Jakarta, CNBC Indonesia - Pendapatan negara dari sisi pajak mengalami penurunan dalam per Februari 2025, jika dibandingkan periode yang sama tahun lalu. Dalam dua bulan pertama tahun ini, setoran pajak yang masuk ke kas negara hanya mencapai Rp187,8 triliun atau terkontraksi sebesar 30% dibandingkan catatan Februari 2024 sebesar Rp 269,02 triliun.
Wakil Menteri Keuangan Anggito Abimanyu menjelaskan anjloknya penerimaan pajak pada awal tahun merupakan hal biasa dan bukan anomali. Ia mengatakan, tiap tahun, tren ini selalu muncul.
"Itu sama setiap tahun. Jadi tidak ada hal yang anomali jadi sifatnya normal saja," kata Anggito saat konferensi pers APBN di kantor pusat Kementerian Keuangan, Jakarta, dikutip Jumat (14/3/2025).
Meski begitu, ia mengakui ada beberapa faktor yang menjadi pemicu tambahan turunnya penerimaan pajak. Yakni, masalah administrasi pajak hingga harga komoditas yang merosot.
Khusus untuk harga komoditas yang anjlok dan memengaruhi penerimaan negara, ia mengatakan di antaranya harga minyak mentah yang merosot 5,2% secara tahunan, batu bara minus 11,8%, dan nikel turun 5,9%.
"Kalau kita lihat kenapa Januari-Februari lebih rendah? karena dua faktor. Faktor penurunan harga komoditas utama dan ada juga faktor administrasi," ujar Anggito.
Dari sisi administrasi perpajakan yang membuat penerimaan merosot, ia enggan menyebut disebabkan permasalahan sistem inti administrasi pajak atau Coretax yang terjadi sejak 1 Januari 2025.
Menurutnya, lebih cenderung disebabkan efek kebijakan tarif efektif rata-rata (TER) yang telah diterapkan sejak 2024, relaksasi untuk pelaporan dan penyetoran PPN termasuk faktornya dan restitusi yang signifikan.
Penerapan TER PPh 21 atas gaji upah pegawai sejak Januari 2024 mengakibatkan lebih bayar Rp 16,5 triliun pada tahun 2024. Namun, Anggito berdalih tanpa lebih bayar seharusnya penerimaan PPh 21 pada 2025 ini lebih tinggi dibandingkan periode yang sama tahun lalu.
"2025 karena adanya efek lebih bayar, kalau itu diklaim kembali atau dinormalisasi pada Januari dan Februari, maka sebetulnya rata-rata PPh 2025 lebih tinggi dari periode yang sama pada tahun 2024," ungkapnya.
Adapun terkait dengan relaksasi, pemerintah melakukan kebijakan relaksasi PPN DN selama 10 hari. Dengan demikian, PPN DN pada Januari dapat dibayarkan hingga 10 Maret 2025.
"Apabila dinormalisasikan yang tidak ada di 2024, maka rata-rata PPN Desember 2024-Februari 2025 Rp 69,5 triliun dibandingkan periode yang sama itu Rp 64,2 triliun, jadi masih tumbuh 8,3%," kata Anggito.
Pernyataan Anggito berkebalikan dengan catatan sejumlah kantor pajak di daerah. Misalnya, kantor pajak di Jawa Timur mencatat, penerimaan pajak di Jawa Timur hingga 31 Januari 2025 yang minus 2,7% secara tahunan menjadi Rp 19,05 triliun karena masalah Coretax
Dalam siaran pers yang kini sudah dihilangkan dari laman pajak.go.id, disebutkan bahwa penurunan penerimaan pajak di Jawa Timur disebabkan kebijakan pemusatan pembayaran dan administrasi Wajib Pajak cabang, serta belum optimalnya implementasi sistem perpajakan baru atau Coretax DJP, yang berdampak pada kelancaran administrasi perpajakan.
Demikian jua catatan Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Papua, Papua Barat, dan Maluku (Kanwil DJP Papabrama) yang realisasi penerimaan pajak bulan Januari 2025 sebesar Rp 485,59 miliar. Realisasi itu terkontraksi sebesar 41,27% dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu (year-on-year/yoy).
Dalam siaran pers disebutkan bahwa setoran Pajak Penghasilan (PPh) mengalami kontraksi 71,17% (yoy) akibat implementasi Coretax yang menyebabkan pemusatan setoran NPWP cabang ke pusat, terutama dari sektor pertambangan.
(arj/haa)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Coretax Bermasalah, DJP Bebaskan Sanksi Telat Lapor SPT
Next Article Ini Cara Agar Perusahaan Tak Perlu Isi SPT Pajak Mulai 2025