Bukan AS, Negara Ini Kini Jadi Musuh Nomor Satu Rusia

4 hours ago 3
Daftar Isi

Jakarta, CNBC Indonesia - Moskow dan London kembali bersitegang setelah Rusia mengusir dua diplomat Inggris dalam eskalasi ketegangan terbaru antara kedua negara.

Pengusiran ini menyusul tuduhan spionase dan tudingan Rusia terhadap Inggris sebagai provokator perang di Ukraina, sementara Amerika Serikat di bawah kepemimpinan Presiden Donald Trump berusaha menengahi konflik antara Rusia dan Ukraina.

Ketegangan antara Rusia dan Inggris bukanlah hal baru. Dalam sejarah, keduanya telah beberapa kali bersitegang, terutama selama dua abad terakhir. Namun, dengan perang yang masih berkecamuk di Ukraina sejak 2022, hubungan kedua negara memburuk secara signifikan.

"London hari ini, seperti pada malam sebelum Perang Dunia, kembali menjadi ancaman utama bagi Rusia," kata SVR, badan intelijen luar negeri Rusia, dilansir Reuters, Jumat (14/3/2025).

Salah satu pejabat Rusia bahkan menyebut bahwa Inggris telah menjadi kekuatan penghasut utama di antara negara-negara Barat dalam menentang Rusia. Seorang lainnya menyatakan bahwa "Inggris memicu kekacauan dan perang" di Ukraina.

Tak hanya itu, Perdana Menteri Inggris, Keir Starmer, dituduh memimpin langkah-langkah agresif terhadap Moskow, terutama setelah berulang kali menyerukan dukungan penuh kepada Ukraina dalam konflik yang sedang berlangsung.

Sementara itu, Presiden Trump berusaha memperbaiki hubungan dengan Rusia dan mencari jalan damai bagi konflik Rusia-Ukraina, tetapi langkah-langkah London dinilai sebagai penghambat perdamaian.

Perseteruan Panjang Inggris-Rusia

Rusia telah lama memiliki hubungan yang bergejolak dengan Inggris, yang kini dipandang sebagai musuh utama oleh Moskow. Menurut pernyataan SVR, Inggris memiliki sejarah panjang dalam memprovokasi dan memperkeruh situasi di kawasan Eropa.

"London hari ini, seperti pada malam sebelum Perang Dunia, kembali menjadi provokator utama perang dan kekacauan," ujar pihak SVR.

Mereka menuding Inggris telah berperan dalam menggagalkan berbagai upaya Trump untuk menengahi konflik Rusia-Ukraina.

Namun, SVR tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai bagaimana Inggris bertindak sebelum pecahnya dua perang dunia. Sejak Rusia menginvasi Ukraina pada tahun 2022, konflik ini menjadi yang paling mematikan di Eropa sejak Perang Dunia Kedua.

Di tengah upaya Rusia dan Amerika Serikat di bawah Trump untuk mencari jalan damai, London tetap menjadi suara paling keras dalam mendesak sanksi terhadap Rusia. Banyak pengamat di Rusia menganggap Inggris sebagai penggerak utama sikap keras Barat terhadap Moskow.

Hubungan yang Makin Memburuk

Situasi politik yang semakin panas terlihat jelas dalam langkah-langkah terbaru yang diambil kedua negara. Inggris telah mengusir sedikitnya 10 diplomat Rusia sejak awal perang, sementara Rusia menuduh seorang diplomat Inggris terlibat dalam tindakan "permusuhan" yang bertujuan untuk merusak hubungan kedua negara.

"Tindakan Inggris benar-benar tidak bisa diterima," kata seorang pejabat senior Rusia. "Mereka bertingkah seolah-olah bisa mengatur segalanya dan hanya menambah bahan bakar ke dalam api konflik ini."

Perdana Menteri Keir Starmer juga dikritik oleh tokoh politik Rusia karena dianggap mencoba menghalangi upaya rekonsiliasi yang diinisiasi oleh Donald Trump. Rusia menilai bahwa Inggris memainkan peran sebagai "musuh nomor satu" dengan mempengaruhi kebijakan negara-negara Barat dalam mengambil sikap terhadap Moskow.

Sanksi dan Ancaman Balasan dari Rusia

Selain saling mengusir diplomat, ketegangan semakin meningkat setelah keputusan Uni Eropa untuk membekukan aset Rusia.

Ketua parlemen Rusia dan sekutu dekat Putin, Vyacheslav Volodin, menyinggung perlunya Rusia untuk menarik kembali uangnya dari Inggris.

"Inggris sudah meraup banyak keuntungan dari Rusia selama bertahun-tahun. Kini saatnya kita mengambil kembali yang menjadi hak kita," ujar Volodin.

Sementara itu, perdagangan antara kedua negara juga menurun drastis akibat konflik geopolitik yang berkepanjangan. Data terbaru menunjukkan bahwa personel kedutaan Inggris di Rusia telah berkurang setidaknya 10 orang sejak awal perang, sebagai akibat dari kebijakan tit-for-tat yang saling diambil kedua negara.

Di tengah perseteruan ini, beberapa perusahaan besar Inggris, termasuk perusahaan farmasi seperti AstraZeneca dan GlaxoSmithKline, masih beroperasi di Rusia, meskipun semakin banyak suara yang mendesak pembatasan bisnis dengan perusahaan asing yang berasal dari negara-negara yang dianggap bermusuhan oleh Moskow.

Masa Depan Hubungan Inggris-Rusia

Dengan meningkatnya sentimen anti-Inggris di Rusia, banyak pengamat yang mulai bertanya-tanya apakah hubungan antara kedua negara dapat diperbaiki. Retorika yang muncul di televisi negara Rusia belakangan ini semakin menunjukkan bahwa Inggris dianggap sebagai ancaman.

Beberapa komentator bahkan menghidupkan kembali ungkapan lama: "The Englishwoman relieves herself on Russia" yang mencerminkan ketidakpercayaan mendalam terhadap niat London terhadap Moskow.

Sementara itu, ketegangan antara AS dan Uni Eropa juga meningkat setelah pengenaan tarif 25% pada impor baja dan aluminium oleh Washington, yang memicu ancaman "tindakan balasan" dari Uni Eropa terhadap barang impor AS senilai 26 miliar euro.

Seorang pejabat Uni Eropa menyatakan bahwa negosiasi dengan AS di tahap ini akan sia-sia.

"Ini tidak akan menjadi diskusi yang produktif," ujar pejabat tersebut, menyamakan negosiasi ini dengan "meletakkan ikan busuk di atas meja".


(luc/luc)

Saksikan video di bawah ini:

Video: Trump-Putin Dituduh Bersekongkol Setop Bantuan ke Ukraina

Next Article 'Ancaman' Halus Rusia untuk Trump, Bisa Bernasib Sama seperti JFK

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |