Jakarta, CNBC Indonesia - Industri tekstil dan produk tekstil (TPT) di Indonesia tengah menghadapi tekanan berat. Kondisi ini tak hanya dialami Sritex yang tadinya raksasa tekstil RI namun akhirnya tumbang dan dalam proses pailit. Ribuan tenaga kerja harus kehilangan pekerjaannya, resmi terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) jelang Lebaran 2025.
Banjirnya barang impor dan lemahnya daya saing menyebabkan banyak perusahaan terhimpit. Sekretaris Jenderal Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) FarhanAqil mengungkapkan, lebih dari sepuluh perusahaan TPT berada dalam kondisi kritis dan terancam gulung tikar.
"Sebenarnya banyak ya, nggak cuma dua yang memang lagi dalam tekanan (under pressure) soal tekanan impor ini, apalagi karena masalah daya saing," ungkap Farhan kepada CNBC Indonesia, Kamis (6/3/2025).
Dia menyebut keluhan itu datang dari berbagai anggota asosiasi maupun pelaku industri lainnya. Permasalahan utama, katanya, terletak pada kurangnya dukungan pasar domestik terhadap industri dalam negeri.
Dia menyebut setidaknya lebih 10 perusahaan yang saat ini terancam tutup. "Mungkin lebih dari 10 ya, tapi saya nggak bisa nyebutin nama perusahaannya karena konfidensial. Takutnya ada trust atau buyer dari luar negeri yang masih mengerjakan produk-produk mereka," ucapnya.
Farhan mengatakan, akibat kondisi pasar domestik yang tidak mendukung, banyak perusahaan TPT yang kini beralih ke pasar ekspor.
"Orientasinya sekarang ke ekspor karena mereka nggak bisa jualan di domestik lagi. Makanya mereka sangat menjaga nama baik mereka, walaupun memang mereka mengeluhkan bahwa pasar domestiknya nggak mendukung," tambahnya.
Beberapa produk anggota APSyFI, katanya, bahkan mencatatkan kenaikan ekspor hingga 100%. Namun, ia menegaskan hal itu hanyalah solusi sementara.
"Biasanya, industri TPT ini 70% domestik, 30% ekspor. Cuma karena domestiknya tidak bisa support, maka mereka switch ke ekspor," sebut Farhan.
Dia pun menegaskan penyebab utama krisis pada industri TPT nasional adalah banjirnya barang impor.
"Harus dikontrol sih sebetulnya. Kita nggak anti-impor. Kalau misalnya memang produknya nggak dibuat di sini, itu nggak apa-apa mau impor. Cuma harus dikontrol. Kalau nggak ada kontrolnya, ya bakal seperti ini terus," ujarnya.
Ia juga mendorong pemerintah untuk menerapkan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN) secara optimal, baik dalam belanja pemerintah maupun sektor swasta, termasuk BUMN.
"Kita ngedorong banget nih pemerintah supaya seenggaknya TKDN-nya bisa diterapkan dengan optimal," tegas dia.
Adapun untuk kepastian jumlah perusahaan yang benar-benar berada di ambang penutupan, Farhan mengakui masih perlu dilakukan pengecekan lebih lanjut.
"Mereka masih bergantung sama pasar ekspor. Cuma pasar ekspor ini ibaratnya hanya sementara. Ada geopolitik sedikit aja, keganggu. Nah, supaya jadi pasti, ya pasar domestik yang harus jadi tumpuan mereka," jelasnya.
Oleh karena itu, ia menekankan pentingnya pengendalian impor, terutama untuk mencegah masuknya barang ilegal yang semakin memperburuk situasi industri tekstil nasional.
(dce)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Sritex Tutup Total, Semua Karyawan Terakhir Kerja Hari Ini
Next Article Malapetaka Hantam Buruh Tekstil, Pabrik Tutup Lagi-Sritex Pailit