Jakarta, CNBC Indonesia - Di seluruh Jepang, para pemilik bisnis yang menua kini dihadapkan pada dilema besar, yakni minimnya ahli waris yang mau meneruskan usaha keluarga, serta beban pajak warisan yang tinggi. Kondisi ini membuat banyak pelaku usaha mulai mempertimbangkan opsi yang dulu dianggap tabu - menjual perusahaan mereka ke investor private equity (PE).
Mengutip CNBC International, fenomena tersebut kini menjadi pemicu ledakan aktivitas private equity di Negeri Sakura. Menurut Bain & Co., nilai transaksi pasar private equity Jepang telah menembus 3 triliun yen (sekitar US$20 miliar) per tahun selama empat tahun berturut-turut. Data PitchBook menunjukkan, hingga tahun ini aktivitas transaksi meningkat lebih dari 30% menjadi US$29,19 miliar dibandingkan tahun sebelumnya.
Lonjakan ini terutama didorong oleh banyaknya perusahaan keluarga yang memutuskan menjual bisnisnya, seiring para pendiri yang menua menghadapi masalah suksesi dan pajak warisan yang berat.
Jun Tsusaka, CEO Nippon Sangyo Suishin Kiko, menuturkan kisah seorang pengusaha berusia 61 tahun yang meminta bantuannya untuk menjual perusahaan.
"Mereka di usia di mana mereka berkata: 'Saya sudah bekerja keras, tapi anak-anak saya tidak mau meneruskan bisnis ini,'" ujarnya, dikutip dari CNBC, Sabtu (1/11/2025).
Jepang dikenal memiliki pajak warisan tertinggi di dunia, mencapai 55% untuk harta warisan bernilai besar, menurut Tax Foundation. Pajak ini harus dibayar maksimal 10 bulan setelah kematian, sehingga sering kali ahli waris terpaksa menjual aset perusahaan dengan cepat demi mendapatkan uang tunai. Kondisi tersebut menjadikan penjualan ke private equity semakin menarik.
Lebih dari 90% usaha kecil dan menengah (UKM) di Jepang merupakan bisnis keluarga, dan sekitar 65% dari kesepakatan akuisisi di negara tersebut kini terkait kasus suksesi, menurut data Neuberger Berman.
Laporan World Economic Forum memperkirakan, pada 2025 sekitar 1,27 juta pemilik UKM berusia 70 tahun ke atas tidak memiliki penerus - mencakup sepertiga dari seluruh perusahaan di Jepang.
Analis private equity PitchBook Kyle Walters mengatakan isu suksesi menjadi pendorong utama aktivitas transaksi domestik.
"Kekurangan penerus dan populasi Jepang yang menua adalah faktor penting dalam pertumbuhan private equity di negara ini," katanya kepada CNBC. "Banyak penjual melihat PE sebagai opsi realistis karena pilihan lain sangat terbatas."
Dulu, menjual ke investor asing hampir tak terpikirkan.
"Sepuluh tahun lalu, menjual perusahaan dianggap hal yang tabu," kata Manoj Purush, mitra korporasi di Reed Smith yang fokus pada merger dan akuisisi.
"Awalnya, hanya investor lokal yang dipertimbangkan. Tapi lama-kelamaan, mereka mulai membuka diri pada investor asing."
Perubahan budaya itu makin terasa setelah beberapa raksasa asing seperti KKR, Carlyle, dan Bain sukses melakukan restrukturisasi perusahaan Jepang tanpa merusak fondasi bisnisnya. KKR, misalnya, membeli 80% saham unit bisnis Panasonic pada 2013, menamainya PHC Holdings, yang kemudian melantai di bursa pada 2021.
"Mereka melihat investor asing masuk dan ternyata berhasil," kata Purush.
Tren ini juga mendorong sejumlah pendiri muda untuk menjual bisnis mereka di tengah kekurangan tenaga kerja dan sulitnya menarik manajemen profesional. Fenomena ini diperparah oleh "Generasi Zaman Es Pekerjaan" - masa antara awal 1990-an hingga awal 2000-an ketika pasar kerja Jepang terpuruk akibat gelembung ekonomi pecah, menyebabkan kekosongan di lapisan tenaga profesional berpengalaman.
Kekurangan manajer berpengalaman itu memperburuk krisis suksesi dan kepemimpinan di sektor UKM.
Dukungan Regulasi dan Faktor Makro
Jim Verbeeten, mitra Bain & Co., menilai ledakan PE Jepang juga ditopang reformasi regulasi pemerintah.
"Jika melihat akar pertumbuhannya, semuanya kembali ke 2015-2016," ujarnya.
Saat itu, pemerintah Jepang memberlakukan kewajiban direktur eksternal dan tekanan dari Bursa Efek Tokyo agar perusahaan meningkatkan return on equity.
Selain masalah suksesi, fenomena corporate carve-out atau pelepasan divisi bisnis juga mendorong aktivitas PE. Banyak konglomerasi Jepang menjual aset non-inti untuk memperkuat neraca dan meningkatkan efisiensi modal. Tekanan dari investor aktivis pun mendorong dewan direksi untuk melakukan divestasi atau membawa perusahaan ke ranah privat.
Faktor makro turut memperkuat tren ini. Pelemahan yen membuat aset Jepang lebih murah bagi investor asing, terutama yang memegang dolar AS. Menurut Ohira dari Neuberger Berman, para investor institusional global kini menuntut eksposur lebih besar terhadap Jepang, mendorong manajer dana PE untuk memperluas skala investasinya.
Suku bunga Jepang yang jauh lebih rendah dibanding negara maju lain juga membuat akuisisi berbasis utang (leveraged buyouts) semakin menarik. Yen sendiri telah melemah hampir 4% terhadap dolar AS sejak awal tahun, dengan kurs saat ini sekitar 150,93 per dolar.
Waspada Risiko Overheating
Namun, derasnya arus modal juga memunculkan kekhawatiran.
"Kalau pasar terlihat sangat menarik, semua ingin ikut masuk. Uang semakin banyak mengejar peluang yang sama, dan harga jadi naik," ujar Verbeeten.
Ia mengingatkan agar tidak terulang fenomena "vintage lemah" seperti periode 2006-2007, ketika valuasi yang terlalu tinggi membuat banyak investasi gagal pasca-krisis keuangan global 2008.
Meski pasar PE Jepang sedang booming, kontribusinya baru sekitar 0,4% terhadap PDB, jauh di bawah AS (1,3%) dan Eropa (1,9%). "Jepang memang kini jadi pusat perhatian, tapi dari sisi kematangan pasar, ini masih tahap pertumbuhan," kata Verbeeten.
Dengan krisis suksesi yang belum menunjukkan tanda mereda, Jepang kemungkinan besar akan tetap menjadi ladang subur bagi perusahaan private equity yang berburu peluang investasi menarik.
(dce)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Jepang Tak Baik-Baik Saja: Beras buat Pening, Kena Panas Israel & Iran

5 hours ago
1

















































