Jakarta, CNBC Indonesia - Saat fajar menyingsing pada tanggal 11 Maret 2011, tepat hari ini 14 tahun lalu, Ryo Kanouya bergegas keluar dari rumah untuk pergi kerja. Tak ada sesuatu hal berbeda. Setelah sampai di kantor dia pun fokus kerja dari pagi hingga siang.
Begitu juga rekan kerjanya yang lain. Semua fokus kerja dan sesekali berbicara bersama rekan di kala senggang. Situasi ini terus berlanjut sampai akhirnya berubah saat jam menunjukkan pukul 15.30 waktu setempat.
Tiba-tiba ponsel Ryo dan semua temannya berdering. Ada notifikasi gempa yang kemudian diikuti goncangan besar di wilayah Fukushima. Bangunan-bangunan bergoyang hebat. Masyarakat berhamburan mencari perlindungan. Namun, kuatnya guncangan menyulitkan mereka untuk berjalan atau berlari menyelamatkan diri.
Pada saat bersamaan, banyak bangunan ambruk. Pohon dan tiang listrik roboh dalam sekejap. Semua itu berakhir 6 menit kemudian. Ryo pun langsung menenangkan diri dari gempa besar. Sayang, semua tak berakhir pada 15.36.
"Saat kami berusaha menenangkan diri dari gempa besar itu, peringatan tsunami dikeluarkan," ungkap Ryo kepada National Geographic, dikutip Selasa (11/3/2025).
Otoritas terkait menyebut tsunami mendatang mencapai tiga meter. Perusahaan pun langsung memerintahkan semua karyawan untuk bergegas pulang membantu warga. Ryo segera manut dan segera pulang ke rumah yang kebetulan hanya berjarak 1 Km dari pinggir pantai.
Sesampainya di rumah, Ryo ditenangkan oleh keluarga yang berpikir peringatan tsunami sudah selesai. Toh, setelah beberapa menit, air tak kunjung naik ke daratan. Sayang, perkiraan keluarga salah dan ketakutan Ryo yang benar.
Saat melihat ke jendela, pria kelahiran 1990 tersebut kaget terperanjat. Ternyata air bergerak bak kilat dan langsung berada di depan matanya. Dia pun tak bisa menghindar dan hanya pasrah saat gelombang air menerjang jendela dan tembok rumah.
Awalnya, Ryo yakin rumahnya bakal bertahan. Namun, gelombang yang makin tinggi dan arus makin kuat akhirnya meratakan tempat tinggalnya. Ryo pun terombang-ambing dan sudah menghirup banyak air. Saat situasi normal, diketahui gelombang tsunami mencapai ketinggian 40 meter.
"Lebih baik saya menghembuskan udara yang tersisa di paru-paru saya untuk mati," kenang Ryo.
Dia pun otomatis terpisah dengan keluarga. Ryo ingat dia terombang-ambing di atas air dengan memegang lemari. Pada titik ini dia merasa lega, tetapi timbul rasa iba atas nasib orang kurang beruntung.
Sejauh mata memandang, dia melihat banyak orang tenggelam. Ada juga yang mencoba bertahan hidup di atas tumpukan puing. Ada juga yang sudah mengapung tanda tak lagi bernyawa.
"Saya pun menunggu sampai permukaan air surut, perlahan-lahan turun saat air surut sampai saya kembali menginjak tanah," terang Ryo.
Saat menginjak tanah, kaki Ryo langsung lemas. Setelah melewati 'kiamat', dia melihat Fukushima rata dengan tanah. Banyak orang meninggal. Ada juga yang luka-luka. Ryo sendiri masih sehat tanpa luka. Dia hanya terancam mati kedinginan.
Namun, ada satu hal yang patut disyukuri: Ryo, ayah, ibu, dan saudara perempuan masih selamat. Hanya neneknya yang hilang entah kemana, diduga meninggal dan tak bisa ditemukan sampai sekarang.
'Kiamat' Tak Selesai
Saat situasi normal, pemerintah Jepang mencatat tsunami disebabkan oleh gempa berkekuatan M9 dan masuk kategori megathrust. Getaran tersebut membuat gelombang tsunami setinggi 40 meter yang bergerak hingga 700 Km/Jam.
Situs Britannica mencatat, gempa dan tsunami membuat 18.500 orang meninggal, 10.800 hilang, dan 4.000 orang luka-luka. Ini belum memperhitungkan ribuan rumah warga yang tak bisa lagi ditempati.
Meski begitu, bencana tak kunjung berakhir. Sehari setelah bencana alam, otoritas mengumumkan reaktor nuklir Fukushima bocor. Akibatnya, inti nuklir mencemari lingkungan dan membuat kota Fukushima tak bisa lagi ditempati. Alhasil, penduduk menjalani kehidupan sesuai pribahasa: sudah jatuh tertimpa tangga.
(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini: