Impor Barang Konsumsi Turun, Ekonom: Bukti Daya Beli Lemah

12 hours ago 5

Jakarta, CNBC Indonesia - Volume impor barang konsumsi pada Februari 2025 atau menjelang Ramadan dan Lebaran merosot tajam. Membuat kalangan ekonom mewanti-wanti data itu menjadi bukti nyata daya beli masyarakat tengah ambruk.

Total impor barang konsumsi per Februari 2025 hanya sebesar US$ 1,47 miliar, atau merosot 10,61% (mtm) dibanding data per Januari 2025 yang sebesar US$ 1,64%. Dibanding Februari 2024 yang senilai US$ 1,86 miliar malah merosot lebih dalam, yaitu 21,05% (yoy).

Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira mengatakan, penurunan impor barang konsumsi ini sejalan dengan kondisi deflasi bahan makanan sebesar -0,7% secara bulanan atau month to month (mtm) per Februari 2025 yang sebesar 0,93% mtm.

Kondisi itu menandakan daya beli masyarakat sangat rendah, sehingga permintaan barang sangat minim di dalam negeri. Tak adanya permintaan membuat harga-harga barang turun, bahkan tak perlu dipenuhi dari impor.

"Artinya terkonfirmasi memang daya beli masyarakat sedang rendah sehingga permintaan impor turun, harga makanan minuman secara umum juga turun," kata Bhima, Jumat (17/3/2025).

Bhima berpendapat, turunnya impor barang konsumsi menjelang masa Lebaran atau Idul Fitri 2025 maupun memasuki masa Ramadan tak pernah terjadi sebelumnya. Pada 2024 saja, angka impor barang konsumsi naik baik secara mtm maupun yoy.

"Ini anomali yang sebelumnya tidak pernah terjadi," ujar ekonom jebolan University of Bradford itu.

Selain menilai kondisi impor barang konsumsi yang turun merupakan kondisi anomali jelang Lebaran, ia menegaskan, seharusnya impor barang konsumsi tengah terbuka lebar akibat kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 8 Tahun 2024.

"Penurunan impor barang konsumsi dengan rezim regulasi Permendag 8/2024 yang pro impor pastinya kontradiksi. Pemerintahnya kan pro impor, jumlah penduduk nya besar tapi impor anjlok jelang Ramadan. Tidak ada penjelasan lain kecuali Risiko resesi ekonomi sedang tinggi," tegasnya.

Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Esther Sri Astuti juga menyatakan hal yang serupa. Ia mengatakan, merosotnya impor barang konsumsi menjelang periode musiman seperti Hari Besar Keagamaan merupakan bentuk nyata tengah ambruknya daya beli warga RI.

Ia berpendapat, daya beli masyarakat tengah bermasalah karena memang dari sisi pendapatan atau income riil tengah menurun, disebabkan dampak PHK yang terus menerus terjadi di berbagai sektor usaha.

"Perlu diwaspadai, karena dampak PHK besar-besaran melemahkan daya beli masyarakat, apalagi karena harga pangan naik sekarang. Maka stok pangan juga harus cukup, distribusi dan logistik barang harus lancar," tegasnya.

Ia pun menyarankan pemerintah untuk segera merespons permasalahan ini dengan mengeluarkan kebijakan-kebijakan ekonomi ekspansif, baik dari sisi fiskal maupun moneter. Sebab bila terus berlanjut menurutnya pertumbuhan ekonomi pada kuartal I-2025 cenderung akan turun.

Mengutip catatan BPS, barang konsumsi yang turun tajam di antaranya ialah buah-buahan dari US$ 175,4 juta per Januari 2025 menjadi US$ 114,5 juta pada Februari 2025, daging hewan dari US$ 69,3 juta menjadi US$ 24,6 juta, dan Serealia dari US$ 37,8 juta menjadi US$ 0.


(arj/mij)

Saksikan video di bawah ini:

Video: BPS: Neraca Dagang RI Februari 2025 Surplus USD 3,12 Miliar

Next Article Neraca Dagang RI Surplus US$2,47 M, Tembus 54 Bulan Beruntun

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |