Ketika Keluarga Dibatalkan: Dari Gary Becker ke Jabal Rahmah

5 days ago 9

Catatan: Artikel ini merupakan opini pribadi penulis dan tidak mencerminkan pandangan Redaksi CNBCIndonesia.com

Pengantar Serial Matinya Ilmu Ekonomi: Di tengah dunia yang terus bergerak cepat namun terasa semakin kosong, kami mengajak anda untuk berhenti sejenak, untuk menoleh ke belakang, menatap ke dalam, dan melihat ke depan. Serial Matinya Ilmu Ekonomi bukan sekadar kumpulan kritik.

Ia adalah upaya jujur untuk memandang ilmu ekonomi dari sudut yang jarang diterangi: dari sisi yang tidak selalu efisien, tidak selalu rasional, tapi sepenuhnya manusiawi. Di sini, kami ingin menyegarkan kembali ingatan kita akan mengapa ekonomi ada, bukan hanya sebagai alat hitung, tetapi sebagai cermin kegembiraan, pencapaian, penderitaan, ketimpangan, dan harapan zaman.

Adapun episode ke-6 ini penulis beri judul: "Ketika Keluarga Dibatalkan: Dari Gary Becker ke Jabal Rahmah". Semoga bermanfaat, Selamat Menikmati.

Kita hidup di zaman modern yang memungkinkan kita menghitung nyaris segalanya, dari tingkat imbal hasil hingga biaya terendah. Kita diajarkan bahwa menjadi rasional artinya memaksimalkan manfaat dan meminimalkan beban. Tapi dalam logika yang sama, keluarga berubah menjadi beban, cinta menjadi ketidakefisienan, anak-anak tak lagi disebut berkah, melainkan cost center. Dan pelan-pelan, tanpa sadar, kita membatalkan keluarga.

Di tahun 1960-an, seorang ekonom dari Universitas Chicago bernama Gary Becker melakukan sesuatu yang pada zamannya dianggap radikal, bahkan oleh sesama ekonom. Ia membawa logika ekonomi masuk ke ranah yang selama ini dianggap terlalu manusiawi untuk dihitung: keluarga, pernikahan, perceraian, hingga keputusan punya anak. Di sinilah pembahasan terkait human capital lahir.

Bagi Becker, tak ada yang terlalu sakral untuk dianalisis secara ilmiah. Ia percaya bahwa manusia, dalam hampir semua tindakannya, berperilaku seperti makhluk rasional dalam mengejar utilitas, baik saat membeli saham, maupun saat memilih pasangan hidup.

Melalui tulisannya yang monumental, A Treatise on the Family, Becker menyusun model keluarga dalam kerangka pilihan rasional: Menikah adalah keputusan ekonomi, Anak adalah hasil dari kalkulasi biaya dan manfaat. Cinta adalah bentuk dari kontrak jangka panjang yang mengandung risiko moral dan biaya switching.

Dalam karyanya yang lain, ia bahkan membahas "alokasi waktu istri" sebagai masalah produksi rumah tangga, lengkap dengan asumsinya: jam kerja domestik, nilai pengganti pembantu rumah tangga, hingga potensi hilangnya produktivitas jika sang ibu memilih tinggal di rumah.

Namun, seperti semua model yang terlalu presisi, keberhasilan Becker adalah juga keterbatasannya. Ia berhasil menjelaskan cinta dalam angka, tapi gagal menangkap getarnya. Ia berhasil mengubah rumah menjadi unit ekonomi, tapi lupa bahwa rumah bukan sekadar bangunan, tapi pelukan yang menunggu.

Model Gary Becker ternyata bukan hanya permainan intelektual. Ia bukan sekadar teori, kini ia berubah menjadi kenyataan yang kemudian penelitiannya dilanjutkan oleh ekonom masa kini. Ini bukan hanya menjelaskan dunia, tapi membentuknya.

Hari ini, kita hidup dalam masyarakat yang sungguh-sungguh berperilaku seperti dalam rumus-rumus Becker. Di kota-kota besar seperti Seoul, Tokyo, dan bahkan Jakarta, keputusan untuk menikah, punya anak, dan membentuk keluarga benar-benar ditimbang seperti kalkulasi investasi.

"Berapa opportunity cost-nya kalau saya resign demi anak?", "Kalau saya menikah sekarang, berapa tahun saya bisa punya tabungan yang layak untuk pensiun?", "Serta kita butuh tabungan berapa untuk sekolah anak?".

