DI suatu siang nan terik di Jalan Palang Merah, Kota Medan, sejarah mencatat tragedi intelektual paling absurd dalam sejarah per-polantas-an nasional.
Aiptu Rudi, Sang Penegak Hukum, menggulingkan dirinya di aspal panas demi segelas minuman tak berdosa senilai Rp 100 ribu.
Ini bukan kisah film India, ini nyata, wak. Simak narasinya sambil seruput kopi tanpa gula.
Ceritanya bermula ketika seekor, eh, seorang pengendara motor wanita melawan arus lalu lintas. Aiptu Rudi, seperti seekor elang lapar yang mencium aroma mie rebus, segera mencegat mangsanya.
Tapi alih-alih menegakkan hukum, beliau justru menjatuhkan moralnya sendiri demi selembar uang merah. Kenapa? Katanya haus. Ya, haus. H-A-U-S. Filosofis sekali.
“Minum dulu, baru tilang,” mungkin itulah adagium baru yang digagas Aiptu Rudi, sebuah kalimat yang kelak akan tertulis dalam kitab suci lalu lintas edisi Medan, bab ‘Mabuk Kuasa, Haus Nurani.’
Di sinilah babak epik itu dimulai. Begitu aksinya viral, Aiptu Rudi diganjar sanksi paling dramatis sejagat polisi: guling-guling di atas aspal.
Guling. Guling, Bos.
Bukan push-up. Bukan hormat bendera. Tapi guling-guling di bawah sinar matahari jam 12 siang.
Sebuah hukuman yang tampaknya diambil dari kitab kuno ilmu bela diri “Tikus Ninja dari Kampung Rambutan” bab, Jatuhkan Dirimu Sebelum Jatuh Harga Dirimu.
Warga pun menyaksikan. Polisi-polisi lain ikut mengamati. Lalu, Aiptu Rudi, dengan seragam lengkap, rompi lalu lintas, dan mungkin setetes keringat kenangan masa kecil, mulai menggulingkan tubuhnya dengan semangat spiritual seorang biksu Tibet yang tersesat ke Medan.
Kita tidak tahu siapa dalang hukuman ini. Tapi besar kemungkinan, itu dirancang oleh akademisi jurusan Filsafat Sanksi Alternatif, dengan tesis berjudul, “Metafisika dari Tubuh yang Berguling Karena Haus dan Korupsi.”
Ketika diwawancarai, Aiptu Rudi menyatakan permintaan maaf dengan nada drama Korea episode akhir:
“Saya menyesal, saya minta maaf kepada masyarakat sebesar-besarnya… saya hanya ingin beli minum.”
Minum, lae. Serius? Apakah itu minuman surgawi? Apakah itu minuman yang diramu dari embun perawan Himalaya? Kalau iya, mungkin kami bisa maklum. Tapi kalau itu hanya es teh manis pinggir jalan… ya Allah, Rudi…
Sanksi selanjutnya adalah “patsus,” atau penempatan khusus. Artinya, Aiptu Rudi akan merenungi hidup dalam kamar yang penuh cermin dan pertanyaan-pertanyaan eksistensial,
“Apakah manusia adalah makhluk bebas, atau hanya polisi haus yang tersandung kamera ponsel?”
“Apakah uang Rp 100 ribu lebih penting dari integritas?”
“Apakah guling-guling bisa menebus dosa?”
Kini, institusi pun mengambil langkah strategis, demosi! Ya, Rudi akan dikirim ke tempat antah-berantah, mungkin di pos penjagaan ujung semak belukar, bersama seekor burung camar dan toa rusak.
Di sana dia akan merenungi arti kehidupan, menghafal UU Lalu Lintas sambil menangis pelan.
Netizen pun tak tinggal diam. Ada yang membuat remix video guling-guling-nya dengan lagu “Nasi Padang.” Ada pula yang menyarankan agar setiap pelanggar etik disuruh guling bareng di GBK. Guling Massal Nasional 2025, katanya.
Tapi, di balik semua tawa ini, kita disuguhi pertanyaan mendalam, seberapa murah harga sebuah martabat jika bisa ditukar dengan segelas minuman? Jawabannya? Tergantung es tehnya.
Moral cerita, jangan pernah menggulingkan akhlakmu hanya karena haus.
Kalau haus, minum dari sumur kejujuran. Jangan dari dompet rakyat. Ingat, wak! Kamera kini lebih tajam dari pedang. Tapi kadang, lebih lucu juga.
Aiptu Rudi bukan hanya menggulingkan badannya. Ia telah menggulingkan kepercayaan, norma, dan nalar.
Tapi ia juga telah membuka pintu filsafat baru, dalam dunia yang serba viral, satu-satunya cara bertobat adalah dengan guling seikhlas hati di tengah jalan.
Salam guling-guling.
#camanewak
Oleh : Rosadi Jamani
[ Ketua Satupena Kalbar ]