FOTO : Almarhumah Siti Sudarsih [ dok ]
Refleksi seorang suami untuk istri tercinta
TAYAN HILIR – 18 Juli 2025
HARI ini genap empat puluh hari sejak istri saya tercinta, Siti Sudarsih yang akrab disapa Mak Long, berpulang ke rahmatullah, dalam usia ke – 53 tahun.
Ia meninggal dunia di RSUD Soedarso, Pontianak, pada Sabtu malam, 8 Juni 2025, pukul 21.22 WIB, karena pendarahan di otak yang terjadi secara tiba-tiba.
Kepergiannya meninggalkan duka mendalam, tidak hanya bagi saya sebagai suaminya, tetapi juga bagi dua anak laki-laki kami, yang tengah menapaki masa penting dalam hidup mereka.
Sejak hari itu, kehidupan kami berubah secara drastis. Kehilangan sosok yang selama ini menjadi pusat keluarga, penyeimbang emosi, dan sumber keteguhan membuat hari-hari kami terasa asing.
Rumah yang dulu terasa hangat oleh kehadiran dan suaranya, kini dipenuhi sunyi yang begitu dalam.
Putra sulung kami Tuah Dimas Prasiri saat ini sedang menyusun skripsi di salah satu perguruan tinggi.
Ia mencoba tetap kuat dan fokus meskipun kehilangan ibunya sangat memukul perasaannya.
Sementara si bungsu, Genta Media Jurnalis yang sebelumnya baru saja mengikuti tahap akhir pemberkasan pendaftaran TNI AD, memilih menunda proses tersebut, karena harus mengantarkan jasad ibunya ke peristirahatan terakhir di hari yang sama.
Ia merasa belum siap meninggalkan rumah yang baru saja ditinggalkan ibunya untuk selama-lamanya.
Empat puluh hari bukanlah waktu yang lama, namun cukup untuk menyadarkan kita bahwa hidup ini begitu rapuh.
Kematian tidak menunggu kesiapan. Kepergian istri kami Siti Sudarsih mengajarkan satu hal penting, bahwasanya setiap detik bersama orang yang kita cintai adalah anugerah yang patut disyukuri, bukan disepelekan.
Kini, doa-doa mengalir untuknya, dari suami yang kehilangan teman hidup, dari anak-anak yang kehilangan suri teladan, dari kerabat dan sahabat yang mengenang kehangatan dan kebaikan hatinya.
Di hari ke-40 ini, kita tidak hanya mendoakan agar Mak Long diberi tempat terbaik di sisi-Nya. Tetapi juga merayakan cinta dan ketulusan hidupnya yang akan selalu hidup dalam kenangan.
Sebab meski raganya telah tiada, kasih seorang ibu tak pernah benar-benar pergi.
Mak Long bukan sekadar seorang istri. Ia adalah pendamping hidup yang setia, ibu yang sabar, pribadi yang sederhana namun kuat, dan cahaya di tengah keluarga kami.
Dalam keterbatasan, ia hadir sebagai pelipur lara. Dalam kelapangan, ia tetap rendah hati.
Ia merawat keluarga dengan ketulusan yang tak pernah lelah, dan mendampingi saya melewati berbagai fase kehidupan tanpa pernah mengeluh.
Empat puluh hari ini bukan sekadar hitungan waktu. Ia adalah serangkaian hari yang penuh renungan, penuh rindu, dan penuh upaya untuk belajar ikhlas.
Saya tahu, sebagai manusia kami tak bisa melawan takdir. Namun kehilangan yang begitu cepat dan tiba-tiba tetap meninggalkan luka yang sulit disembuhkan oleh waktu.
Melalui tulisan ini, saya ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada almarhumah, atas segala cinta, kesetiaan, dan pengabdian yang telah ia berikan.
Saya juga mengajak para kerabat, sahabat, dan siapa pun yang mengenalnya, untuk bersama-sama mendoakan beliau.
Semoga Allah SWT menerima amal ibadahnya, mengampuni segala dosa dan khilafnya, serta menempatkannya di tempat terbaik di sisi-Nya.
Kepada istri saya tercinta, Siti Sudarsih, doa kami tidak akan pernah putus. Engkau mungkin telah pergi dari pandangan mata, namun tidak pernah hilang dari hati kami.
Kami akan terus melanjutkan hidup dengan warisan kasih sayang dan keteladanan yang engkau tinggalkan, untuk menjaga anak-anak kita sebagaimana engkau dahulu menjaganya dengan sepenuh jiwa.
Insya Allah, kelak kita akan dipertemukan kembali. Dalam keabadian, tanpa lagi ada perpisahan.
* Suami mu : Muhammad Khusyairi [ Pak Long Sery ]