Jakarta, CNBC Indonesia - Kereta cepat (High-Speed Rail/HSR) telah lama menjadi simbol kemajuan teknologi dan kebanggaan nasional. Dari Shinkansen di Jepang, TGV di Prancis, hingga jaringan masif di China, negara-negara berlomba menanamkan investasi triliunan rupiah untuk membangun infrastruktur canggih ini.
Namun, di balik kemegahan dan kecepatan, muncul pertanyaan bisnis fundamental: Apakah proyek prestise ini sebenarnya 'cuan' atau 'boncos'?
Analisis mendalam terhadap 10 negara operator HSR terkemuka di dunia menunjukkan realitas pahit. Secara finansial, profitabilitas adalah pengecualian, bukan aturan. Sebagian besar jaringan adalah proyek strategis milik negara yang pada dasarnya 'membakar uang' untuk tujuan ekonomi lebih luas. Namun, tujuan itupun seringkali membawa hasil yang paradoks.
Profitabilitas dan Kepemilikan (Cuan vs Boncos)
Kebingungan publik soal profitabilitas HSR sering terjadi karena kegagalan membedakan dua metrik utama:
- Profitabilitas Operasional, yaitu apakah pendapatan tiket menutupi biaya harian, dan
- Profitabilitas Modal Penuh, yaitu apakah laba operasional juga mampu menutupi utang biaya konstruksi awal yang astronomis.
Hampir semua jaringan HSR di dunia gagal total pada metrik kedua. Biaya modalnya terlalu besar. Studi menunjukkan hanya jalur dengan kepadatan penumpang ekstrem-di atas 20 juta per tahun-yang punya peluang, seperti Tokaido Shinkansen (Jepang) dan TGV Paris-Lyon (Prancis).
Beberapa operator berhasil mencetak laba operasional. Jepang adalah patokan global; operator JR adalah mesin uang sejati, dengan perkiraan laba operasi JPY 770 Miliar untuk tahun penuh 2025. Di Prancis, TGV adalah "sapi perah" yang mendorong laba bersih SNCF Group sebesar €1,6 Miliar pada 2024. Korea Selatan (Korail) secara konsisten untung, dengan untung bersih konsolidasi ₩192,67 Miliar untuk FY2024. Sementara Taiwan untung NT$6,45 milyar dan Italia (Trenitalia) mengalami untung sebesar €249 juta secara konsolidasi
Di sisi lain, kerugian struktural adalah hal biasa. Jerman (Deutsche Bahn) merugi di segmen jarak jauhnya (EBIT -€59 Juta H1 2025). Turki (TCDD) juga rugi besar (-3,11 Miliar TL pada 2023), sangat bergantung pada subsidi publik. Spanyol (Renfe) juga baru-baru ini kembali merugi dalam laporannya sebesar €99,5 juta. China hanya untung di jalur padat seperti Beijing-Shanghai (laba 12,77 Miliar CNY 2024) sementara di jalur lainnya China harus meraup kerugian sehingga secara konsolidasi terjadi kerugian.
Berikut adalah kepemilikan dan juga status profitabilitas dari kereta di masing-masing negara tersebut dari 2023-2025 baik terfokus pada divisi kereta cepat saja maupun secara konsolidasi.
Paradoks Dampak Sosial-Ekonomi
Jika sebagian besar proyek ini 'boncos' secara finansial, mengapa negara hharusmembangunnya? Jawabannya terletak pada dampak ekonomi makro dan sosial. Namun, di sinilah letak paradoks terbesar HSR. Alih-alih otomatis memeratakan ekonomi, HSR adalah 'pedang bermata dua' yang dampaknya sangat bergantung pada geografi urban suatu negara.
- "Efek Vortex" (The Vortex Effect): Memperburuk Kesenjangan Di negara dengan satu kota super-dominan (monosentris), HSR bertindak seperti 'magnet' yang menyedot talenta dan bisnis dari daerah ke ibu kota. Korea Selatan adalah contoh paling jelas; studi mengkonfirmasi KTX meningkatkan ketergantungan kota regional pada Seoul. Jaringan TGV Prancis yang "Paris-sentris" berdampak serupa, mengkonsentrasikan industri jasa di ibu kota. Di Spanyol dan Turki, desain jaringan yang 'radial' juga dinilai memperdalam polarisasi regional. Model China adalah variasi dari ini, yang berfokus pada 'Penangkapan Nilai Tanah'. HSR digunakan sebagai alat pembangunan untuk menciptakan aglomerasi, di mana 'laba' proyek diambil dari kenaikan harga tanah di sekitar stasiun baru-yang dilaporkan naik lebih dari 20 kali lipat di beberapa kota perantara.
- "Efek Jaringan" (The Network Effect): Mendorong Integrasi Efek sebaliknya terjadi di negara polisentris (banyak kota besar). Di sini, HSR berhasil mengintegrasikan ekonomi. Jepang adalah contoh sukses; Shinkansen mengintegrasikan tiga hub (Tokyo, Nagoya, Osaka), dan kota perantara seperti Nagoya justru mengalami peningkatan lapangan kerja 11%. Perusahaan bisa pindah ke lokasi lebih murah namun tetap terhubung. Jerman (ICE) juga berhasil mengintegrasikan pasar tenaga kerja dan memecah dikotomi "inti-pinggiran". Taiwan (THSR) sukses memperkuat hub industri sekunder.
Pada akhirnya, keputusan membangun kereta cepat adalah keputusan politik dan strategis, bukan murni finansial. Analisis global membuktikan bahwa tanpa desain jaringan yang hati-hati-yang fokus menghubungkan banyak pusat ekonomi (polisentris) alih-alih hanya ke satu ibu kota (monosentris)-investasi triliunan rupiah ini berisiko menjadi 'sedotan' yang justru memperparah kesenjangan regional.
-
CNBC INDONESIA RESEARCH
(gls/gls)

2 hours ago
2

















































