Jakarta, CNBC Indonesia- Sebagian wilayah Indonesia tengah menghadapi musim kemarau basah. Fenomena ini akan berimbas kepada banyak hal, termasuk sektor pertanian dan kesehatan.
Fenomena musim kemarau merupakan istilah yang merujuk pada kondisi musim kemarau tetapi masih dibarengi dengan masih tingginya intensitas hujan.
Secara klimatologis, musim kemarau di Indonesia terjadi dengan curah hujan kurang dari 50 milimeter per bulan.
Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) mengatakan kemarau basah diperkirakan akan berlangsung hingga akhir Agustus 2025.
Namun, hujan juga masih terus turun dalam intensitas yang tinggi.
DI Jakarta, misalnya, hampir tiap hari masih diguyur hujan dengan intensitas yang sangat tinggi di siang atau sore hari.
Merujuk pada Prediksi Musim Kemarau Tahun 2025 di Indonesia (Pemutakhiran Mei 2025,), sebanyak 403 ZOM atau zona musim (57,7%)di Indonesia diprediksi kan masuk musim kemarau pada periode April hingga Juni 2025dengan wilayah Nusa Tenggara merupakan wilayah yang diprediksikan mengalami kemarau lebih awal dibanding wilayah lainnya.
Foto: Ilustrasi Hujan Deras. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Ilustrasi Hujan Deras. (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Musim Kemarau 2025 di Indonesia diprediksikan mulai sama hingga lebih lambat dari normalnya, mencakup 409 ZOM (59%) yang tersebar di Indonesia.
"Akumulasi curah hujan musim kemarau di sebagian besar ZOM diprediksikan pada kategori Normal atau sama dengan biasanya (tidak lebih basah atau tidak lebih kering)," tulis BMKG.
Puncak musim kemarau 2025diprediksi terjadi pada Agustus di sebagian besar ZOM di Indonesia. Puncak Musim Kemarau 2025 diprediksi akan Sama hingga Maju atau datang lebih awal dari biasanya yang mendominasi hampir keseluruhan wilayah Indonesia.
Dibandingkan dengan normalnya,durasi musim kemarau 2025diprediksi akan lebih pendek dari biasanya pada298 ZOM (43%).
BMKG memperkirakan kemarau basah terjadi pada Juni-Agustus 2025.
BMKG memperkirakan sebanyak 56,54% wilayah Indonesia akan mengalami kondisi lebih basah daripada normalnya. Kondisi akan berlanjut pada Juli 2025 di mana kemarau basah diperkirakan meluas ke 75,3% wilayah dan Agustus sebanyak 84,% wilayah.
Musim kemarau basah di antaranya ditandai dengan:
1. Hujan turun secara sporadis atau tidak rutin selama musim kemarau.
2. Intensitas hujan biasanya ringan sampai sedang
3. Suhu udara cenderung lebih sejuk dibanding kemarau kering
4. Cuaca tidak menentu dan berubah dengan cepat
5. Suhu udara masih terasa panas, meskipun terjadi hujan
Dengan masih tingginya hujan, fenomena musim kemarau basah memberi banyak manfaat ke pertanian.
Datangnya hujan akan memudahkan petani yang menanam tanaman musiman karena tetap ada curah hujan. Hujan juga mengurangi risiko kekeringan yang parah dan ongkos tinggi untuk mendatangkan sumber mata air.
Adanya hujan juga mengurangi risiko gagal tanam akibat kekeringan. Dampak positif lainnya adalah kekeringan dan kebakaran hutan maupun lahan tidak akan parah.
Namun, musim kemarau basah juga menimbulkan persoalan gangguan pada pola tanam dan panen akibat curah hujan yang tidak menentu.
Risiko lainnya adalah munculnya serangan hama dan penyakit tanaman karena kelembaban.
Di bidang Kesehatan, beberapa penyakit yang dikhawatirkan datang saat musim kemarau basah adalah demam berdarah dan diare.
Fenomena musim kemarau basah juga meningkatkan risiko bencana seperti angin kencang, banjir, hingga tanah longsor.
Kapan Saja Terjadi Musim Kemarau Basah?
Fenomena musim kemarau basah sudah berulang kali terjadi di Indonesia. Di antaranya adalah pada 2010,2013, 2016, 2020, 2023, dan tahun ini.
Dalam catatan BMKG, musim kemarau basah semakin sering terjadi dan berlangsung dalam durasi yang lebih panjang. Fenomena ini menunjukkan adanya tren peningkatan frekuensi dan intensitas kemarau basah di Indonesia.
Dalam catatan Badan Pusat Statistik (BPS) produksi padi Indonesia justru hampir selalu melonjak pada musim kemarau basah tiba.
Pengecualian terjadi pada 2023 di mana produksi padi turun.
(mae/mae)