FOTO : Ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalimantan Barat ]
MAAF menganggu malam minggunya, wak! Saya ingin memperlihatkan duel dua orang tajir melintir memperebutkan tanah.
Kalau rakyat vs perusahaan, kita dah tahu ujungnya. Sambil menikmati malam minggu ditemani Koptagul, nikmati narasinya.
Di negeri ini, tanah bukan sekadar tanah. Ia adalah roh, harga diri, napas masa lalu, sekaligus tiket masuk kelas sosial. Rakyat kecil kehilangan tanah? Itu sudah seperti episode sinetron yang diputar ulang 12 tahun tanpa jeda iklan.
Kita sedih, tapi tidak terkejut. Namun kali ini, panggung berubah. Yang bertarung bukan petani vs perusahaan, bukan nenek-nenek pemilik sawah vs alat berat, bukan rakyat jelata vs “pembangunan berkelanjutan”. Tidak. Yang turun gelanggang adalah dua raksasa.
Di satu sisi, Jusuf Kalla, mantan Wakil Presiden, saudagar besar, lelaki yang kalau batuk, para politisi DPR mendadak mengatur napas.
Di sisi lain, PT GMTD, anak usaha Lippo Group, kerajaan properti yang mal-nya saja lebih banyak dari jumlah spanduk caleg yang gagal pemilu. Ini bukan lagi konflik tanah.
Ini perang saudagar langit. Rakyat kecil hanya bisa duduk di teras sambil makan kuaci, menonton seperti menonton Godzilla vs King Kong. Tegang, dramatis, tapi tidak punya kuasa apa-apa.
Lahan yang diperebutkan bukan tanah segel jempol di bawah pohon ketapang. Ini 16,4 hektare tanah di kawasan Tanjung Bunga, Makassar. Lokasi premium. Lokasi yang jika dilempar bibit batu bata saja, besok berubah jadi apartemen 20 lantai plus view sunset.
Tanah itu, kata Jusuf Kalla, dibeli langsung dari ahli waris Raja Gowa. Artinya tanah ini punya silsilah sejarah. Ini tanah yang mungkin pernah diinjak prajurit kerajaan yang bersumpah sampai mati untuk kedaulatan. Sertifikatnya? Resmi. Hak Guna Bangunan sejak 1996, sah, legal, tidak ditulis pakai pensil 2B atau tinta spidol papan tulis.
Lalu datanglah GMTD. Perusahaan pengembang yang sudah lama menancapkan pengaruh di kawasan itu. Mereka melakukan eksekusi tanah melalui putusan pengadilan dalam perkara antara GMTD dan seseorang bernama Mulyono. Ini asli Mulyono ya, bukan yang dikejar Roy Suryo cs, ups. Masalahnya, PT Hadji Kalla tidak pernah menjadi pihak dalam perkara itu.
Ini seperti dua orang ribut di warung sebelah, tapi yang kehilangan rumah justru kita. Puncaknya, eksekusi dilakukan tanpa konstatering. Konstatering itu ibarat mengecek alamat sebelum mengantar paket. Tanpa itu, ini seperti kurir mengantar galon ke rumah yang salah, tapi sambil membawa bulldozer.
Jusuf Kalla pun murka. Bukan murka biasa. Ini murka level bangsawan dagang yang pernah berada di jantung kekuasaan. Ia menyebut ini perampokan, rekayasa hukum, dan aksi mafia tanah yang kini berani menyentuh tokoh nasional. Kata-katanya seperti gong besar dipukul di tengah kota. Getarannya sampai ke lobi hotel berbintang.
Menteri ATR/BPN Nusron Wahid menangkap getaran itu. Ia berkata, eksekusi ini cacat prosedur. Ia menyurati Pengadilan Negeri Makassar untuk meminta penjelasan. Negara pun tampak gelagapan. Jika tanah seorang mantan Wakil Presiden bisa “terseret” begitu saja, bagaimana nasib tanah emak-emak yang batasnya cuma ditandai pot bunga dan bekas banjir?
Kita semua, rakyat kecil, hanya menyimpulkan satu hal sambil mengunyah kuaci terakhir, ketika para dewa bertarung, bumi lah yang bergetar. Tanah, oh tanah, tetap menjadi panggung keabadian perebutan kuasa.
Pesan moralnya, pertarungan ini menunjukkan, tanah bukan sekadar benda mati. Tapi, arena kekuasaan. Ketika yang bertarung adalah orang besar melawan orang besar, kita melihat dengan telanjang, masalah di negeri ini bukan sekadar siapa punya sertifikat paling sah, tapi siapa punya akses paling dalam pada jalur hukum dan pengaruh.
Oleh karena itu, rakyat kecil jangan hanya berharap pada belas kasihan, tapi harus mendesak lahirnya sistem pertanahan yang benar-benar berfungsi. Jika dewa saja bisa saling merampas tanah, maka manusia biasa hanya akan menjadi penonton yang kelak ikut tersapu debunya.
#camanewak

1 day ago
6

















































