Pintu Tertutup Revisi UU TNI, Ada Apa?

13 hours ago 11

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat dan pemerintah diam-diam menggelar rapat pembahasan lanjutan soal Revisi Undang-Undang (RUU) TNI di Hotel Fairmont, Jakarta Pusat, Jumat (14/3/2024). Adapun dalam pasal 47 UU TNI saat ini (UU Nomor 34 Tahun 2004), hanya mencantumkan 10 kementerian/lembaga yang bisa ditempati prajurit aktif.

Dalam RUU TNI yang sedang dibahas, terdapat tambahan lima institusi, di antaranya Kementerian Kelautan dan Perikanan, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Keamanan Laut, dan Kejaksaan Agung. Tidak berselang lama, Komisi I DPR RI juga akhirnya mengusulkan Badan Nasional Pengelola Perbatasan.

Pembahasan tersebut menuai kritik dari aktivis masyarakat sipil untuk sektor keamanan, mereka menggedor pintu rapat Panja Revisi UU TNI di Ruang Rubby 1 dan 2 Fairmont Hotel. Mereka juga sempat mendapat aksi anarkis dari aparat ketika mencoba masuk ke dalam ruang rapat tersebut. Parahnya lagi, setelah adanya aksi penolakan dari masyarakat sipil, Hotel Fairmont akhirnya dijaga ketat oleh militer selama pembahasan revisi UU TNI.

Adapun isi lengkap dari pasal 47 dalam RUU TNI yang menimbulkan kontroversi adalah sebagai berikut: "Prajurit aktif dapat menduduki jabatan pada kantor yang membidangi koordinator bidang Politik dan Keamanan, Pertahanan Negara, Sekretaris Militer Presiden, Intelijen Negara, Sandi Negara, Lembaga Ketahanan Nasional, Dewan Pertahanan Nasional, Search and Rescue (SAR) Nasional, Narkotika Nasional, dan Mahkamah Agung, serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden."

Setelah mendengar adanya pembahasan revisi UU TNI yang diselenggarakan di Hotel Fairmont sejenak saya tersenyum dan ngomong dalam hati, "Wah, wakil rakyat kita kerja kerasnya luar biasa, bahkan di hari Sabtu juga mereka rela lembur demi membahas secara matang revisi UU TNI."

Namun, setelah membaca naskah akademik, revisi pasal, hingga perluasan peran TNI dalam jabatan sipil, saya akhirnya kritis, "Sebenarnya, perluasan peran jabatan yang dapat diisi oleh TNI adalah untuk kepentingan nasional atau "improvisasional"? apakah memang demi pertahanan dan keamanan atau sebatas mengakomodasi bagi-bagi jabatan?"

Kalau pasal 47 ayat (2) dalam Revisi UU TNI tersebut dibedah lebih dalam, selain secara eksplisit menyebutkan kursi jabatan sipil yang dapat diisi oleh TNI, sebenarnya frasa "serta kementerian/lembaga lain yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden," secara tidak langsung membuka peluang seluruh jabatan sipil dapat diisi oleh militer. Artinya, DPR dan pemerintah sedang mencoba membuka kembali "Dwifungsi ABRI."

Kalau dibedah dari perspektif kewenangan, maka frasa "yang membutuhkan tenaga dan keahlian prajurit aktif sesuai dengan kebijakan Presiden," akhirnya menjadi dasar hukum pengisian jabatan sipil baik secara direktif atas kebijakan Presiden, Menteri, bahkan termasuk level pemerintahan daerah (sebagai wakil pemerintah pusat yang dibina oleh Kementerian Dalam Negeri) alih-alih atas dasar tenaga dan keahlian prajurit aktif.

Ugal-Ugalan
Ekspansi peran militer ke ranah sipil berisiko mengikis prinsip-prinsip demokrasi yang sudah dibangun dengan susah payah. Militer, dengan hierarki dan budaya komandonya, mungkin tidak selalu cocok dengan tata kelola sipil yang lebih kolaboratif dan partisipatif. Apalagi, sejarah Indonesia telah menunjukkan bahwa campur tangan militer dalam urusan sipil seringkali berujung pada otoritarianisme.

Di sisi lain, dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan baik yang berasal dari DPR, Presiden, maupun DPR adalah harus disertai dengan Naskah Akademik yang berkualitas sebagaimana yang disebutkan dalam pasal 43 ayat (3) UU Pembentukan Peraturan perundang-undangan. Naskah Akademik tersebut sebagai bagian dari pertanggungjawaban secara ilmiah dalam pembentukan suatu peraturan perundang-undangan.

