Ramai-Ramai Pengusaha Nikel Curhat, Ternyata Gegara Ini

19 hours ago 3

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tengah merevisi peraturan terkait tarif royalti di sektor mineral dan batu bara. Hal ini dilakukan guna meningkatkan kontribusi penerimaan negara dari sektor tambang.

Namun, para pelaku usaha menilai bahwa beban industri semakin berat dengan adanya kebijakan ini. Salah satunya seperti nikel yang sebelumnya ditetapkan sebesar 10% akan naik menjadi 14-19%.

Sekretaris Umum Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan apabila tarif royalti naik menjadi 14-19%, Indonesia akan memiliki tarif royalti tertinggi dibandingkan dengan negara penghasil nikel lainnya.

"Kita tarif royalti saat ini kan 10%. Akan ada kenaikan 14-19%. Ternyata dari seluruh negara penghasil nikel kita yang tertinggi yang 10% sebelum tambah yang 14-19%," ujarnya dalam Press Conference Wacana Kenaikan Tarif Royalti Pertambangan, dikutip Selasa (17/3/2025).

Menurut dia, di beberapa negara seperti Amerika Serikat, negara-negara Asia, Eropa, dan bahkan negara tetangga tarif royalti nikel lebih rendah. Beberapa negara bahkan menerapkan royalti berbasis keuntungan.

"Di beberapa negara, Amerika, Amerika Asia, dan Eropa, dan negara-negara tetangga kita, royalti itu lebih rendah. Di Indonesia. Itu kalau royalti 10%. Kalau ditambah lagi 14-19% waduh. Kita benar-benar negara kaya ya," ujarnya.

Meidy menilai kenaikan royalti ini akan semakin membebani industri yang saat ini sudah menghadapi berbagai macam kebijakan lainnya. Misalnya seperti naiknya harga B40, aturan DHE ekspor dan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%.

Di tempat yang sama, Senior Vice President Division Head of IMMRI MIND ID Ratih Dewihandajani menilai sebagai perusahaan pelat merah, MIND ID senantiasa mendukung apa yang menjadi kebijakan pemerintah terkait kenaikan tarif royalti.

Namun, sebagai anggota dari Indonesia Mining Association (IMA), MIND ID juga turut menyuarakan aspirasi para pelaku industri. Ia menilai kebijakan kenaikan tarif royalti akan memberikan dampak paling signifikan bagi perusahaan yang terintegrasi dari hulu ke hilir.

"Kami menyuarakan juga sebagai IMA member, sebagai anggota dari Asosiasi Pertambahan Indonesia, saya juga ingin menyampaikan aspirasi mewakili teman-teman anggota," kata dia.

Menurut Ratih saat ini terdapat tantangan lain yang tengah dihadapi industri pertambangan dalam negeri. Salah satunya seperti implementasi B40 yang menambah beban operasional sehari-hari, dan kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE).

Selain itu, ia juga menyoroti kebijakan Harga Patokan Mineral (HPM) yang dinilai sejatinya menguntungkan perusahaan karena harga HPM saat ini berada di atas harga pasar. Namun, ada perbedaan keberlakuan HPM, yang hanya diterapkan untuk pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) yang terintegrasi.

Menurut dia, terdapat perusahaan dengan Izin Usaha Industri (IUI) dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan pemegang IUP terintegrasi, namun tidak tunduk pada kebijakan harga minimum mandatori HPM.

"Kita nggak mau nanti kita mau jualan dengan harga HPM minimum karena kita patuh dan tunduk pada peraturan, tetangga kita jualannya di bawah. Itu kan mau untung malah jadi buntung ini," katanya.

Sementara, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai bahwa kebijakan tersebut menambah tekanan bagi industri pertambangan yang telah menghadapi berbagai tantangan sebelumnya.

"Awal Januari sudah ada isu, cuma mungkin pada saat itu kita dihadapi oleh kalau ibaratnya badai, ini badainya banyak banget ya," kata Hendra.

Hendra lantas menjelaskan bahwa sejak awal tahun, industri pertambangan sudah dihadapkan pada sejumlah regulasi baru yang memberatkan. Selain wacana kenaikan royalti, terdapat kebijakan lain yang juga berdampak signifikan.

Mulai dari implementasi biodiesel B40, kewajiban Devisa Hasil Ekspor (DHE), Peningkatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, Global Minimum Tax dan lain sebagainya.

"Industri batubara juga terbebani dengan royalti tinggi, harga jual domestik batubaranya dari 2018, ini Pak kita dari dulu harganya dipatok, dan banyak isu lagi belum HBA, dan di industri mineral juga HMA, jadi isunya memang bertubi-tubi, kemudian muncul isu royalti yang akan menjadi istilah internal compensation, jadi kayak apa, udah pamungkasnya mungkin ya," kata Hendra.


(pgr/pgr)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Menakar Masa Depan Sektor Mineral di Indonesia

Next Article Video: Nikel RI Punya Prospek "Besar" di 2025, Tapi Ada Syaratnya!

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |