FOTO : ilustrasi [ Ai ]
Oleh : Rosadi Jamani [ Ketua Satupena Kalbar ]
MAAF, kisah ijazah Jokowi lagi. Tak apa ya. Soalnya bukan debat urat leher Roy Suryo cs vs Termul. Bukan. Ini soal sidang perdata ijazah Jokowi. Simak narasinya sambil seruput Koptagul, wak!
Hari ini Solo tidak sedang menunggu hujan, tidak juga menunggu konser dadakan. Kota itu menunggu sesuatu yang lebih sakral, selembar kertas bernama ijazah. Di Pengadilan Negeri Solo, Selasa 30 Desember 2025, sidang gugatan ijazah Jokowi kembali digelar. Agendanya bukan debat filsafat, bukan adu argumen tingkat doktoral, melainkan pembuktian alat bukti.
Di sinilah letak tragedinya, bukti yang diajukan penggugat sebagian besar cuma fotokopian. Hakim pun, dengan wajah birokrasi yang mungkin sudah kebal absurditas, meminta bukti itu diperbaiki. Negara besar, konflik nasional, energi publik terkuras, ujung-ujungnya kalah oleh mesin fotokopi.
Gugatan ini dikemas dengan label Citizen Lawsuit, istilah yang terdengar gagah, seolah rakyat sedang mengetuk pintu keadilan dengan dada bidang dan data tebal. Tapi ketika sidang dibuka, yang hadir justru rasa kecewa kolektif. Bukan karena Jokowi belum tentu datang, melainkan karena isi perkaranya makin lama makin terasa seperti sinetron kejar tayang, banyak episode, sedikit klimaks.
Jokowi sendiri, Presiden ke-7 Republik Indonesia, sebelumnya sudah menyatakan siap hadir dan menunjukkan dokumen pendidikannya jika memang diminta. Sebuah pernyataan yang terdengar heroik, tapi juga ironis. Nuan bayangkan, seorang mantan kepala negara harus terus-menerus diyakinkan, selembar ijazahnya benar-benar ada, sementara ribuan kebijakan publik lahir tanpa pernah dimintai bukti moralnya.
Secara hukum, ayah Gibran ini sebenarnya tak wajib hadir di setiap sidang perdata. Kuasa hukum cukup, tanda tangan cukup, prosedur cukup. Namun publik terlanjur berharap adegan besar, Jokowi masuk ruang sidang, kamera berderak, map cokelat dibuka, ijazah ditunjukkan, lalu selesai. Sayangnya, harapan itu lagi-lagi ditunda oleh realitas hukum yang dingin.
Hari ini cuma urusan administrasi bukti. Tidak ada drama besar, tidak ada pengakuan mengejutkan, tidak ada klimaks. Yang ada hanya hakim meminta dokumen dilengkapi, sidang lanjut, publik diminta sabar lagi.
Di titik ini, sidang ijazah bukan lagi soal benar atau palsu, tapi soal stamina publik. Negara seolah sedang menguji seberapa lama warganya bisa bertahan menonton cerita yang tidak ke mana-mana. Energi media habis, emosi rakyat terkuras, tapi hasilnya nihil. Tidak ada kebenaran final, tidak ada penutup yang memuaskan. Yang ada hanya rasa lelah, lalu pulang, sambil bergumam, “Oh, belum selesai rupanya.”
Mungkin di situlah pesan moral paling jujur dari sidang ini. Bukan tentang ijazah, bukan tentang Jokowi, bukan tentang hukum. Tapi tentang harapan yang sengaja dipelihara agar tak pernah benar-benar dipenuhi. Negeri ini tidak kekurangan drama, ia hanya kekurangan akhir cerita.
Kalau hari ini sampeyan berharap Jokowi tiba-tiba muncul di PN Solo, membuka map, dan menamatkan semua kecurigaan, maafkan. Harapan itu terlalu rasional untuk sebuah pertunjukan yang sejak awal memang dirancang agar penontonnya pulang dengan kecewa.
Di ruang sidang kebenaran pasrah
Palu hukum menunggu makna pecah
Fotokopi berdiri jadi saksi lemah
Negeri besar terdiam menahan resah
Hakim membaca sunyi penuh gelisah
Prosedur rapi menutup logika cerah
Rakyat menonton berharap jawab kalah
Waktu berjalan lambat terasa payah
Kursi kayu menyimpan letih parah
Janji adil terdengar makin patah
Dokumen dicari belum juga entah
Sidang berlanjut tanpa klimaks megah
Kamera diam menunggu drama punah
Isu lama berputar makin gelabah
Publik pulang membawa kecewa basah
Cerita ditutup dengan sunyi pasrah
#camanewak
#jurnalismeyangmenyapa
#JYM

15 hours ago
7

















































