Bos Pengusaha RI Respons Ucapan Ekonom AS Soal Tarif Trump-Ini Katanya

5 hours ago 1

Jakarta, CNBC Indonesia - Pernyataan ekonom senior asal Amerika Serikat (AS) Arthur Laffer, yang menyebut kebijakan tarif Presiden AS Donald Trump akan membuka jalan menuju perdagangan global yang lebih bebas, direspons para pengusaha nasional.

Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wiraswasta menilai pernyataan tersebut tidak sepenuhnya tepat. Menurutnya, kebijakan tarif tinggi AS justru lebih menguntungkan Washington semata, bukan perdagangan global secara keseluruhan.

"Memang ini akan bergantung pada hasil negosiasi masing-masing negara dengan AS, karena tarif resiprokal AS selain menghitung defisit perdagangan, juga menargetkan non-tariff barrier-nya ke masing-masing negara target, termasuk Indonesia," kata Redma kepada CNBC Indonesia, Kamis (19/6/2025).

Ia menjelaskan, strategi Amerika memang bisa memaksa negara-negara mitra dagang membuka relaksasi proteksi. Namun, jika relaksasi itu hanya diberikan khusus kepada AS, maka jelas yang diuntungkan hanya satu pihak.

"Dari sisi ini akan terjadi relaksasi proteksi di negara mitra AS, tapi jika relaksasi itu hanya diberikan kepada AS, maka hanya akan menguntungkan AS saja, bukan menguntungkan perdagangan global," ujarnya.

Alih-alih memicu perdagangan bebas, Redma menilai kebijakan Trump justru memunculkan gelombang proteksionisme baru. Banyak negara kini memasang tarif atau hambatan non-tarif sebagai bentuk antisipasi membanjirnya produk asal China yang kesulitan menembus pasar AS.

"Justru karena kebijakan AS ini, yang terjadi sekarang banyak negara melakukan proteksi tarif maupun non-tariff karena khawatir dibanjiri barang China, imbas dari akan terhambatnya barang China ke pasar AS," terang dia.

Dari kacamata pelaku industri, Redma menilai apa yang terjadi saat ini memang sudah pasti menguntungkan AS. Namun belum ada jaminan bahwa langkah itu akan menciptakan manfaat nyata bagi perdagangan global.

"Sudah pasti menguntungkan AS, dan belum pasti menguntungkan perdagangan global," tukasnya.

Redma melihat, pemerintah Indonesia juga tampaknya mengambil strategi serupa dalam menghadapi tekanan perdagangan dari AS. Caranya, dengan menurunkan defisit perdagangan melalui ekspor komoditas primer, bukan dengan membuka lebih banyak akses terhadap barang-barang konsumsi.

"Hal yang sama sepertinya akan diambil pemerintah Indonesia, targetnya kan penurunan tarif dengan cara menurunkan defisit perdagangan AS melalui komoditas primer yang kita perlukan," ungkapnya.

Namun, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak serta-merta tunduk pada desakan untuk melonggarkan hambatan non-tarif. "Tapi kita kan tidak terlalu menanggapi terkait protes non-tariff barrier, karena pasar domestik kita masih memerlukannya sebagai proteksi serbuan impor barang murah dari China," lanjut dia.

Redma pun menilai hambatan non-tarif di dalam negeri sebetulnya tidak perlu dihapus. Yang lebih penting, kata dia, adalah melakukan evaluasi agar pengelolaannya lebih sederhana dan transparan.

"Non-tariff barrier ini tidak perlu direlaksasi, tapi memang perlu dievaluasi terkait dengan simplifikasi prosedur dan transparansi pengelolaannya," pungkasnya.

Sementara itu, Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) DKI Jakarta, Diana Dewi justru melihat efek yang berbanding terbalik bagi Indonesia. Menurut Diana, kebijakan proteksionisme perdagangan yang diterapkan Trump telah memberi tekanan besar pada perekonomian negara-negara mitra dagangnya, termasuk Indonesia.

"Kebijakan proteksionisme perdagangan yang diberlakukan Presiden Amerika Serikat Donald Trump memiliki dampak negatif ke negara-negara lain, termasuk Indonesia," ujar Diana dihubungi terpisah.

Dampaknya pun cukup konkret, seperti penurunan ekspor, turunnya daya saing produk Indonesia di pasar AS, hingga tekanan terhadap nilai tukar rupiah. Diana menjelaskan, saat ini kondisi pasar Amerika Serikat sendiri sedang tidak baik. Biaya ekspor meningkat, dan kini tarif impor juga ikut naik.

