12 Negara Ini Ekonominya Baru Maju Kalau Warganya Kerja di Luar Negeri

6 hours ago 2

Jakarta, CNBC Indonesia- Uang kiriman atau remittances menjadi urat nadi bagi banyak negara berkembang. Selain membantu kebutuhan keluarga, aliran dana dari luar negeri kini menopang perekonomian nasional di sejumlah negara hingga hampir setengah dari produk domestik bruto (PDB).

Menurut laporan Visual Capitalist (2025), Tonga menjadi negara paling bergantung pada remittance di dunia, dengan kontribusi mencapai 49,98% terhadap PDB nasional. Artinya, hampir setengah roda ekonomi negara kepulauan di Pasifik Selatan itu digerakkan oleh uang kiriman warganya yang bekerja di luar negeri.

Tajikistan berada di posisi kedua dengan 47,89% dari PDB, disusul Lebanon (33,35%), Nepal (33,06%), dan Nikaragua (26,64%). Negara-negara ini memiliki kesamaan pola: keterbatasan lapangan kerja domestik dan tingginya migrasi tenaga kerja ke luar negeri. 

Di Tajikistan, lebih dari satu juta warga bekerja di luar negeri, terutama di Rusia. Dana yang mereka kirim menjadi sumber utama bagi kebutuhan dasar keluarga, seperti pangan, kesehatan, dan pendidikan.

Laporan Borgen Project menjelaskan, remitansi berperan penting dalam menurunkan tingkat kemiskinan di negara itu secara signifikan.

Namun, ketergantungan ekstrem pada remitansi juga menandakan kerentanan ekonomi. Ketika lapangan kerja dalam negeri stagnan, stabilitas ekonomi justru ditopang oleh faktor eksternal yang sulit dikendalikan. Misalnya, pelemahan ekonomi negara tujuan migran langsung berdampak pada daya kirim uang mereka.

Nepal menjadi contoh menarik dalam hal ini. Negara di pegunungan Himalaya itu kini berada di posisi keempat, dengan lebih dari sepertiga PDB-nya bergantung pada uang kiriman dari luar negeri. Pemerintah Nepal bahkan mencatat penerbitan lebih dari 500.000 izin kerja luar negeri dalam satu tahun, angka tertinggi dalam sejarahnya.

Tren ini melonjak setelah pemerintah memberlakukan pembatasan media sosial dan politik domestik yang tidak stabil, mendorong lebih banyak warga mencari peluang ekonomi di luar negeri. Namun, para ekonom memperingatkan bahwa modernisasi berbasis ekspor tenaga kerja tidak bisa menjadi strategi jangka panjang.

Menurut analisis The Himalayan Times, fenomena yang disebut remittance paradox sedang terjadi di Nepal. Di negara tersebut remitansi mendorong konsumsi dan mengurangi kemiskinan, tetapi menghambat industrialisasi karena tenaga kerja produktif justru bekerja di luar negeri.

Sementara itu, biaya pengiriman uang juga menjadi isu tersendiri. Laporan International Fund for Agricultural Development (IFAD) menyebutkan bahwa biaya pengiriman remitansi di beberapa negara bisa mencapai 10% dari total nilai transfer. Biaya yang tinggi ini menggerus manfaat ekonomi bagi keluarga penerima, terutama di negara berpendapatan rendah.

Bank Dunia menilai bahwa remitansi merupakan salah satu cara paling langsung mentransfer kekayaan dari negara maju ke negara berkembang. Selain mengurangi ketimpangan global, remitansi juga meningkatkan inklusi keuangan karena mendorong penggunaan layanan perbankan di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketergantungan berlebih pada remitansi berisiko menciptakan "ekonomi rapuh." Ketika arus kiriman terganggu, baik karena krisis global, konflik, atau kebijakan imigrasi, negara penerima bisa mengalami kontraksi ekonomi secara mendadak.

Dalam konteks global, remitansi telah menjadi penyelamat bagi jutaan keluarga, tapi juga cermin dari kesenjangan kesempatan ekonomi antarnegara.

CNBC Indonesia Research

(emb/emb)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |