Jakarta, CNBC Indonesia - El Salvador telah lama berada di ambang gagal bayar sejak Nayib Bukele menjadi presiden pada 2019. Faktor utama yang memicu krisis tersebut adalah tingginya utang, defisit fiskal yang besar, dan rendahnya cadangan dolar serta investasi.
Kondisi ini diperburuk oleh kebijakan kontroversial Bukele yang menyerang oposisi, media, dan sistem peradilan. Negosiasi dengan Dana Moneter Internasional (IMF) terkait bailout pun menemui jalan buntu.
Selain itu, Bukele juga memiliki ketertarikan besar pada mata uang kripto. Pada 2021, El Salvador menjadi negara pertama yang menjadikan Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah di samping dolar AS.
Bukele berjanji akan menghindari pasar modal konvensional dan menggalang dana miliaran dolar melalui obligasi berbasis blockchain. Ia juga berencana membangun "Bitcoin City" serta mengembangkan energi panas bumi untuk menambang Bitcoin.
Namun, pasar keuangan tradisional justru menjauhi El Salvador. Obligasi negara ini sempat diperdagangkan di bawah 30 sen per dolar pada pertengahan 2022, sementara pemerintah mulai menunda pembayaran gaji pegawai negeri untuk menghemat kas.
Meski demikian, El Salvador berhasil mengejutkan pasar dengan memperoleh pinjaman dari IMF. Pada 26 Februari, dewan IMF menyetujui pinjaman senilai US$1,4 miliar yang akan dicairkan dalam 40 bulan setelah perjanjian tercapai pada Desember lalu.
Sebagai syarat pinjaman, El Salvador berjanji menerapkan disiplin fiskal. Negara ini juga mulai mengurangi proyek berbasis kripto, termasuk mencabut kewajiban pembayaran pajak dalam Bitcoin sejak Januari lalu.
Demi mendapatkan kesepakatan IMF, pemerintah menunjukkan komitmen tinggi dalam membayar utangnya. Harga obligasi negara ini bahkan kembali naik hingga mencapai nilai nominal.
Pemerintah memanfaatkan dolar yang terbatas untuk membeli kembali obligasi dengan harga diskon guna mengurangi beban pembayaran pokok di masa depan. Defisit fiskal yang sempat mencapai 10% dari PDB pada 2020 kini turun ke level sebelum pandemi, yakni 2-3%.
Penerimaan negara meningkat berkat pengetatan pajak, remitansi yang kuat, serta sedikit perbaikan ekonomi. Sementara itu, penghapusan subsidi energi dan program pandemi membantu mengurangi belanja negara.
Pinjaman dari IMF menurunkan risiko krisis utang El Salvador. Jika dana tambahan US$2,1 miliar dari lembaga multilateral lain dapat diperoleh, risiko gagal bayar semakin kecil.
Meski telah memangkas defisit, El Salvador tetap menghadapi tantangan keuangan besar. Meminjam dengan bunga 12% seperti yang dilakukan pada awal 2024 dianggap tidak berkelanjutan.
Dalam sistem ekonomi yang telah didolarisasi, gagal bayar berisiko menyebabkan krisis perbankan dan bahkan mendorong dedolarisasi. Deposito bank lokal yang sebagian didukung oleh obligasi pemerintah juga bisa terdampak.
Sementara itu, penurunan status Bitcoin sebagai alat pembayaran yang sah justru dianggap lebih menguntungkan. Bukele semula berharap kripto dapat meningkatkan inklusi keuangan dan menurunkan biaya remitansi.
Namun, hambatan utama inklusi keuangan di El Salvador adalah kecilnya sektor ekonomi formal dan rendahnya literasi digital. Selain itu, biaya remitansi tetap tinggi karena banyak warga lebih memilih transaksi tunai, yang semakin mahal akibat maraknya kejahatan.
Pemerintah juga tergesa-gesa dalam meluncurkan Chivo, dompet digital untuk transaksi dalam dolar dan Bitcoin. Banyak pengguna mengalami masalah teknis, termasuk pencurian identitas untuk mengklaim bonus pendaftaran senilai US$30 dalam Bitcoin.
IMF sebelumnya enggan memberikan pinjaman karena status Bitcoin sebagai alat pembayaran sah. Volatilitas harga Bitcoin dianggap berisiko bagi stabilitas keuangan dan fiskal.
IMF juga memperingatkan potensi penggunaan Bitcoin dalam pencucian uang dan kejahatan lainnya. El Salvador kini membatasi transaksi dan pembelian Bitcoin sesuai kesepakatan pinjaman.
Namun, negara ini masih terus membeli Bitcoin dalam jumlah kecil setiap hari. Sejak perjanjian dengan IMF disepakati, El Salvador tercatat memiliki 6.091 Bitcoin senilai sekitar US$500 juta, termasuk keuntungan yang belum direalisasikan sebesar US$200 juta.
Terlepas dari keuntungan ini, kebijakan kripto El Salvador lebih banyak membawa kerugian. Publisitas gratis memang menguntungkan, tetapi investasi dan pariwisata berbasis kripto tetap minim.
Manfaat dari inklusi keuangan dan efisiensi pembayaran juga sangat terbatas. Pada 2022, survei CID-Gallup menemukan hanya 20% bisnis yang menerima Bitcoin, sementara pembayaran pajak dalam kripto hanya 5%.
Biaya kebijakan kripto El Salvador diperkirakan mencapai US$375 juta. Angka ini jauh melebihi keuntungan dari kepemilikan Bitcoin dan berkontribusi pada tingginya premi risiko negara.
Bukele tetap menikmati popularitas tinggi, dengan tingkat persetujuan di atas 90%. Namun, hal ini bukan karena kebijakan kripto, melainkan tindakan kerasnya terhadap kejahatan yang mengabaikan hak asasi manusia.
Eksperimen kripto Bukele gagal memberikan solusi bagi permasalahan ekonomi El Salvador. Meskipun Bitcoin mungkin tetap menjadi aset cadangan negara, masa depannya sebagai alat pembayaran telah berakhir.
(fsd/fsd)
Saksikan video di bawah ini:
Video: Utang Jatuh Tempo SRBI, Rupiah Bakal Semakin Tertekan
Next Article Buang Dolar & Pilih Bitcoin, Negara Kecil Ini Jadi Terkaya di Dunia