"Sudah terjadi kenaikan biaya ekspor terhadap produk dari sejumlah negara, kini ada pemberlakuan kenaikan tarif impor. Indonesia kian terhimpit dengan kondisi demikian, di mana kedua kebijakan tersebut sama-sama memiliki ekses negatif terhadap neraca perdagangan Indonesia ke USA," jelasnya.

American Economist, Arthur B. Laffer menyampaikan paparan dalam acara CNBC Indonesia Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)Foto: American Economist, Arthur B. Laffer menyampaikan paparan dalam acara CNBC Indonesia Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
American Economist, Arthur B. Laffer menyampaikan paparan dalam acara CNBC Indonesia Economic Update 2025 di Jakarta, Rabu (18/6/2025). (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Dia menilai kebijakan ini tidak hanya berdampak pada perdagangan, tapi juga bisa memicu instabilitas atau ketidakstabilan ekonomi yang lebih luas.

"Pemberlakuan kebijakan tarif impor kepada perekonomian Indonesia secara umum antara lain, dapat menyebabkan capital outflow dan depresiasi nilai tukar rupiah. Hal tersebut akan berakibat penurunan pendapatan negara dan ketidakstabilan ekonomi," tutur Diana.

Sektor industri pun, katanya, ikut terdampak. Ia menyebut akan semakin tingginya risiko penurunan produksi, penurunan pendapatan, potensi pemutusan hubungan kerja (PHK), hingga fenomena deindustrialisasi prematur.

"Sudah pasti kondisi demikian mempengaruhi sektor industri, yakni penurunan produksi dan pendapatan, potensi PHK yang besar, dan deindustrialisasi prematur yang ditandai dengan penurunan kontribusi sektor industri terhadap PDB," katanya.

Tak hanya itu, Diana menyebut tarif impor tinggi dari AS juga membuat harga produk Indonesia menjadi lebih mahal di pasar internasional. Akibatnya, ekspor terhambat dan permintaan pun menurun.

"Juga akan terjadi penurunan ekspor karena harga produk akan menjadi lebih mahal. Akan muncul juga penurunan permintaan dan penurunan daya saing," tegasnya.

Melihat tekanan yang terjadi, Diana mendorong pemerintah untuk mengambil langkah antisipatif yang strategis dan berorientasi jangka panjang. Diversifikasi ekspor menjadi salah satu solusi utama agar Indonesia tidak terlalu bergantung pada pasar AS.

"Beberapa hal yang perlu dilakukan oleh pemerintah dalam menyikapi kondisi tersebut antara lain, melakukan diversifikasi ekspor untuk mengurangi ketergantungan pada pasar AS. Juga meningkatkan ketahanan terhadap perubahan kebijakan perdagangan dunia," kata dia.

Peningkatan kerja sama dengan negara-negara lain pun menjadi langkah penting, termasuk memperkuat peran di lembaga internasional. "Juga meningkatkan kerja sama perdagangan dengan negara lain, seperti negara-negara ASEAN, China, Afrika, dan Uni Eropa. Bisa juga dengan mengoptimalkan peran WTO (organisasi perdagangan dunia) dalam menyelesaikan sengketa perdagangan dan mempromosikan perdagangan bebas yang adil," lanjutnya.

Diana juga menekankan pentingnya penguatan sektor industri domestik, mulai dari investasi di riset dan pengembangan, peningkatan kualitas dan efisiensi produksi, hingga penguatan infrastruktur perdagangan.

"Juga dengan mengembangkan infrastruktur perdagangan, seperti pelabuhan dan jaringan transportasi, untuk meningkatkan efisiensi dan biaya perdagangan. Dan, mengembangkan strategi perdagangan yang adaptif dan responsif terhadap perubahan kebijakan perdagangan global," pungkasnya.


(wur)
[Gambas:Video CNBC]

Next Article Sri Mulyani Blak-Blakan Banyak yang Dulu Akrab Kini Tak Berteman Lagi

Read Entire Article
8000hoki online hokikilat online
1000hoki online 5000hoki online
7000hoki online 9000hoki online
800hoki download slot games 2000hoki download slot games
4000hoki download slot games 6000hoki download slot games
Ekonomi Kota | Kalimantan | | |