Adapun isi Naskah Akademik dalam RUU TNI tersebut yang menjadi perdebatan adalah: "penempatan prajurit TNI aktif pada kementerian/lembaga lain memberikan dampak positif bagi pemerintah dan juga masyarakat. Publik harus diberikan pemahaman bahwa keterlibatan prajurit TNI aktif tersebut bukan bagian dari pelaksanaan dwifungsi TNI, sebab TNI tidak terlibat dalam politik praktis......"

Bayangkan, sebuah Naskah Akademik yang seharusnya menjadi kajian secara ilmiah, justru hanya menjadi tempat menyebutkan kalimat-kalimat pembenaran yang tidak disertai dengan riset ilmiah yang mendalam.

Lantas menjadi pertanyaan serius bagi DPR dan pemerintah: "Mengapa tidak terlebih dulu berangkat dari kajian ilmiah yang mendalam baru merevisi pasal yang bermasalah? atau, jangan-jangan, tujuan dari revisi UU TNI hanya sebatas menambah jumlah jabatan sipil yang dapat diisi militer?"

Partisipasi militer dalam urusan sipil dapat menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan. Militer dengan struktur komando yang hierarkis dan disiplin tinggi, tidak dirancang untuk menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan yang membutuhkan fleksibilitas, akuntabilitas, dan responsivitas terhadap kebutuhan masyarakat.

Alih-alih memperkuat tata kelola, hal ini justru dapat menciptakan budaya otoriter di mana kebijakan publik ditentukan oleh logika militer yang kaku, bukan oleh kepentingan rakyat.

Pembahasan Tertutup RUU dan Dijaga Ketat Militer
Kepada para DPR yang terhormat: "Sebenarnya anda itu Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Militer? Anda dipilih rakyat atau dipilih militer? Anda dibayar dari pajak rakyat atau pajak militer? Mengapa tidak berpihak pada rakyat?"

Dalam Undang-Undang tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undang dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 91/PUU-XVII/2020, bahwa penguatan keterlibatan dan partisipasi masyarakat yang bermakna harus dilakukan dengan bertanggung jawab dengan memenuhi tiga persyaratan.

Pertama, hak untuk didengar pendapatnya (right to be fourd); kedua, hak untuk dipertimbangkan pendapatnya (right to be considered), dan ketiga hak untuk mendapat penjelasan atau jawaban atas pendapat yang diberikan (right to be explained). Semuanya jelas termuat dalam penjelasan dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2022 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011.

Dari Revisi UU TNI yang secara tertutup di Hotel Fairmont, penjagaan ketat oleh aparat militer, hingga aksi anarkis terhadap anggota masyarakat sipil, lantas menjadi pertanyaan kontemplatif, "Dari tiga syarat partisipasi yang bermakna tersebut, apakah sudah melakukan salah satunya? Sudahkah mendengarkan rakyat, sudahkah mempertimbangkan rakyat? dan sudahkah memberikan penjelasan?"

Selain itu, adanya keterlibatan militer dalam penjagaan penyusunan undang-undang yang mengatasnamakan rakyat tentu adalah bentuk kemunduran demokrasi, hingga bibit semakin ugal-ugalannya pembentukan undang-undang.

Adanya keterlibatan militer tentu secara prinsip fundamental merusak tujuan partisipasi publik yang bermakna yang seharusnya penyusunan undang-undang dilakukan berdasarkan konsensus, terbuka demokratis, pengambilan keputusan yang sehat, bukan dengan kekuatan (otoritarianisme).

Penjagaan ketat oleh militer dalam proses penyusunan undang-undang ini juga mengindikasikan upaya untuk memonopoli kebijakan pertahanan dan keamanan. Hal ini bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi yang menekankan checks and balances antara lembaga-lembaga negara. Militer seharusnya tunduk pada otoritas sipil, bukan sebaliknya. Ketika militer mengambil alih proses legislatif, keseimbangan kekuasaan terganggu, dan demokrasi menjadi korban.

Bangsa ini telah berusaha keras untuk membangun demokrasi setelah jatuhnya rezim Orde Baru. Namun, revisi UU TNI yang tidak transparan dan ekspansi peran militer dalam ranah sipil mengancam pencapaian tersebut. Demokrasi tidak hanya tentang pemilihan umum, tetapi juga tentang perlindungan hak-hak sipil, akuntabilitas pemerintahan, dan partisipasi publik yang bermakna. Jika militer diberi kewenangan yang terlalu besar, prinsip-prinsip ini akan terancam.

Sebagai pertanyaan perenungan: "Apakah kita sedang menuju ke arah yang lebih baik, atau justru mundur ke masa lalu? Apakah perluasan peran TNI di instansi sipil benar-benar untuk kepentingan nasional, atau sekadar membuka pintu bagi militerisme yang sudah seharusnya ditinggalkan?"


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |