai penting untuk membangun rantai pasok yang tangguh dan menarik investasi jangka panjang.
Deregulasi: Sinyal Psikologis ke Pasar
Penyederhanaan birokrasi bukan hanya soal prosedur, tapi juga sinyal kuat kepada pasar bahwa Indonesia serius menciptakan iklim usaha yang kondusif. Mengacu pada survei World Bank 2020, peringkat kemudahan berusaha Indonesia masih tertinggal dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya.
Tanpa perbaikan signifikan, investor berpotensi mengalihkan modal ke negara dengan regulasi yang lebih ramah dan proses yang lebih cepat. Deregulasi bukan sekadar teknis, tapi keputusan strategis.
Diversifikasi Ekspor dan Perlindungan Sektor Strategis
Laffer juga menyoroti pentingnya diversifikasi pasar ekspor di tengah tren proteksionisme global. Ketika negara-negara seperti AS, India, dan Uni Eropa memperketat perdagangan, Indonesia perlu memperluas jangkauan ke Afrika, Timur Tengah, dan Amerika Selatan.
Di sisi lain, sektor-sektor strategis seperti minyak, gas, tembakau, dan sawit harus dijaga karena berperan besar dalam penerimaan negara dan penciptaan lapangan kerja. "These are not just revenue generators-they are job creators and stabilizers," tulis Laffer.
Ia mencontohkan struktur cukai tembakau Indonesia yang saat ini terlalu berat. Sejak 2022, tarif cukai naik 10% per tahun, namun penerimaan stagnan dan pasar ilegal tumbuh. "Efficient taxation not excessive taxation protects revenue, supports jobs, and prevents economic leakage."
Laffer mendorong diversifikasi basis cukai, seperti pada minuman manis atau produk karbon, agar fiskal tidak terlalu bergantung pada satu sektor.
Pajak sebagai Katalis Inovasi, Bukan Beban
Lebih dari sekadar alat pungutan, Laffer mendorong agar pajak dijadikan katalis inovasi. Negara seperti Singapura dan Irlandia berhasil mengaitkan insentif pajak dengan peningkatan riset, ekspor, dan penciptaan lapangan kerja digital.
Dengan rasio pajak terhadap PDB hanya 8,7% (2024), dan angka partisipasi riset rendah, Laffer menyarankan agar Indonesia mengalihkan fokus dari menaikkan tarif ke memperluas basis dan merangsang kegiatan ekonomi produktif.
Seperti yang ia tulis, "Growth is not a mystery. It's a matter of incentives." Supply-side bukan mantra pajak rendah semata, tapi rangkaian kebijakan fiskal, perdagangan, dan regulasi yang menciptakan iklim bertumbuh. "Use fiscal policy as a driver of growth, not just a collector of revenue."
Bagi Indonesia, ini adalah momentum untuk meninggalkan pendekatan intervensif dan menciptakan ruang tumbuh yang luas bagi masyarakat dan dunia usaha. Dengan insentif yang tepat, pada waktu yang tepat, pertumbuhan bukan sekadar target-tapi keniscayaan.
CNBC Indonesia Research
(emb/emb)