Di negeri-negeri yang dianggap paling maju dengan PDB tinggi, infrastruktur hebat, dan pendidikan canggih, keluarga justru runtuh paling awal. Mereka terlalu sukses untuk masih membutuhkan keluarga. Sistem menggantikan cinta, teknologi menggantikan pelukan, dan rumah menjadi sekadar tempat istirahat, bukan tempat pulang.

Di Korea Selatan, survei dari Presidential Committee on Aging Society and Population Policy menyatakan bahwa 39% orang Korea Selatan tidak ingin menikah dan punya anak. Bukan karena mereka membenci cinta, tetapi karena biayanya terlalu tinggi.

Mereka menyebut diri mereka "N-Po Generation", generasi yang menyerah pada pernikahan, rumah, dan anak. Pemerintah merespons dengan subsidi bayi, libur panjang pascamelahirkan, sampai program matchmaking. Tapi semuanya gagal, karena yang runtuh bukan hanya angka, tapi makna.

Di Jepang, apartemen komersial kini lebih murah dan lebih praktis daripada membentuk rumah tangga. Mengapa punya anak, kalau kamu bisa menyewa kamar, pesan makan, dan bekerja jarak jauh dan semua dalam sistem ekonomi yang efisien dan steril?

Di Tokyo dan Osaka, ada distrik yang seluruhnya dihuni oleh single household. Tidak ada suara anak kecil. Tidak ada drama rumah tangga. Hanya efisiensi, ketenangan, dan kesendirian. Bahkan sekarang tinggal di warnet sudah dianggap lebih murah dibandingkan tinggal menyewa rumah sendiri. Hal yang dulu mahal menjadi murah. Hal yang dulu penuh cinta dan murah menjadi mahal.

Bayangkan seorang anak yang hidup dari pagi hingga malam hanya hidup bersama AI. Segalanya rapi. Segalanya presisi. Tapi di mana cinta orang tuanya?

Gary Becker mungkin tak pernah bermimpi modelnya akan begitu berhasil. Tapi keberhasilan total model ini adalah tragedi. Kita membuktikan bahwa manusia memang bisa hidup tanpa keluarga. Tapi apa kita masih bisa menyebut itu sebagai hidup?

Keberhasilan ekonomi modern tak hanya tercermin dari angka PDB yang tumbuh, atau surplus neraca perdagangan. Keberhasilannya yang paling sunyi adalah kemampuan untuk mengeksternalisasi hampir semua fungsi keluarga.

Dulu, rumah adalah tempat segalanya terjadi: Anak dibesarkan di dalamnya, orang tua dirawat di dalamnya, makanan dimasak di dalamnya, mencuci baju, anak-anak membantu menyapu dan cinta dijaga di dalamnya. Tapi kini, hampir semua bisa di-outsource atau di eksternalisasikan kata ekonom. Dan itulah tanda "kemajuan" menurut dunia modern:

Makan? Pesan saja lewat aplikasi. Merawat anak? Ada daycare, ada pengasuh, bahkan ada layanan edukasi digital yang terpersonalisasi. Merawat orang tua? Ada rumah lansia premium, lengkap dengan layanan kesehatan, psikolog, dan spiritual care. Butuh teman bicara? Terapis tersedia. Atau AI. Butuh cinta? Ada platform yang menggabungkan big data dan algoritma ketertarikan visual.

Dan semua ini adalah bagian dari pasar. Semuanya dibayar, diukur, dan dioptimalisasi.Bahkan perhatian dan waktu luang kini menjadi komoditas. Kita menyebutnya "me time", "healing", dan "self-care", konsep yang muncul hanya ketika tak ada lagi yang bisa diandalkan secara internal.

Semua fungsi-fungsi keluarga telah diceraikan dari tubuhnya sendiri, lalu dijadikan industri. Dan mungkin, inilah puncak dari rasionalisasi ala Gary Becker: keluarga tak lagi dibutuhkan, karena sistem sudah bisa menggantinya.

Dunia ini menjadi terlalu sukses, dan karena terlalu sukses, ia tak lagi butuh cinta, cukup dengan jasa yang efisien. Tapi seperti tubuh yang kehilangan jiwanya, rumah-rumah itu jadi dingin. Dan masyarakat jadi sepi. Karena yang tinggal hanya logika tanpa makna, tanpa akar, tanpa pelukan yang tak ditagih.

Indonesia di Persimpangan: Antara Tradisi dan Tren Global
Mungkin kita tergoda berpikir bahwa yang terjadi di Korea dan Jepang adalah fenomena "mereka", bukan "kita", bahwa Indonesia masih hangat, masih berisik. Masih punya tumpengan saat syukuran rumah baru. Masih ada anak-anak kecil yang naik motor bertiga, ibu-ibu arisan, dan tetangga yang numpang bumbu dapur.

