Jakarta, CNBC Indonesia - Di zaman modern ini, manusia menggunakan peta digital seperti Google Maps, Waze dan sebagainya untuk menemukan arah dan melacak lokasi. Selain itu juga ada teleskop yang bisa membantu kita mengamati langit.
Tapi, bagaimana hal ini bisa terjadi seribu tahun yang lalu? Bagaimana manusia di era itu bisa menemukan jalan, mengukur jarak antar-bintang, dan menghitung ketinggian gunung? Atau, bagaimana caranya mereka menentukan kiblat dan awal Ramadan?
Ternyata mereka menggunakan astrolabe milik Maryam Al Astrulabi.
Al Astrulabi berkontribusi dalam melacak posisi matahari, bulan, bintang-bintang dan planet-planet. Ia adalah orang yang membantu menemukan arah kiblat dan memastikan waktu salat dan tanggal Ramadan.
Bagi umat Islam, posisi matahari memainkan peran penting dalam menentukan waktu salat. Menemukan arah yang paling akurat dari Ka'bah, di Mekah, telah menjadi bagian dari ilmu pengetahuan Islam. Dengan demikian, astronomi selalu memainkan peran penting di dalamnya.
Mulai dari Al Battuni, Al Kharawizmi, dan Tsabit Ibn Qurra, hingga Ali Al Qushji, Ulugh Bey, dan Al Biruni, para ahli matematika Muslim selalu membantu berinovasi dan mengembangkan disiplin ilmu ini.
Namun, bukan hanya pria Muslim yang berkontribusi. Pada abad ke-10, seorang perempuan Muslim, Maryam Al Ijlya, yang juga dikenal sebagai Maryam Al Astrulabi, mengubah wajah astronomi selamanya dengan memelopori astrolabe.
Sayangnya, kontribusi Maryam dalam dunia astronomi baru diakui pada 1990, ketika Henry H. Holy menemukan asteroid dan menamainya 7069 Al Ijliyye.
Astrolab digunakan untuk pengamatan astronomi, ketepatan waktu, dan navigasi. Inovasi yang dibuat Maryam juga meletakkan dasar untuk mengelola transportasi dan rute komunikasi.
Dia juga berkontribusi dalam melacak posisi matahari, bulan, bintang, dan planet, membantu menemukan arah kiblat serta memastikan waktu salat dan tanggal Ramadan.
Mariam dianggap sebagai salah satu dari 200 astronom paling terkenal dalam sejarah, demikian dikutip dari New Arab, Jumat (7/3/2025).
Lahir dari seorang pembuat astrolab Al Ijliy Al-Astrulabi di Suriah pada abad ke-10, ayah Mariam adalah inspirasinya. Keahliannya segera diketahui oleh pendiri Emirat Aleppo, Sayf Al Dawla, yang mempekerjakannya di istana kerajaan.
Selama masa pemerintahannya antara tahun 944 hingga 967 Masehi, Mariam membantu mengembangkan navigasi dan ketepatan waktu dan menjadi terkenal di seluruh wilayah sebagai pembuat astrolab yang paling rinci dari generasinya.
Penulis fiksi ilmiah Nigeria-Amerika, Nnedi Okorafor mengungkapkan pada tahun 2016 bahwa Mariam adalah sumber inspirasinya dalam novelnya, Binti.
Okorafor mengetahui tentang Mariam Al Astulabi di Uni Emirat Arab saat menghadiri sebuah festival buku.
Buku Okorafor memenangkan penghargaan pada tahun 2015, dan Mariam juga dinobatkan sebagai wanita luar biasa dari Zaman Keemasan Islam oleh 1001 Penemuan.
Astrolab pertama kali muncul sebagai instrumen ilmiah yang digunakan untuk menghitung waktu dan mengamati langit. Terdapat piringan logam atau kayu yang kelilingnya ditandai dalam satuan derajat. Sebuah penunjuk portabel berputar di pusat piringan dan disebut alidade.
Astrolab memungkinkan para astronom untuk menghitung posisi bintang dan matahari berdasarkan posisi mereka di cakrawala dan meridian.
Penemuan ini dapat ditelusuri kembali ke zaman Yunani kuno. Namun, astrolab digunakan secara luas selama Abad Pertengahan oleh orang Muslim dan Eropa. Penggunaannya menjadi umum di kalangan pelaut sekitar abad ke-15 hingga perkembangan sextant.
Dari abad ke-8 hingga ke-15, para astronom Muslim menghasilkan banyak sekali karya astronomi yang canggih. Para cendekiawan Muslim, khususnya yang hidup pada Zaman Keemasan Islam, membantu menciptakan penemuan-penemuan inovatif yang berdampak pada generasi-generasi berikutnya.
(dem/dem)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Berantas Penipuan BTS Palsu, Komdigi Belajar Dari Singapura
Next Article Misteri Langit Bumi Berdengung Dibongkar Peneliti