- Pasar keuangan Indonesia bergerak beragam kemarin, IHSG menguat sementara rupiah melemah
- Bursa Wall Street kembali kebakaran di tengah wait and see investor menunggu The Fed
- Kebijakan suku bunga The Fed serta lonjakan harga emas dan batu bara akan menjadi penggerak pasar hari ini
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar keuangan Indonesia ditutup variatif pada Selasa (06/05/2025). Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) melesat, nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah tipis, dan Surat Berharga Negara (SBN) kembali dilepas investor.
Pasar keuangan domestik diproyeksikan masih akan dipengaruhi oleh sentimen eksternal khususnya dari AS pada Rabu (07/05/2025). Selengkapnya mengenai proyeksi bisa dibaca pada halaman 3 artikel ini.
Pada penutupan perdagangan kemarin (06/05/2025), IHSG ditutup terbang 0,97% ke posisi 6.898,19. Hal ini memperpanjang apresiasi IHSG yang telah menguat selama tujuh hari berturut-turut.
Nilai transaksi indeks kemarin mencapai sekitar Rp16,71 triliun dengan melibatkan 23,19 miliar saham yang berpindah tangan sebanyak 1,25 juta kali. Sebanyak 333 saham menguat, 268 saham melemah, dan 205 saham stagnan.
Sementara dari sisi investor asing, tampak net sell dalam jumlah sebesar Rp202,09 miliar.
Kendati IHSG terpantau melonjak nyaris 1%, namun empat dari 11 sektor ditutup di zona merah dengan penurunan terdalam pada sektor teknologi sebesar 0,93%. Kemudian sektor healthcare yang terdepresiasi 0,37% dan sektor properties & real estate yang turun 0,28%.
Sedangkan sektor basic material meroket 3,27%, sektor energy menguat 1,96%, dan sektor consumer cyclicals menanjak 1,27%.
Sentimen positif datang bertepatan dengan melonjaknya harga emas setelah investor mengantisipasi potensi terjadinya resesi usai kontraksi ekonomi AS dan harga minyak mentah dunia yang terus jeblok usai OPEC+ menaikkan produksi dan kekhawatiran permintaan dari ekonomi raksasa berkurang.
Saham emiten tambang emas kongsi Salim-Bakrie, Bumi Resources Minerals (BRMS), melesat 5,88% pada perdagangan kemarin. Sementara itu tambang emas Grup Saratoga (MDKA) melonjak 5,95%.
Lalu emiten tambang emas Peter Sondakh (ARCI) melejit 8,52%. Selanjutnya emiten tambang emas dan perdagangan emas lainnya juga kompak menguat, termasuk PT J Resources Asia Pasifik Tbk (PSAB) naik 6,12%, PT United Tractor (UNTR) naik 0,33% dan PT Hartadinata Abadi Tbk (HRTA) terapresiasi 6,82%.
Kendati telah melesat secara signifikan, perlu dicatat jika melihat secara historis, IHSG selama 10 tahun terakhir (2015-2024) pada periode Mei dominan mencatatkan pelemahan, hanya di tahun 2015, 2017, dan 2020 IHSG menguat di periode Mei.
Sementara itu, sentimen yang akan memengaruhi pasar keuangan Tanah Air pekan ini datang dari dalam maupun luar negeri. Sentimen dari dalam negeri datang dari data pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 yang di bawah ekspektasi consensus yang hanya tumbuh 4,87% (year on year/yoy).
Melambatnya pertumbuhan dapat berdampak ke banyak hal atau dengan kata lain memiliki multiplier effect dan spill over yang besar.
Apabila dampak ini tidak ditindaklanjuti dengan baik atau pun tidak diantisipasi oleh pemerintah, maka perekonomian Indonesia berpotensi mengalami kemunduran. Kondisi ini dapat menjadi sentimen buruk karena investor asing memiliki perspektif yang negatif terhadap Indonesia.
Beralih ke pasar mata uang, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS terpantau sedikit melemah sebesar 0,09% ke posisi Rp16.445/US$.
Dolar diperdagangkan stabil karena investor mempertimbangkan perkembangan tarif AS terbaru dan menantikan keputusan suku bunga bank sentral AS (The Fed) berikutnya.
Sebelumnya, Presiden AS, Donald Trump pada Minggu mengumumkan tarif 100% untuk semua film asing. Hal ini merupakan "eskalasi penting dalam kisah perdagangan" yang sebelumnya terbatas pada barang tetapi tampaknya meluas hingga mencakup jasa, kata ahli strategi Pepperstone Michael Brown dalam sebuah catatan.
Sementara itu, Fed kemungkinan akan menekankan risiko yang meningkat terhadap prospek ekonomi pada pertemuan hari Rabu, katanya. Ia juga dapat mencatat kemungkinan meningkatnya mandat gandanya untuk memaksimalkan lapangan kerja dan harga yang stabil yang saling bertentangan sambil menegaskan kembali "pendekatan wait and see."
Selanjutnya, beralih pada imbal hasil SBN yang bertenor 10 tahun terpantau naik tipis dari 6,865% ke 6,870%.
Perlu diketahui, hubungan yield dan harga pada SBN ini berbanding terbalik, artinya ketika yield naik berarti harga obligasi turun, hal ini menunjukkan investor cenderung untuk keluar dari pasar SBN untuk sementara waktu.
Pages