Jakarta, CNBC Indonesia - Bencana banjir bandang dan longsor yang terjadi di Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat menunjukkan tingginya kerentanan geologi wilayah Sumatra yang diperparah oleh kerusakan lingkungan serta dampak perubahan iklim global.
Kondisi ini mendorong meningkatnya frekuensi bencana geo-hidrometeorologi di Sumatra dengan dampak yang kian meluas.
Menanggapi situasi tersebut, Guru Besar Teknik Geologi dan Lingkungan Universitas Gadjah Mada (UGM), Dwikorita Karnawati, menekankan bahwa kebijakan hunian sementara (huntara) dan hunian tetap (huntap) pascabencana di Sumatra harus dirancang untuk mencegah terulangnya bencana, bukan semata-mata hanya memulihkan kondisi sebelum bencana terjadi.
Ia juga mengingatkan bahwa berdasarkan prakiraan Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), potensi hujan masih dapat berlangsung hingga Maret-April 2026. Dengan demikian, risiko banjir bandang dan longsor susulan masih sangat tinggi.
Oleh karena itu, kebijakan hunian pascabencana tidak boleh berhenti pada fase tanggap darurat, melainkan harus terintegrasi dalam program rehabilitasi dan rekonstruksi jangka panjang, termasuk pemulihan lingkungan secara menyeluruh.
Dwikorita menjelaskan bahwa banyak wilayah terdampak berada di kawasan kipas aluvial, yakni bentang alam hasil endapan banjir bandang pada masa lalu. Secara geologi, kawasan ini merupakan zona aktif yang menyimpan memori bencana dan tetap berpotensi terlanda kembali dalam rentang waktu puluhan tahun.
"Jika kawasan ini kembali dijadikan hunian tetap, maka risiko bencana tidak dihilangkan, tetapi diwariskan kepada generasi berikutnya," ujarnya, dikutip dari pernyataan resmi di laman UGM, Kamis (18/12/2025).
Ia menambahkan bahwa kerusakan lingkungan di wilayah hulu dan Daerah Aliran Sungai (DAS) mempercepat proses erosi serta meningkatkan volume material rombakan yang terbawa saat hujan ekstrem.
Kondisi tersebut memperpendek periode ulang banjir bandang, yang kini dapat terjadi dalam kurun 15-20 tahun, bahkan lebih singkat apabila pemulihan lingkungan tidak segera dilakukan.
Hunian Tetap Harus di Zona Aman
Berdasarkan pertimbangan tersebut, mantan kepala BMKG itu menegaskan bahwa wilayah yang pernah terlanda banjir bandang tidak layak dijadikan lokasi hunian tetap, terutama untuk hunian jangka panjang.
Kawasan tersebut seharusnya ditetapkan sebagai zona merah dan difungsikan untuk kepentingan konservasi serta rehabilitasi lingkungan.
Untuk mencegah bencana berulang, ia merekomendasikan agar kawasan yang telah terdampak banjir bandang ditetapkan sebagai zona merah dan dilarang untuk pembangunan hunian tetap.
Pembangunan hunian tetap harus diarahkan secara tegas ke zona aman yang ditetapkan berdasarkan pemetaan risiko geologi lingkungan, serta disertai kewajiban pemulihan kerusakan lingkungan, terutama di wilayah hulu DAS, sebagai prasyarat utama agar potensi bencana serupa tidak kembali terulang.
Zona aman tersebut harus berada di luar bantaran sungai aktif, memiliki jarak aman dari lereng curam, serta tetap mempertimbangkan ketersediaan akses air baku dan layanan dasar lainnya.
Sementara itu, kawasan rawan masih dapat dimanfaatkan sebagai hunian sementara dengan batas waktu dan bersifat transisional, bukan hunian permanen.
Pemanfaatan hunian sementara dibatasi maksimal tiga tahun dan harus disertai persyaratan, antara lain tersedianya sistem peringatan dini yang andal, penyusunan serta pengujian rencana kedaruratan, penguatan kapasitas pemerintah daerah dan masyarakat, pembersihan material rombakan di wilayah hulu, penetapan zona penyangga berupa jalur hijau, serta pembangunan tanggul sungai yang memadai dan berkelanjutan.
Dwikorita menegaskan bahwa penataan hunian pasca bencana merupakan keputusan strategis jangka panjang yang akan menentukan keselamatan masyarakat.
"Jika pembangunan pasca bencana mengabaikan karakter geologi dan memori bencana, proses pemulihan justru berpotensi menciptakan bencana baru di masa depan," tegasnya.
Dwikorita kembali menekankan bahwa kebijakan huntara dan huntap harus berpijak pada ilmu kebencanaan, prinsip mitigasi risiko, pemulihan lingkungan, serta tanggung jawab antargenerasi, agar proses pemulihan tidak hanya berlangsung cepat, tetapi juga aman dan berkelanjutan.
(dem/dem)
[Gambas:Video CNBC]

3 hours ago
4

















































