Jakarta, CNBC Indonesia - Skandal besar kini menggaet orang kaya ASEAN. Dia adalah Chen Zhi, seorang taipan Inggris-Kamboja.
Otoritas Amerika Serikat (AS) dan Inggris mengumumkan sanksi pekan lalu terhadap pemimpin "Prince Holding Group" tersebut. Ia dikatakan menjalankan operasi penipuan siber transnasional terbesar.
Bukan cuma menipu, ia mempekerjakan korban perdagangan manusia dan mengeksploitasi mereka. Perusahaannya merugikan calon investor dan dirinya menggunakan hasil pen penipuan untuk membeli kapal pesiar, jet, hingga lukisan Picasso.
FBI disebut telah menyita US$14 miliar (sekitar Rp 231 triliun) bitcoin. Direkturnya Kash Patel menyebut kasus ini sebagai salah satu penindakan penipuan keuangan terbesar dalam sejarah".
Lalu bagaimana kisahnya? Siapa pula sebenarnya Chen Zhi dan Grup Holding "Pangerannya" itu?
Mengutip AFP, Senin (20/10/2025), Prince Holding Group merupakan salah satu konglomerat terbesar di Kamboja, yang telah beroperasi di lebih dari 30 negara. Bisnisnya, sejak 2015, merambah real estate, lalu jasa keuangan hingga bisnis konsumen.
Laman itu menyebut Prince Holding Group sebagai "kekaisaran bisnis terluas" di Kamboja. Investasi real estate-nya misalnya senilai US$ 2 miliar, salah satunya Prince Plaza, di ibu kota Kamboja, Phnom Penh.
Di situs webnya, Prince Holding Group mengatakan pihaknya berharap dapat memainkan "peran penting" di Negeri Seribu Kamboja. Perusahaan berkomitmen memajukan perekonomian Kamboja dan rakyat melalui kemitraan atau investasi langsung ke industri-industri utama.
Mengutip Channel News Asia (CNA), Prince Holding Group memiliki sejumlah unit bisnis. Mulai dari Prince Real Estate Group, Prince Huan Yu Real Estate Group, dan Prince Bank.
Sementara, Chen Zi sendiri adalah miliarder muda. Umurnya baru 37 tahun. Sebenarnya, ia lahir di China. Tapi, ia memegang kewarganegaraan Inggris dan Kamboja.
Chen Zi dekat dengan kekuasaan. Ia pernah menjadi penasihat Perdana Menteri Hun Manet dan ayahnya, mantan pemimpin Hun Sen. Bahkan, dirinya menyandang gelar kehormatan "Neak Oknha" yang diberikan pemerintah, yang berarti "taipan terkemuka". Beberapa orang terdekat memanggilnya "Vincent".
Dalam situs perusahaan, Chen digambarkan sebagai "pengusaha yang disegani dan filantropis ternama di komunitas bisnis Kamboja". Disebutkan bahwa ia berpartisipasi dalam berbagai kegiatan amal melalui badan amal grup tersebut, Prince Foundation.
"Aktor yang sangat melekat pada negara di Kamboja," ujar pakar kejahatan transnasional Jacob Sims.
"Pengaruhnya menyebar ke setiap lapisan pemerintahan, dan Prince Group telah lama berfungsi sebagai organisasi patron utama bagi partai yang berkuasa," tambahnya.
Muncul Dakwaan dan Skena "Sembelih Babi"
Dakwaan muncul ke Chen dan perusahaannya dari tuntutan kejaksaan AS. Ia dan Prince Holding Group disebut dalang di balik penipuan siber yang beroperasi di Asia namun menargetkan seluruh dunia.
Skema penipuannya sendiri dijuluki "pig butchering" atau "sembelih babi". Penyembelihan babi ini memang difokuskan untuk menipu korban hingga miliaran rupiah,
Prince Holding Group membangun setidaknya 10 kompleks di Kamboja untuk menjalankan operasi. Para pekerjanya dipaksa menghubungi ribuan korban melalui media sosial atau platform pesan daring, membangun hubungan baik, dan membujuk mereka untuk mentransfer mata uang kripto dengan harapan mendapatkan keuntungan investasi yang besar.
"Para pekerja yang diperdagangkan dikurung di kompleks seperti penjara dan dipaksa untuk melakukan penipuan daring dalam skala besar, memangsa ribuan orang di seluruh dunia, termasuk banyak di AS," kata Asisten Jaksa Agung untuk Keamanan Nasional, John A. Eisenberg.
Jaksa mengatakan Chen pernah membanggakan penipuan yang ia lakukan itu. Ia bisa menghasilkan US$30 juta per hari.
Jika terbukti bersalah, Chen menghadapi hukuman maksimal 40 tahun penjara. Baik Chen maupun perusahaan sebelumnya telah membantah tuduhan kriminalitas.
Seret Singapura
Selain Chen, disebutkan pula dalam dakwaan AS bahwa ada berbagai individu dan entitas Singapura terkait kasusnya. Khusus warga negara, ada tiga WN Singapura terseret.
Merujuk data Departemen Keuangan AS mereka adalah Chen Xiuling, 43 tahun, yang juga dikenal sebagai Karen. Lalu ada Tang Nigel Wan Bao Nabil, 32 tahun, dan Yeo Sin Huat Alan, 53 tahun.
Ada pula 17 entitas di Singapura yang terkait. Di mana enam di antaranya dikaitkan dengan sosok Chen Xiuling.
Sebanyak 126 bisnis yang terafiliasi dengan Prince Group telah ditambahkan ke dalam daftar sanksi. Departemen Keuangan AS mengatakan bahwa sebagian besar adalah erusahaan cangkang yang tidak terlibat dalam aktivitas komersial atau bisnis nyata yang tampak.
Inggris sendiri telah membekukan bisnis dan aset Chen, termasuk sebuah rumah mewah senilai US$13,9 juta di London Utara. Lalu sebuah gedung perkantoran senilai US$116 juta di City of London, dan beberapa apartemen mewah di seluruh London.
Apa Kata Kamboja?
Juru bicara Kementerian Dalam Negeri Kamboja mengatakan bahwa pemerintah akan bekerja sama dengan negara lain dalam kasus Chen. Ia tidak akan dilindungi.
"Kami tidak melindungi individu yang melanggar hukum," kata Touch Sokhak ke AFP dan juga laman AS, The Associated Press.
"Namun, bukan berarti kami menuduh Prince Group atau Chen Zhi melakukan kejahatan seperti tuduhan yang dibuat oleh AS atau Inggris," ujarnya lagi.
Pakar kejahatan terorganisir dari The Eyewitness Project, Lindsey Kennedy, mengatakan bahwa sanksi Inggris dan AS minggu ini sangat penting dan sangat inovatif. Namun, dengan perekonomian beberapa negara yang sangat bergantung pada industri penipuan, ia mengatakan tindakan penegakan hukum berpotensi meninggalkan "kekosongan bagi jenis kejahatan terorganisir lainnya untuk masuk".
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article
Heboh Skandal Baru Gedung Putih, Presiden AS Ini Bakal Diselidiki