Tapi coba perhatikan lebih dekat. Kita sedang berubah. Hari ini, banyak keluarga muda di kota-kota besar lebih memilih apartemen kecil tanpa dapur. Mereka tak lagi masak, karena makan bisa lewat GoFood. Pasangan yang baru menikah, lebih senang tinggal sendiri, bukan lagi di rumah orang tua, bukan karena konflik, tapi karena kemandirian dianggap lebih efisien.

Dan kini, tak sedikit anak-anak yang dibesarkan lebih banyak oleh gawai, guru les, dan nanny daripada oleh pelukan ibunya sendiri. Datapun sekarang mulai menunjukkan penurunan angka pernikahan dan kelahiran.

Keluarga di Indonesia belum sepenuhnya runtuh, tapi sedang diubah perlahan, bukan oleh kebencian, tapi oleh efisiensi. Komersialisasi menggantikan gotong royong. Konsultasi parenting menggantikan nasihat nenek dan "mental health day" menggantikan momen ngobrol sore bareng ibu.

Di desa-desa pun, migrasi kerja membuat banyak rumah kosong, atau dihuni hanya oleh lansia dan anak. Keluarga menjadi jaringan logistik yang saling kirim uang dan foto, tapi tidak lagi satu meja makan, satu suara adzan, atau satu dinding rahasia.

Indonesia belum seperti Jepang. Tapi kita sedang menuju ke sana. Bukan karena pilihan, tapi karena kita meniru peradaban yang disebut maju, tanpa sadar apa yang hilang di jalan. Dan ketika semua sudah bisa dibayar, ketika semua sudah bisa digantikan, kita mulai bertanya dalam hati: Masihkah rumah itu tempat pulang?

Jabal Rahmah: Tempat Kita Kembali Menunggu
Tak jauh dari tanah tandus Mekkah, di sebuah padang batu yang nyaris tak berwarna, berdirilah sebuah bukit kecil: Jabal Rahmah, yang konon berarti bukit kasih sayang. Konon di sinilah, setelah sekian lama terpisah, Adam dan Hawa bertemu kembali. Tak ada data. Tak ada catatan formal. Hanya narasi yang hidup dari pelukan yang lama tertunda.

Mereka bukan bertemu karena jadwal, bukan karena algoritma pencocokan. Mereka bertemu karena kerinduan. Karena kehendak untuk kembali, bukan ke tempat, tapi ke satu sama lain. Di Jabal Rahmah tidak ada negosiasi kontrak, tidak ada perhitungan untung-rugi, hanya ada kerinduan untuk pulang, dan keberanian untuk memberi maaf.

Tidak ada efisiensi di Jabal Rahmah. Bahkan menunggunya saja bisa memakan ratusan tahun. Bayangkan, di dunia yang menghargai kecepatan dan keberhasilan, kisah pertama manusia justru dibingkai oleh penantian yang lambat dan rindu yang panjang. Apa yang dicari Adam saat itu? Bukan rumah, bukan nafkah, bukan rasio, tapi Hawa. Seseorang yang tak bisa diganti oleh sistem, tak bisa digantikan oleh layanan, tak bisa diduplikasi oleh data.

Hari ini, mungkin kita sedang kehilangan Jabal Rahmah dalam diri kita. Kita kehilangan kemampuan untuk menunggu. Kita kehilangan keberanian untuk saling menanggung. Kita kehilangan kebermaknaan dari menjadi keluarga, bukan hanya memiliki keluarga.

Becker tidak salah ketika ia mencoba menjelaskan keluarga dengan logika. Tapi yang tak pernah ia lihat adalah: tak semua hal yang bermakna bisa dioptimalkan. Tak semua cinta ingin dimenangkan. Kadang ia hanya ingin ditemukan kembali, seperti Adam menemukan Hawa di Jabal Rahmah.

Di zaman ketika anak dianggap beban, pasangan dinilai dari gaji dan mobilitas, dan rumah dijadikan tempat transaksional, barangkali yang paling revolusioner hari ini adalah kembali percaya pada kesetiaan, kehangatan, dan kesabaran.

Karena dunia yang terlalu efisien, pada akhirnya adalah dunia yang membatalkan keluarga. Dan Jabal Rahmah, masih berdiri, bukan menunggu rumah, tapi menunggu jiwa-jiwa yang ingin pulang ke satu sama lain.


(miq/miq)

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |